Saya ingat ketika Harry Moekti pada awal menjadi Islam fundamentalis "Islam nggak lebih baik arena kedatangan kamu, Ry, " kata saya. "Tapi dunia pop kehilangan vokalis pria terbaiknya, " kata saya di TV-RI
Hal yang sama ingin saya katakan kepada Sandrina Malakiano. Metro TV jelas kehilangan penyiar potensialnya. Padahal dunia Islam tak berubah, meski ada Sandrina..." Dimas PS : Ngomong-ngomong saya setuju, kok, dengan keputusan Metro TV. Harus ada yang jelas dalam menegaskan ke Indonesiaan Arabisasi sedang merajalela di sini. --- In zamanku@yahoogroups.com, "betoroism...@..." <betoroism...@...> wrote: > > Kesimpulanya- setelah berhaji dan berjilbab kesengsaraan bertambah, makanya jangan naik haji, cuman dapat sial aja, makan antre, duit dikorupsi,pulang2 dicerain. > > -original message- > Subject: [zamanku] Sandrina malakiano tetep Berjilbab > From: "tawangalun" <tawanga...@...> > Date: 22/12/2008 10:55 am > > Dari Facebook-nya Sandrina Malakiano Fatah > > Setiap kali sebuah musibah datang, maka sangat boleh jadi di > belakangnya sesungguhnya menguntit berkah yang belum kelihatan. Saya > sendiri yakin bahwa âÂ" sebagaimana Islam mengajarkan âÂ" di balik > kebaikan boleh jadi tersembunyi keburukan dan di balik keburukan > boleh jadi tersembunyi kebaikan. > > Saya sendiri membuktikan itu dalam kaitan dengan keputusan memakai > hijab sejak pulang berhaji di awal 2006. Segera setelah keputusan itu > saya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat saya > bekerja, Metro TV. > > Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankan > untuk siaran karena berjilbab. Pimpinan Metro TV sebetulnya sudah > mengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelah > berbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yang > mengelola langsung beragam tayangan di Metro TV menghambat saya di > tingkat yang lebih operasional. Akhirnya, setelah enam bulan saya > berjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orang > dalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasa > pintu memang sudah ditutup. > > Sementara itu, sebagai penyiar utama saya mendapatkan gaji yang > tinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yang makan gaji buta, > akhirnya saya memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama proses > negosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan saya tak memperoleh > penghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada institusi > Metro TV. > > Setelah berlama-lama dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat ada > sinar di ujung lorong yang gelap, akhirnya saya mengundurkan diri. > Pengunduran diri ini adalah sebuah keputusan besar yang mesti saya > buat. Saya amat mencintai pekerjaan saya sebagai reporter dan > presenter berita serta kemudian sebagai anchor di televisi. Saya > sudah menggeluti pekerjaan yang amat saya cintai ini sejak di TVRI > Denpasar, ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV > internasional, TVRI Pusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, > ketika saya kehilangan pekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah > besar bagi saya. > > Tetapi, dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi saya yang > terbaik dan bahwa âÂÂdunia tak selebar daun Metro TVâÂÂ, saya > bergeming dengan keputusan itu. Saya yakin di balik musibah itu, saya > akan mendapat berkah dari-Nya. > > HIKMAH BERJILBAB > > Benar saja. Sekitar satu tahun setelah saya mundur dari Metro TV, ibu > saya terkena radang pankreas akut dan mesti dirawat intensif di rumah > sakit. Saya tak bisa membayangkan, jika saja saya masih aktif di > Metro TV, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi Ibu selama 47 hari > di rumah sakit hingga Allah memanggilnya pulang pada 28 Mei 2007 itu. > Bagaimana mungkin saya bisa menemaninya selama 28 hari di ruang rawat > inap biasa, menungguinya di luar ruang operasi besar serta dua hari > di ruang ICU, dan kemudian 17 hari di ruang ICCU? > > Hikmah lain yang saya sungguh syukuri adalah karena berjilbab saya > mendapat kesempatan untuk mempelajari Islam secara lebih baik. > Kesempatan ini datang antara lain melalui beragam acara bercorak > keagamaan yang saya asuh di beberapa stasiun TV. Metro TV sendiri > memberi saya kesempatan sebagai tenaga kontrak untuk menjadi host > dalam acara pamer cakap (talkshow) selama bulan Ramadhan. > > Karena itulah, saya beroleh kesempatan untuk menjadi teman dialog > para profesor di acara âÂÂEnsiklopedi Al QuranâÂ� selama Ramadhan > tahun lalu, misalnya. Saya pun mendapatkan banyak sekali pelajaran > dan pemahaman baru tentang agama dan keberagamaan. Islam tampil makin > atraktif, dalam bentuknya yang tak bisa saya bayangkan sebelumnya. > Saya bertemu Islam yang hanif, membebaskan, toleran, memanusiakan > manusia, mengagungkan ibu dan kaum perempuan, penuh penghargaan > terhadap kemajemukan, dan melindungi minoritas. > > Saya sama sekali tak merasa bahwa saya sudah berislam secara baik dan > mendalam. Tidak sama sekali. Berjilbab pun, perlu saya tegaskan, > bukanlah sebuah proklamasi tentang kesempurnaan beragama atau tentang > kesucian. Berjibab adalah upaya yang amat personal untuk memilih > kenyamanan hidup. > > Berjilbab adalah sebuah perangkat untuk memperbaiki diri tanpa perlu > mempublikasikan segenap kebaikan itu pada orang lain. Berjilbab pada > akhirnya adalah sebuah pilihan personal. Saya menghormati pilihan > personal orang lain untuk tidak berjilbab atau bahkan untuk > berpakaian seminim yang ia mau atas nama kenyamanan personal mereka. > Tapi, karena sebab itu, wajar saja jika saya menuntut penghormatan > serupa dari siapapun atas pilihan saya menggunakan jilbab. > > Hikmah lainnya adalah saya menjadi tahu bahwa fundamentalisme bisa > tumbuh di mana saja. Ia bisa tumbuh kuat di kalangan yang disebut > puritan. Ia juga ternyata bisa berkembang di kalangan yang mengaku > dirinya liberal dalam berislam. > > Tak lama setelah berjilbab, di tengah proses bernegosiasi dengan > Metro TV, saya menemani suami untuk bertemu dengan Profesor William > Liddle âÂ" seseorang yang senantiasa kami perlakukan penuh hormat > sebagai sahabat, mentor, bahkan kadang-kadang orang tua âÂ" di sebuah > lembaga nirlaba. Di sana kami juga bertemu dengan sejumlah teman, > yang dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal dalam berislam. > > Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan > saya berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan > sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan > Metro TV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satu > komentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya adalah, âÂÂKamu > tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar.âÂ� > > Saya sungguh terkejut karena sikap mereka bertentangan secara > diametral dengan gagasan-gagasan yang konon mereka perjuangkan, yaitu > pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak dasar setiap orang di > tengah kemajemukan. > > Bagaimana mungkin mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang > dimiliki oleh setiap perempuan yang memutuskan memakainya? Bagaimana > mereka tak mengerti bahwa jika sebuah stasiun TV membolehkan > perempuan berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak asasi, mereka > juga semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk > memperoleh hak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran > bahwa dengan kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang > perempuan langsung meredup dan otaknya mengkeret mengecil? > > Bersama suami, saya kemudian menyimpulkan bahwa fundamentalisme âÂ" > mungkin dalam bentuknya yang lebih berbahaya âÂ" ternyata bisa > bersemayam di kepala orang-orang yang mengaku liberal. > > > Shalom, > > Tawangalun. >