Salam,

Nampaknya mantan presiden kita itu belum begitu tau apa perbedaan hak dan 
kewajiban.
Memilih didalam pesta demokrasi itu adalah hak masyarakat dan bukan kewajiban.

Saya berpendapat, Sah saja semua masyarakat untuk menilai calon pemimpinnya, 
apakah layak, pantas dan bisa dipercaya ataukah tidak?

Kalau dari semua calon tidak ada yang meyakinkan untuk diberi amanah, maka 
pilihan yang lebih baik adalah TIDAK memberikan amanah kepada orang tersebut.

Tidak memberikan amanah kesembarang orang adalah pilihan yang tepat.

Pesan moralnya adalah, didiklah masyarakat supaya tau cara menilai calon 
pemimpinnya secara objektif, jangan sempat terjadi politisasi. Masyarakat tidak 
memilih karena dipolitisasi dan bukan murni dari hasil penilaian mereka sendiri.

Sehingga pada akhirnya, orang bisa memilih/memberikan amanahnya karena mereka 
memang mempercayai calon pemimpinnya, dan sebaliknya yang tidak memberikan 
amanah juga karena betul-betul memang tidak mempercayai para calon yang ada 
dari hasil penilaian yang objektif.

Salam,






  ----- Original Message ----- 
  From: victor silaen 
  To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; 
zamanku@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, August 05, 2008 7:11 PM
  Subject: [parapemikir] Pemimpin Nir-empati


        Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 5 Agustus 2008 

         

         

        Pemimpin Nirempati dan Megagolput 

        Oleh Victor Silaen 

         

             Di Ambon, 5 Juli lalu, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati 
Soekarnoputri mengatakan bahwa warga yang sengaja tidak menggunakan hak 
pilihnya (golongan putih/golput), baik dalam pilkada maupun pemilu, semestinya 
tidak boleh menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Menurut Megawati, sengaja 
menjadi golput sangat bertentangan dengan undang-undang dan menghancurkan 
tatanan demokrasi di Indonesia. Sementara di Malang, 15 Juli, Megawati 
mengatakan bahwa orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 
nanti bisa dijuluki sebagai pengkhianat reformasi. Sistem pemilu Indonesia 
sekarang, menurutnya, merupakan hasil dari suatu proses panjang yang berawal 
dari adanya reformasi total, lalu empat kali amandemen konstitusi, dan diakhiri 
dengan kesempatan melahirkan tatacara pemilu langsung oleh rakyat. “Ini sudah 
merupakan tuntutan rakyat. Masyarakat sudah menuntut hak pilihnya dilakukan 
secara langsung. Nah, kalau golput lagi, itu khianati reformasi,” katanya. 

         

             Bagaimana kita patut menyikapi pernyataan mantan presiden ke-5 
ini? Prihatin. Sebab, alih-alih memberikan sosialisasi politik yang baik dan 
benar kepada rakyat, pernyataan itu justru bisa menjadi bumerang bagi dirinya 
sendiri. Karena, adalah fakta bahwa setiap kali pemilu diselenggarakan, selalu 
ada sejumlah orang yang menjadi golput. Apakah mereka dihukum karena itu? 
Tidak, karena dasar hukumnya memang tidak ada. 

         

             Golput sendiri jelas bukanlah fenomena baru di negara ini. Di 
akhir era Orde Baru, ia sempat dijadikan wacana. Menjelang Pemilu 1997, ada 
lembaga keagamaan yang menyatakan bahwa memilih itu wajib hukumnya. Sebaliknya 
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dalam surat penggembalaan yang 
dikeluarkannya saat itu, menyatakan bahwa menjadi golput tidaklah berdosa. Di 
era ketika kebebasan masih terbelenggu, bukankah suara kenabian seperti itu 
sangat memuliakan harkat-martabat manusia? Sebab, kesejatian manusiawi niscaya 
ditemukan ketika manusia dapat menikmati hidup yang bebas seturut kata hatinya. 
 

         

             Dari perspektif hak asasi manusia (HAM) pun, menjadi golput jelas 
merupakan HAM yang tidak dapat diganggu-gugat oleh pihak manapun. Artinya, jika 
hak memilih dalam pemilu tidak digunakan oleh seseorang, maka hal itu 
sepenuhnya merupakan urusannya sendiri. Yang penting ia menjadi golput bukan 
karena dua alasan berikut: 1) dipaksa atau diancam oleh pihak-pihak tertentu; 
2) terhambat oleh faktor-faktor tertentu. Sebab, jika karena alasan pertama, 
pihak-pihak pemaksa atau pengancam tersebut dapat dikenai hukuman pidana. Jika 
karena alasan kedua, maka pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Daerah (KPUD), 
maupun semua mitra kerja merekalah yang harus dimintai pertanggungjawaban. 
Sebab, pemilu diibaratkan sebagai pesta rakyat, sehingga atas dasar itulah 
seluruh rakyat harus diberi kemudahan (dan dijamin kebebasannya) untuk 
berpartisipasi di dalamnya. 

         

             Di era Orde Baru, kita juga selalu mendengar theme song pemilu 
menjelang hari “H’ pesta rakyat lima tahunan itu. Petikan syair lagu itu 
berbunyi demikian: ”Pemilihan umum telah memanggil kita. S’luruh rakyat 
menyambut gembira...” Boleh dibilang bahwa selain merupakan imbauan, lagu 
terse­but juga dimaksudkan sebagai sarana untuk menyugesti rakyat agar antusias 
menyambut pemilu. Mengapa perlu disugesti? Kar­ena, pada kenyataannya, selalu 
saja ada orang yang tidak bergairah menyongsong pemilu. Buktinya, setiap kali 
pemilu diselenggarakan, setiap kali itu pula tercatat jutaan orang yang menjadi 
golput. 

         

             Apa boleh buat, inilah fakta. Jadi, alih-alih menyalahkan para 
golput dengan mengatakan mereka ”tidak pantas menjadi WNI” maupun ”pengkhianat 
reformasi”, lebih bijaklah mempertanyakan mengapa fenomena ini selalu ada dan 
jumlahnya cenderung meningkat akhir-akhir ini. Sangat mungkin, jika dibuat 
kategorinya, jawaban-jawaban mereka secara jujur adalah sebagai berikut: 1) 
merasa apatis, karena tak ada gunanya memilih atau tak tahu harus memilih 
siapa; 2) merasa muak kepada elite politik dan partai politik, karena terlalu 
mudah mengumbar janji dan mudah pula melupakannya. 

         

             Dari perspektif politik, banyak hal yang memang paradoks sekaligus 
ironis di Indonesia. Di satu sisi agama sangat ditinggikan di ruang-ruang 
publik, namun di sisi lain kita sulit menemukan pemimpin-pemimpin dengan 
kesalehan sejati yang holistik: yang rajin beribadah sekaligus gigih berjuang 
demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Di satu sisi cukup banyak orang yang 
merasa dirinya layak menjadi wakil rakyat, baik yang sudah mendapat kursi 
maupun yang akan merebutnya, namun di sisi lain betapa langkanya wakil rakyat 
incumbent maupun potensial yang sungguh-sungguh peduli atas penderitaan rakyat. 

         

             Inilah agaknya krisis kepemimpinan yang sesungguhnya di Indonesia. 
Jumlah orang yang berkualitas dan berkapasitas sebagai pemimpin, baik tua 
maupun muda, sesungguhnya cukup banyak. Namun, yang sungguh-sungguh memiliki 
empati kepada rakyat, bukankah kita sulit menemukannya? Inilah yang menjadi 
keprihatinan rakyat. Bahwa banyak pemimpin yang hanya memikirkan dirinya 
dan/atau kelompoknya sendiri di saat mereka berkuasa. Lihatlah, misalnya, di 
saat jutaan rakyat menjerit karena naiknya harga BBM (bahan bakar minyak), para 
wakil rakyat yang berjuang demi melaksanakan hak angketnya terhadap presiden 
justru kemudian sibuk memperebutkan siapa yang layak mendapatkan posisi sebagai 
ketua panitia khusus (pansus). Diperlukan waktu yang relatif  lama untuk 
membahas isu tersebut. Tapi herannya, setelah itu, lagi-lagi mereka terjebak 
dalam pembahasan yang tidak esensil: besarnya anggaran pansus.   

         

             Tidakkah ini ironis sekaligus paradoks? Di satu sisi ada 
penderitaan rakyat yang hendak diperjuangkan. Namun di sisi lain, substansi 
wacana parlemen tentang nasib rakyat itu kemudian malah bergeser menjadi isu 
tentang siapa calon ketua dan berapa jumlah anggaran pansus. Khususnya tentang 
anggaran, entah apa yang terpikir oleh jutaan rakyat miskin yang hendak 
diperjuangkan nasibnya itu andai mereka tahu bahwa para wakil rakyat yang 
terhormat itu mengusulkan biaya sebesar Rp 2,5 miliar. 

         

             Jadi, sebenarnya tidak sulit untuk menjelaskan fenomena golput 
yang selalu ada di setiap era dan cenderung meningkat akhir-akhir ini. Pakailah 
kacamata wong cilik, niscaya kita dapati sebuah jawaban jujur bahwa mereka 
menginginkan pemimpin yang rela berkorban demi rakyat, bukan sebaliknya: 
pemimpin yang mencari harta di atas penderitaan rakyat. Itulah sesungguhnya 
fakta di balik golput: sebuah harapan, yang seiring waktu pupus, akan munculnya 
pemimpin-pemimpin yang memiliki empati kepada rakyat. Sebab, yang kini banyak 
dan mudah ditemukan justru pemimpin yang nirempati: yang tak mau tahu kesusahan 
rakyat dan tak rela berkorban demi rakyat.     

         

             Betapa langkanya pemimpin seperti Mahatma Gandhi, misalnya, yang 
memilih berpakaian hanya selembar kain gandum demi menghayati penderitaan 
rakyatnya. Betapa sulitnya mencari sosok pemimpin seperti Bung Hatta, yang 
dikenal sederhana dan jujur.  Yang banyak kini justru pemimpin yang gemar 
bepergian ke luar negeri dengan dalih studi banding, yang bergaji besar dan 
berfasilitas banyak namun tak pernah puas; pendeknya yang jauh panggang dari 
api untuk layak disebut sebagai wakil rakyat. Terkait itulah mestinya Megawati 
berkata begini: ”Para elit parpol yang lupa rakyat, gila kuasa dan rakus harta, 
tidak layak menjadi WNI dan pantas disebut pengkhianat reformasi.” 

         

             Akhirnya, sikapilah golput secara rileks. Sebab, di negara kampiun 
demokrasi Amerika Serikat pun, jumlah pemilih setiap kali pemilu 
diselenggarakan tak pernah lebih dari 50%. Namun di sana, penyebabnya adalah 
kepercayaan rakyat bahwa siapa pun yang menang relatif sama baiknya. Sementara 
di Indonesia penyebabnya justru kebalikannya: ketidakpercayaan rakyat terhadap 
siapa pun yang menang. Tak heran jika fenomena golput di beberapa ajang pilkada 
akhir-akhir ini bahkan telah menjadi megagolput: yang jumlahnya mencapai 60%.  

         

        * Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol (www.victorsilaen.com)

       



   

Kirim email ke