Pernikahan dibawah umur DILARANG, bukan tantangan legislasi dan tidak bisa 
dikompromikan sebagai harmonisasi hukum.

Yang namanya larangan tidak lagi bisa harmonis apabila dikerjakan.  Dan yang 
menantang semuanya akan dipenjara !!!!

Cukup bukan, tak ada yang perlu diperdebatkan karena hukum kita tidak bisa 
dipandang dari sudut pandang Islam sehingga kita tak perlu menyusun segala 
kriteria hukum Islam untuk dipadu dengan larangan ini.

Ny.Muslim binti Muskitawati.







--- In zamanku@yahoogroups.com, teddy sunardi <teddysuna...@...> wrote:
>
> http://reformasikuhp.org/opini/?p=56
> 
> Oleh: Heru Susetyo *)
> [28/11/08]Masalah pernikahan di bawah umur di Indonesia mendadak mengemuka
> akhir-akhir ini. Utamanya setelah heboh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto
> alias Syeikh Puji dengan Luthfiana Ulfa, seorang gadis yang ditengarai masih
> berusia di bawah umur (12 tahun dan versi lain 15 tahun).Padahal, perkara
> nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini
> sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di
> pedalaman. Sebabnya-pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya
> pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil
> terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah married by
> accident), dan lain-lain.Selain menimbulkan masalah sosial, nikah di bawah
> umur bisa menimbulkan masalah hukum. Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa membuka
> ruang kontroversi bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara
> berbeda oleh hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional dan hukum
> internasional. Kenyataan ini melahirkan, minimal, dua masalah hukum.
> Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum
> lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia
> terkait dengan perkawinan di bawah umur.
> Hukum Perkawinan
> Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
> perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
> pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan terhadap batas
> usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh
> pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari
> pihak pria maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2). Undang-Undang yang
> sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
> calon mempelai dan izin dari orangua diharuskan bagi mempelai yang belum
> berusia 21 tahun.
> Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun
> 1991 memuat perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan
> bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun
> dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
> Maka, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah
> umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari
> pengadilan atau pejabat yang berkompeten.
> Namun demikian perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal
> 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami
> atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
> perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Yang dapat
> mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
> dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
> mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah
> seorang calon isteri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk
> mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI)
> 
>  KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar
> batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun
> 1974 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
> perkawinan adalah: (1) para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan
> ke bawah dari suami atau isteri; (2) suami atau isteri; (3) pejabat yang
> berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang; (4) para
> pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
> perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangan-undangan (vide
> pasal 73).
> Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara
> spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim
> dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik
> dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.
> Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa: Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon
> mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan
> tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa
> diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
> Sama halnya dengan hukum adat. Hukum adat Indonesia, yang berbeda dari satu
> wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tak tertulis yang tak
> mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya
> seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase atau
> peristiwa tertentu dalam kehidupannya. Dan ini seringkali tidak terkait
> dengan umur tertentu.
> Instrumen HAM
> Instrumen Hak Asasi Manusia — apakah yang bersifat internasional
> (international human rights law) ataupun yang sudah diratifikasi oleh
> Pemerintah RI — tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia
> perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990
> yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan
> usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah
> mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi
> diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi
> anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of
> the child).
> Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan
> Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for
> Marriage and Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara
> peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur
> permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang
> dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan
> hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu
> dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan
> menikah.
> Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1964 tersebut, namun
> telah menetapkan usia minimum pernikahan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang
> Perkawinan, alias sepuluh tahun setelah Konvensi tersebut lahir.
> 
>  UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak –sebagai instrumen HAM —
> juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain
> menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
> Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
> berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
> prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. non diskriminasi;
> b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan
> hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak.
> Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
> dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
> dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
> kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
> berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (vide pasal 3).
> Terkait pernikahan di bawah umur, pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan
> Anak 2002 menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
> untuk : (c ) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
> Kriminalisasi Nikah di Bawah Umur
> Merujuk pada hukum perkawinan Islam Indonesia, sudah nyata bahwa perkawinan
> di Indonesia harus memenuhi ketentuan batas usia minimum. Yaitu 19 tahun
> bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Kendati demikian, pelanggaran
> terhadapnya tidak serta merta dapat ditindak. Begitu banyak terjadi
> perkawinan di bawah umur, dan tak pernah ataupun minim terdengar ada
> kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, kendati pasal 288 KUHP telah
> menyebutkan bahwa barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang
> wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang
> bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka
> diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, Jika mengakibatkan
> luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika
> mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.
> Perkawinan adalah masalah perdata. Kalaupun terjadi tindak pidana dalam
> perkawinan seperti disebut pasal 288 KUHP, seringkali penyelesaiannya secara
> perdata atau tidak diselesaikan sama sekali. Sebab, terkait dengan rahasia
> ataupun kehormatan rumah tangga. Seringkali pihak istri atau keluarganya
> tidak melaporkan kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib keluarga,
> atau kesulitan dalam menghadirkan alat bukti.
> Langkah paling maju yang dapat dilakukan untuk menekan laju pernikahan di
> bawah umur adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jenis
> tersebut. Namun sekali lagi, perlu ada keberatan dari salah satu mempelai,
> keluarga, ataupun pejabat pengawas perkawinan. Apabila pasangan mempelai dan
> juga keluarga tak keberatan maka tindakan yang paling mungkin dilakukan
> adalah tidak mencatatkan pernikahannya di hadapan Kantor Pencatat Nikah (KUA
> atau Kantor Catatan Sipil). Otomatis pernikahan yang tidak tercatat di
> lembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum,
> kendati barangkali dapat disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing
> pasangan.
> 
> Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini.
> Disebutkan bahwa pegawai pencatat pernikahan tidak diperbolehkan
> melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui
> antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan.
> Namun perkawinan yang tak dicatatkan juga bukan tanpa resiko. Yang mengalami
> kerugian utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena,
> apabila ia tak memiliki dokumen pernikahannya, seperti surat nikah, maka ia
> akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah
> perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga, dan lain-lain.
> 
> Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum Perkawinan
> Pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa seperti menampar wajah pembuat hukum dan
> aparat hukum negeri ini. Karena kasus ini sebenarnya bukan yang pertama dan
> bukan juga yang terakhir. Kasus ini hanyalah satu kasus yang mengemuka dari
> ribuan kasus lainnya yang mengendap di bawah permukaan laksana gunung es.
> Praktik nikah di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa hukum perkawinan
> Indonesia nyaris seperti hukum yang `tak bergigi', karena begitu banyak
> terjadi pelanggaran terhadapnya tanpa dapat ditegakkan secara hukum.
> Tidak hanya masalah nikah di bawah umur. Pelanggaran terhadap hukum
> perkawinan juga terjadi pada kasus pernikahan poligami, pernikahan di bawah
> tangan, perceraian di bawah tangan, pelanggaran hak-hak mantan isteri,
> mantan suami ataupun anak-anak dalam perceraian, dan lain-lain.
> Begitu banyak terjadi pernikahan poligami yang dilakukan tanpa izin
> pengadilan agama dan tanpa memenuhi syarat-syarat alternatif dan kumulatif
> seperti yang ditetapkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Begitu
> banyak terjadi perceraian yang terjadi di luar pengadilan (perceraian di
> bawah tangan). Begitu banyak hak-hak mantan isteri dan anak-anak yang
> diabaikan ketika terjadi perceraian. Dan begitu banyak pula terjadi
> perkawinan yang berlangsung tanpa tercatat di kantor pencatat nikah (apakah
> Kantor Urusan Agama ataupun Kantor Catatan Sipil) alias lazim disebut
> perkawinan di bawah tangan.
> Memang, urusan perkawinan adalah urusan keperdataan. Urusan pribadi
> warganegara. Hal mana membuat banyak pihak mempertanyakan, kenapa masalah
> perkawinan harus diatur oleh negara, bukankah perkawinan berada dalam ranah
> privat? Mengapa pernikahan Syekh Puji dan Ulfa harus dipersoalkan, bukankah
> kedua mempelai dan keluarganya tak keberatan?
> Urusan perkawinan memang berada dalam wilayah keperdataan. Namun peristiwa
> tersebut adalah peristiwa hukum yang jelas menimbulkan sebab akibat dan
> hak-hak kewajiban para pihak. Maka, pengaturan dari negara tetap perlu.
> Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah mencoba mengatur dengan meng-unifikasi
> hukum perkawinan. Hukum agama dan hukum adat diakomodasi dalam UU tersebut,
> disamping hukum perdata Barat. Dan sungguh ini bukan perkara yang gampang,
> karena selamanya unifikasi di wilayah hukum pribadi dan hukum keluarga
> adalah sesuatu yang sulit. Indonesia adalah negara yang kaya dengan
> pluralitas hukum dan pluralitas sosial budaya.
> 
>  Apabila perkawinan tidak diatur oleh negara akan berpotensi lahirnya
> ketidakadilan bagi pihak-pihak tertentu, utamanya bagi perempuan dan
> anak-anak yang dilahirkan. Dan akhirnya akan merembet pada keluarga luas,
> lingkungan, masyarakat, hingga akhirnya menjadi problem negara juga.
> Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004
> lahir antara lain karena maraknya fenomena kekerasan dalam perkawinan.
> Namun apabila negara mengatur terlalu banyak, dapat juga berpotensi
> pemaksaan hukum dan sentralisasi hukum negara. Perlu ditetapkan melalui
> peraturan perundang-undangan, mana masalah perkawinanan yang perlu diatur
> hukum negara dan mana yang tidak. Untuk tidak mencederai hak-hak sipil
> warganegara dalam wilayah perkawinan yang tak perlu dikelola oleh negara.
> Dan inilah tantangan untuk hukum perkawinan kontemporer. Mampukah pembuat
> hukum dan aparat hukum mengkritisi dan melahirkan legislasi di wilayah hukum
> perkawinan yang menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat
> bersamaan tetap melahirkan keadilan? Kemudian, mampukah pembuat hukum dan
> aparat hukum mengharmoniskan perbedaan klausul di berbagai sistem hukum
> perkawinan terkait dengan masalah-masalah perkawinan kontemporer?
> Merevisi UU No. 1 Tahun 1974 adalah satu alternatif dan tidaklah terlalu
> ambisius. Namun juga bukan satu-satunya cara. Perlu dipikirkan harmonisasi
> dan lahirnya legislasi yang dapat mengakomodasi semua sistem hukum yang
> hidup tanpa harus mencederai hak-hak sipil masyarakat dalam wilayah hukum
> perkawinan. Wallahu a`lam.
> ——
> *) Penulis adalah Mahasiswa PhD bidang Human Rights & Peace Studies Mahidol
> University- Thailand/ Staf Pengajar Fakultas Hukum UI-Depok
>


Kirim email ke