Resensi Buku : Al Furqon Lailatul Qodar Di luar Ramadhan
Karya              : Muhammad Luthfi Ghozali
Penerbit          : Abshor, Semarang
                            http://ponpesalfithrahgp.wordpress.com
Tahun              : 2006
Halaman          : xx +448 hlm.  14 x21
Diresensi oleh : Ferry Djajaprana *)

Prolog:
Membaca judul buku "Al Furqon Lailatul Qodar Di luar Ramadhan", bagaikan membaca tafsir dua firman Allah, yaitu Surat Al Furqon (surat ke-25) dan Surat Al Qadr (Surat ke 97). Menurut kamus ilmu Al Quran 1) yang dimaksud Al Furqan adalah pembeda, maksudnya membedakan antara yang hak dan bathil, yang baik dan buruk, yang bermanfaat maupun mudharat sehingga dengan Al Furqon itu hati seorang hamba menjadi yakin kepada Tuhannya. Sedangkan Al Qadr (kadar) artinya kemuliaan. Isi surat ini adalah tentang diturunkannya Al Quran pada malam lailatul qadr, yang nilainya lebih baik dari seribu bulan, para malaikat dan Jibril turun ke dunia pada malam lailatul qadr untuk mengatur segala urusan. Bicara tentang lailatul qadr mengingatkan saya pada pencarian saya tentang malam Lailatul qadr di bulan Ramadhan lima belas tahun yang lalu di Gua Hiro di suatu gunung yang bernama Jebel Nur di Mekah, Saudi Arabia. Di sanalah tempat Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu pertama kali berupa Surat Al Qadr (Surat ke-97). Di kota Mekah saya banyak bertanya kepada beberapa ustads atau para kyai dari Indonesia yang kebetulan sedang umroh tentang ciri-ciri Lailatul Qadr tersebut. Dari uraian mereka banyak informasi yang bisa saya dapatkan diantaranya mereka menyebut ciri lailatul qadr adalah, malamnya hening, membekunya air, merunduknya pohon dan lain-lain. Setelah mengetahui ciri-ciri tersebut bukannya saya menjadi tenang, namun malah sebaliknya membuat semakin penasaran dan berakibat pada peribadatan saya terganggu karena menjadi waswas takut kehilangan lailatul qadr tersebut. Semestinya saya tidak perlu waswas, karena di dalam perjalanan spiritual bukanlah letak keberhasilannnya bukan pada ujian fisik belaka dan hasilnya bukan berupa ijazah ataupun stempel passport yang nyata melainkan berupa suatu mentalitas pemahaman seorang hamba kepada Tuhan-Nya sehingga menjadikannya sebagai wushul (perantara-Nya).

-o0o-

Isi Resensi :
Sengaja prolog diatas saya tulis untuk mengajak para pembaca memahami konsepsi waktu. Bagaimana kita bisa memahami waktu yang sudah lampau tapi bila kita menggalinya kembali dengan 'bermemori ria' seolah menjadi dekat bahkan seolah-olah baru saja terjadi? Bicara tentang waktu, semua memori tentang perjalanan pencarian lailatul qadr tersebut muncul seolah-olah tidak ada penyekat antara memori kejadian tahun 1994 dengan tahun 2009. Diam-diam saya membenarkan teori Roger Sperry 2) "Dual Brain" dan "Hemispheric Specialization" yang menyatakan bahwa salah satu fungsi otak kanan adalah pemikiran holistik dan tidak bergantung waktu. Seperti kita ketahui bahwa umumnya yang disebut malam lailatul qadr - disebut Al Quran sebagai "Satu Malam yang lebih baik dari seribu bulan" mengacu kepada satu malam di bulan Ramadhan. Tetapi bagaimanakah malam itu? Apa terjadi hanya sekali saja pada saat turunnya Al Quran (Nuzulul Quran)? setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Atau sepanjang tahun baik Ramadhan ataupun tidak? Malam Al Qadr yang ditemui Nabi pertama kali adalah ketika menyendiri di Gua Hira, Beliau merenung tentang diri dan masyarakatnya. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Jibril (Ar-Ruh) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia. Langkah kita untuk memahami Lailatul Qadr adalah beriman dahulu, berdasarkan pernyataan Al Quran "Ada satu malam yang bernama Lailatul Qadr" (QS. 97:1) dan bahwasannya malam itu adalah "malam yang pernuh berkah dimana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar Dengan penuh kebijaksanaan" (QS.44:3). Dilihat dari penjelasan diatas yang bersumber pada Kalamullah yang intinya menjelaskan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada bulan Ramadhan.. Bagaimana kalau Al Furqon, Lailatul Qadr di luar Ramadhan apakah bisa terjadi? Banyak ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, pakar hadis Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Nabi SAW pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi. Menurut Dr. M. Quraish Shihab 3) pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa lailatul qadr terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan, Rasul SAW menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan. Memang, turunnya Al Quran terjadi lima belas abad yang lalu pada malam lailatul qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliannya bukan hanya disebabkan karena Al Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, tanazal al malaikat wa alruh, kata tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa mendatang. Muhammad Luthfi Ghozali, sungguh cerdik bahkan memaknai lailatul Qadr katanya bukan hanya di bulan Ramadhan bahkan bisa saja diluarnya, alasannya dengan asumsi bahwa dengan amal ibadah itu manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya, maka bagi orang-orang yang berharap mendapatkan Lailatul Qadr bisa mencari kapan saja, baik di dalam maupun di luar Ramadhan, yaitu dengan melaksanakan mujahadah dan riyadah di jalan Allah SWT. Asumsi itu berdasarkan bukti bahwa setiap perintah Allah SWT kepada hamba-Nya, pasti ada aspek pembelajarannya (tarbiyah) di dalamnya. Tarbiyah yang sangat berguna bagi pembentukan karakter dan pendewasaan jiwa manusia, yaitu pada aspek filosofinya yang selalu dirahasiakan eksistensinya kecuali bagi seorang hamba yang matahatinya telah cemerlang dengan nur ma'rifat. Aspek pembelajaran itu bukan untuk memberatkan hidup manusia, namun sesungguhnya hanya untuk menciptakan peluang amal, agar manusia mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, baik lahir maupun bathin. Hakekat Lailatul Qadr dan Al Furqon adalah sama, yaitu sama-sama anugerah AllahSWT yang dikhususkan kepada hamba-hambanya yang beriman. Perbedaannya, lailatul Qadr itu fasilitas (serupa idul fitri) sementara Al Furqan adalah buah yang diberikan Allah SWT sebagai balasan apa-apa yang telah dikerjakan oleh seorang hamba ketika dua fasilitas tersebut dipakai dengan benar. Jadi, keberadaan Lailatul Qadr dan Idul Fitri itu di luar jiwa manusia sedang Al Furqon ada di dalam hatinya. Bisa berupa pengetahuan, iman, yakin, Nur Allah, nur Ma'rifat atau apapun juga, yang hakekatnya sama-sama berbentuk kekuatan yang memancar dari dalam hati, sehingga mampu menjadi obor penyulut semangat pengabdian dan perjuangan di jalan Allah SWT. Menurut Luthfi Ghozali yang mendapatkan Al Furqon adalah Ulul Albab, sehingga dengannya Ulul Albab selalu mampu membaca tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang ditebarkan dalam kehidupan. Luthfi mengutip QS 3:190, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam terdapat tanda-tanda bagi Ulul Albab". Luthfi menegaskan bahwa yang dimaksud Ulul Albab bukan hanya orang yang berakal saja sebagaimana pemahaman umum terhadap ayat tersebut. "Sebab, kalau hanya orang yang berakal saja, tidak mungkin mereka mampu membaca setiap sinyal yang disebarkan Allah SWT di alam semesta, terlebih terhadap sinyal yang bersifat bathin. Karena hanya orang yang matahatinya cemerlang saja yang mampu berbuat demikian." Tegas luthfi yang ditulis pada bab terakhir. Selanjutnya Luthfi menjelaskan secara terperinci bagaimana menjadi Ulul Albab tersebut. Ide yang diberikan Luthfi tersebut disetujui Ahsin W. Al Hafidz, di dalam Kamus Al Quran karangannya, menurut Ahsin yang dimaksud Ulul Albab adalah orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yaitu kabut ide yang melahirkan kerancuan dalam berfikir, dengan perkataan lain, Ulul Albab adalah orang-orang yang berfikir atau cendekia. Salah satu sifat Ulul Albab yang dipuji oleh Allah adalah "yang mendengar perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. (QS AzZumar [39]:18)

Epilog:
Sebagai penutup, Luthfi menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al Furqon atau Lailatul Qadr diluar Ramadahan adalah adalah Nur Allah yang menerangi jati diri manusia agar dengan Nur itu, manusia mampu memantulkan Nur kesempurnaannya dengan sempurna demi kesempurnaan alam semesta, atau yang disebut rahmatan lil aalamiin dan ini artinya menjadi insan kamil. Masukan dari peresensi ada dua point, pertama aspek teknis, buku Al Furqon lailatul Qadar di Luar Ramadhan ini berdurasi baca cukup panjang, maklum tebalnya mencapai 448 halaman lebih. Akan lebih baik bila menggunakan alur menurun, yaitu kesimpulan dikedepankan dahulu baru terurai ke sub pokok bahasan. Karena judul buku ini Al Furqon, akan tetapi masuk ke bab Al Furqonnya baru dibahas pada halaman 291 sehingga pembaca sering dibuat penasaran kenapa untuk mencapai bab yang dijadikan judul buku itu terlalu lama. Rasanya dengan cara alur menurun ini tidak masalah karena Al Furqon dan Lailatul Qadr itu masing-masing bisa berdiri sendiri. Pun pula, lailatul kadar lebih banyak membahas masalah waktu, bukankah lebih tepat bila waktu itu sebagai predikat menerangkan Al Furqon sebagai subyek? Masukan kedua adalah aspek ide pengarang akan waktu. Idenya sangat baik bahkan menurut peresensi bahwa apa yang digarap sudah masuk ke wilayah isyari (takwil) menafsirkan ayat dengan musytasyabihat (arti bathiniah) yang cukup berani berbeda. Bicara esensi, apa yang ditulis Luthfi Ghozali adalah benar, bukankah waktu adalah hanya kesepakatan manusia belaka? Secara hakiki waktu itu di set mengacu kepada bergeraknya matahari, di mana 24 jam dibagi siang dan malam hari. Disebut malam hari bila mana matahari tenggelam dan tidak ada sinarnya. Tapi apakah sesungguhnya matahari tenggelam? Tidak bukan? Matahari 24 jam nonstop bersinar, terjadinya silih bergantinya malam dan siang hanya karena rotasi bumi dimana matahari menyinari bumi di belahan lain sehingga belahan yang lainnya menjadi malam. Jadi, ide pengarang bahwa lailatul qadr itu bisa terjadi diluar bulan Ramadhan adalah bisa dibenarkan pada tatanan hakikat.

Jakarta, 17 April 2009


Ferry Djajaprana
*) Pemerhati Mistik Islam

Catatan Kaki:
1) Ahsin W. Al Hafidz, "Kamus Ilmu Al Quran", Penerbit Amzah, Wonosobo, 2005
2)Erbe Sentanu, "Quantum Ikhlas Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati", PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008 3)Dr. M. Quraish Shihab, "Membumikan AL Quran, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat", Mizan media Utama, 2002

Note :
Penulis bisa dihubungi di alamat email : verri...@yahoo.com

Kirim email ke