Telah dimuat pada Harian Suara Pembaruan, 21 November 2008
Rekonsiliasi Lewat Iklan Politik
Oleh Victor Silaen
Iklan politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menampilkan delapan
tokoh nasional pada Hari Pahlawan 10 November 2008 menuai protes. Pasalnya,
salah satu tokoh dalam iklan tersebut adalah almarhum mantan presiden Soeharto.
Diprediksi, upaya PKS memahlawankan Soeharto dapat menjadi bumerang bagi partai
yang selalu mengusung tema antikorupsi itu. Benarkah demikian? Tentu saja
terlalu dini untuk bisa menjawabnya benar atau tidak. Namun, di beberapa milis
(mailing list) yang saya ikuti, komentar-komentar sumbang terkait iklan politik
PKS itu memang sudah mulai bergulir.
PKS sendiri, melalui sekretaris jenderalnya, Anis Matta, menanggapi bahwa
iklan tersebut merupakan ajakan rekonsiliasi. “Iklan pahlawan PKS adalah ajakan
rekonsiliasi,” ujar Anis. Menurut dia, sebagai generasi baru Indonesia, PKS
menyadari posisinya sebagai bagian dari mata rantai sejarah bangsa, dan bahwa
suatu kesinambungan sejarah merupakan syarat bagi kebangkitan Indonesia. “Kita
harus bisa menyikapi masa lalu kita secara adil, arif dan proporsional.
Berhenti mengadili masa lalu tapi tetap menjadikannya sebagai inspirasi bagi
masa depan kita,” katanya. Anis menambahkan, kita harus bisa melampaui
“luka-luka masa lalu kita” tanpa dendam, belajar berdamai sebagai sesama anak
bangsa dan bersatu kembali merebut masa depan bersama.
Bagaimana kita patut menyikapi wacana tentang “Soeharto, PKS, dan
rekonsiliasi” ini? Pertama, prihatin, sebab ajakan berekonsiliasi
disosialisasikan melalui iklan politik. Apalagi kita juga paham bahwa iklan
politik di masa kampanye menjelang Pemilu 2009 ini tentu erat kaitannya dengan
upaya meningkatkan citra partai. Jadi, diakui atau tidak, citra partailah yang
sebenarnya menjadi tujuan utama iklan tersebut. Adapun Soeharto dan ketujuh
tokoh lainnya jelas hanya merupakan “obyek” yang dijual kepada publik dengan
mempertimbangkan momentum yang dianggap tepat dan memiliki nilai jual, yakni
Hari Pahlawan.
Kedua, prihatin, sebab PKS begitu mudahnya memahlawankan Soeharto, padahal
Soeharto sendiri hingga kini masih dicitrakan negatif oleh pelbagai pihak di
dalam maupun di luar negeri. Kita tak boleh lupa bahwa sewaktu Soeharto
meninggal, 27 Januari 2008, proses hukum pidana dan perdata atas diri mantan
pemimpin Orde Baru itu belumlah tuntas. Artinya, kita tak punya kepastian hukum
untuk menyimpulkan sosok Soeharto sebagai orang yang bersalah atau tidak. Kita
hanya punya segudang dugaan bahwa mantan presiden dengan masa kekuasaan
terpanjang di antara presiden-presiden lainnya di Indonesia itu bersalah atau
setidaknya terlibat dalam kesalahan-kesalahan terkait bidang ekonomi, hukum,
hak asasi manusia, dan bidang-bidang lainnya. Bukankah didasarkan dugaan
tersebut maka Soeharto, sejak mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai
presiden, terus-menerus dituntut pelbagai pihak agar diadili? Bukankah karena
itu maka Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang
”Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”
menyebut nama Soeharto di dalamnya? Sementara di luar negeri, Soeharto justru
telah ditetapkan sebagai pemimpin politik terkorup di dunia dengan “harta
korupsi” sekitar 15-35 miliar dolar AS oleh PBB melalui program StAR (Stolen
Asset Recovery) Initiative. Jadi, tanpa harus menyebut ”dosa-dosa” lain
Soeharto dalam inci yang rinci di sini, haruskah kita memahlawankannya?
Ketiga, prihatin, sebabnya agaknya PKS tidak memahami dengan baik bahwa
rekonsiliasi bukanlah sekedar ajakan untuk memaafkan atau melupakan seseorang
yang pernah bersalah di masa lampau. Rekonsiliasi yang sejati adalah sebentuk
upaya memperdamaikan kembali pihak-pihak yang sekarang mengalami ketegangan
relasional disebabkan pertikaian yang pernah terjadi di masa silam dan tak
kunjung terselesaikan. Biasanya, dalam pertikaian itu, pihak yang satu menjadi
penindas sedangkan pihak yang lain menjadi korbannya. Akibatnya, timbullah
ketidakadilan dan pelecehan terhadap harkat dan martabat manusia di pihak si
korban. Itulah sebabnya, selain bertujuan mewujudkan perdamaian di masa depan,
rekonsiliasi juga bertujuan terungkapnya kebenaran dan tercapainya keadilan.
Setelah itu, barulah proses berjalan ke arah terjadinya rekonstruksi dan
rehabilitasi.
Dalam kerangka itulah diperlukan sebuah institusi khusus yang berperan
untuk mewujudkan rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang pernah terlibat
pertikaian di masa silam itu, baik sebagai korban maupun pelaku. Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), itulah institusi yang dimaksud. Indonesia
sudah memiliki landasan hukum pembentukannya, yakni UU No. 27 Tahun 2004. Tapi
apa boleh buat, sewaktu lembaga ini sedang berproses menuju pembentukannya oleh
negara, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut pada 7 Desember 2006. Maka,
harapan akan terwujudnya rekonsiliasi yang sejati itu pun pupus.
Jadi, jika kita benar-benar serius ingin mewujudkan rekonsiliasi, baik
atas kasus-kasus yang melibatkan diri Soeharto maupun kasus-kasus lainnya,
mestinya UU baru sebagai landasan berdirinya KKR itulah yang kita upayakan.
Inilah yang mestinya diperjuangkan oleh PKS secara politik melalui
sidang-sidang di DPR. Jadi, ini bukan soal dendam kepada Soeharto yang di sisi
lain memang patut diakui jasanya dalam membangun negeri ini. Melainkan, soal
ketidakrelaan kita melihat Indonesia menjadi sebuah negara yang masa lalunya
dipenuhi banyak misteri. Kita juga tidak ingin Indonesia menjadi sebuah ”negeri
lupa”, tempat di mana pelbagai pelanggaran hak asasi manusia di masa silam
terlupakan begitu saja. Bukankah pelupaan yang disengaja terhadap pelbagai
ketidakadilan di masa silam itu merupakan kejahatan sekaligus pelecehan
terhadap harkat dan martabat para korban? Kalau begitu sebenarnya layakkah
Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB pada 9
Mei 2006 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat?
Secara jujur harus diakui bahwa Indonesia memang tak pernah mampu
mewujudkan rekonsiliasi yang sejati itu hingga kini. Sebab, rekonsiliasi untuk
dan dalam pelbagai kasus di negeri ini justru bukan merupakan masalah orang per
orang, melainkan masalah institusional yang melibatkan sejumlah pemimpin di
lembaga-lembaga penyelenggara negara di saat mereka berkuasa. Bisa dibayangkan
bahwa proses yang ditempuh dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi tersebut begitu
panjang dan rumitnya. Diperlukan orang-orang yang independen sekaligus
tepercaya untuk merencanakan dan melaksanakan agenda-agenda rekonsiliasi
tersebut. Jadi, tidak mungkinlah sekedar ajakan yang disosialisasikan melalui
iklan politik dapat menggantikannya. Demi keadilan terhadap masa lalu, maka
sekarang dan ke depan kita tidak boleh berhenti berupaya mengungkapkan
kebenaran di balik pelbagai ketidakadilan yang pernah tercatat dalam sejarah
kelam Indonesia itu.
* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.
(www.victorsilaen.com)