*CatataN reporter: Islam adalah Agama yang cinta damai http://www.gatra.com/artikel.php?id=114977
Robohnya Dunia Santri "Saya heran," kata Abdurrahman Wahid ketika menyambut acara peluncuran website Akbar Tandjung, bulan lalu, "Kenapa setiap orang berpidato selalu menyatakan: 'Mari kita panjatkan syukur'...." Hadirin terdiam karena tidak mengerti ke mana arah ucapan tersebut. Dan struktur "psikologi massa" semacam inilah yang menjadi "makanan" Kiai Wahid. Sebagaimana biasanya, dengan tangkas ia menjawab teka-teki itu: "Memangnya (si) Syukur tidak bisa panjat sendiri?" Mengembangkan tradisi kejenakaan yang cerdas, dalam arti mementaskan teka-teki dengan jawaban mengejutkan, merupakan tipikal kaum pesantren --locus sentral dunia kaum nahdliyyin. Almarhum Pak Ud atau Jusuf Hasyim, paman Abdurrahman Wahid dan pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, berkisah tentang zaman revolusi. Seorang santri yang menjadi pejuang telah dibekali dengan fatwa: wajib maju menghadang musuh. Sebaliknya, setiap langkah mundur hukumnya haram. Persoalannya, sang santri tiba-tiba harus berhadapan dengan sebuah tank Belanda. "Apa yang harus dilakukan?" tanya Pak Ud. Semua paham, betapa dilematis posisi pejuang santri tersebut secara fisik maupun religius. Maju berarti mengantar nyawa, dan mundur terkena sanksi agama. Tapi tak seorang pun bisa menjawab tantangan itu dengan tepat. Dengan kalem, Pak Ud menjawab sendiri: sang santri harus memiringkan posisi badannya. Dengan posisi miring, ia tak perlu kehilangan nyawa dan sekaligus tidak haram. Ahli budaya dan kosmologi Jawa dari Cornell University, Benedict Anderson, pernah terpesona oleh teka-teki cerdas kaum santri Jawa ini. Dalam karyanya, Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia, ia tertarik pada teka-teki longan (kolong). Dalam konteks ini, kaum santri memperdebatkan konsep ada dan tiada dengan bertanya apakah longan itu betul-betul riil? Longan sebuah meja atau ranjang dengan mudah bisa diidentifikasikan. Tapi, bagaimana jika meja dan ranjang itu dipindahkan? Apakah posisi longan meja atau ranjang tersebut tetap ada? Bermain logika dengan teka-teki cerdas dan jenaka ini tumbuh dalam keguyuban dunia pesantren. Tradisi itu berkembang karena struktur ritme kehidupan dunia santri ini bersifat self-sustain. Sifat ini bukan saja ditandai oleh kurang bergantungnya komunitas santri dalam ekonomi, budaya, dan intelektual pada aktor-aktor eksternal. Melainkan juga oleh berkembangnya mental qanaah (menerima apa adanya yang diberikan Tuhan) di kalangan mereka. Dalam ritme kehidupan yang berjalan secara teratur, tanpa tergesa-gesa, inilah gagasan-gagasan teka-teki cerdas muncul --bukan saja untuk mengasah otak, juga untuk memberi makna terhadap kehidupan itu sendiri. Secara sosiologis, kehidupan mandiri inilah yang memperkuat kohesivitas internal komunitas santri. Mental qanaah yang dianut membuat setiap anggota komunitas cenderung menggelar sikap ikhlas, karena itu menolak ambisi pribadi. Kombinasi keduanya ini membuat resiliensi (daya tahan) mereka terhadap tekanan eksternal menjadi paripurna. Dengan keikhlasan dan tanpa ambisi personal, mereka mempercayakan kepemimpinan kepada seseorang untuk menghadapi dunia luar. Ini pula yang menjelaskan bagaimana Nahdlatul Ulama (NU), jam'iah (organisasi) kaum nahdliyyin di bawah Abdurrahman Wahid, mampu mempertahankan soliditas, walau berada dalam tekanan rezim Orde Baru. Pertanyaannya, apakah kini soliditas itu tetap terjaga? Yang kita saksikan, keruntuhan kekuasaan rezim Orde Baru telah mengubah rezim kontestasi politik. Jika sebelumnya rezim itu bersifat --meminjam istilah Karl Jackson-- bureaucratic polity, yakni dunia politik yang dikuasai elite pemerintahan tanpa membutuhkan artikulasi kepentingan massa, kini berganti menjadi mass-based politics: kekuasaan hanya mungkin diraih oleh seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan dukungan massa. Puluhan juta warga nahdliyyin, dengan demikian, memenuhi persyaratan rezim kontestasi kekuasaan baru ini. Berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada awal reformasi bukan saja menjadi instrumen politik kaum nahdliyyin, melainkan juga cocok dengan semangat mass-based politics itu. Persoalannya, PKB lebih berfungsi sebagai sarana mobilitas vertikal segelintir anggota komunitas santri. Dari segi tertentu, PKB telah menjadi ruang inkubasi, dalam mana kaum santri membiak menjadi kaum menengah baru melalui jalur politik. Tapi, pada pihak lain, PKB adalah "pisau tajam" yang membelah kohesivitas jagat santri itu sendiri. Bayangan atau bahkan nikmat kekuasaan yang dapat diraih melalui PKB bukan saja telah membuat komunitas santri menjadi tak imun terhadap aktor-aktor eksternal, melainkan juga membuat mental qanaah memudar. Sebagai gantinya adalah penampilan pribadi-pribadi ambisius, yang nafsu kekuasaan mereka telah menyebabkan keguyuban ritme kehidupan santri menjadi hiruk-pikuk tanpa tujuan ideal. Pertarungan kekuasaan jagat politik santri dewasa ini telah menjadi bukti absah tentang robohnya kohesivitas komunitas ini. Dan gagasan teka-teki cerdas dan jenaka mungkin harus kita cari di dunia lain. Fachry Ali Pengamat politik [Perspektif, Gatra Nomor 25 Beredar Kamis, 8 Mei 2008] ++++++++++++++++++++++++++++++ http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=345445 Rabu, 11 Juni 2008, Rizieq Diminta Ubah Metode Perjuangan JAKARTA - Pro kontra pembubaran Jemaat Ahmadiyah tak hanya terjadi di kalangan umat Islam. Silang pendapat itu juga merasuk ke dua partai besar yang mengklaim sebagai representasi kaum nahdliyin. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga tak sepaham soal Ahmadiyah. Sikap pro terhadap pembubaran Jemaat Ahmadiyah ditunjukkan PPP. Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali bahkan sempat menjenguk Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab di tahanan Polda Metro Jaya pada Kamis lalu (5/6). Dalam pertemuan tersebut, Surya menegaskan bahwa kegiatan ibadah Jemaat Ahmadiyah merupakan penodaan terhadap agama Islam. Ditemui usai rapat paripurna di DPR kemarin (10/6), pria yang sering disapa SDA itu menjelaskan, kedatangannya ke Polda Metro Jaya untuk berdialog dengan Rizieq Syihab. "Kehadiran saya ke Habib Rizieq untuk mengajak FPI mengubah metode perjuangan mereka yang mengandung unsur kekerasan ke metode yang lebih lembut dan persuasif," papar SDA. Menteri koperasi dan usaha kecil menangah (UKM) tersebut juga menegaskan tidak setuju dengan pembubaran FPI. Sebab, menurut dia, kekerasan yang dilakukan FPI merupakan perilaku sejumlah oknum anggotanya. "Saya melihat kejadian kekerasan itu sebagai tawuran biasa. Jadi, kalau oknum PPP tawuran, bagaimana kita bisa menerima kalau PPP dibubarkan," tegasnya. (cak/mk) ++++++++++++++++++++++++++ Republika Minggu, 08 Juni 2008 Tuhan, [di Monas] Mereka tidak Sayang Kami! Oleh : KH Hasyim Muzadi Untuk kesekian kalinya, dada kita mendadak sesak seperti dihunjam palu godam teramat berat akibat menyaksikan bentrokan yang melibatkan beberapa komponen sesama anak bangsa baru-baru ini. Insiden yang terjadi di silang Monumen Nasional [Monas] tersebut bukanlah yang pertama. Tetapi, tentu saja harus diikhtiarkan untuk menjadi yang terakhir, siapa pun penguasa negeri ini. Sebab, sudah berulang kali kejadian serupa berulang, hanya akibat ketidakmampuan kita mengambil ibrah dari setiap kejadian. Lalu, ada apa sebenarnya dengan kita, bangsa Indonesia? Begitu mudahkah kita berselisih lalu bentrok fisik? Kitakah sebagai rakyat yang tak pandai menyikapi setiap perbedaan? Apa karena para pemimpin kita yang tak kunjung cerdas membaca riak-riak di tengah masyarakat? Atau, apa karena mereka memang tidak sayang kita dan tidak takut kepada Allah SWT? Sejatinya, bagi mayoritas umat Islam, masalah Ahmadiyah--pemicu aksi kekerasan itu--dalam konteks keyakinan/akidah sudah final. Karena, beberapa unsur keyakinannya berbeda dengan jumhur ummah. Maka, ia dikategorikan telah nyata-nyata menyempal dari aslinya. Karena itu, ia menyimpang dari pokok keyakinan umat Islam mayoritas. Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang hidup di negeri ini telah memiliki sikap yang jelas mengenai persoalan tersebut. Memang, sepertinya ini adalah persoalan lama yang muncul kembali. Keyakinan bahwa, antara lain, ada seorang nabi setelah Baginda Muhammad SAW, jelas-jelas bukan bagian dari keyakinan umat Islam. Di negeri asalnya, Pakistan, keberadaan Ahmadiyah juga dipersoalkan secara serius. Dengan alasan yang tak berbeda dengan di Indonesia: penyempalan dari pokok keyakinan umat Islam. Dalam konteks ini, sesungguhnya umat beragama, termasuk penganut agama Islam, sudah berbesar hati memberikan peluang kepada pemerintah. Sekurang-kurangnya, mereka bisa ambil bagian menyelesaikan masalah ini agar tidak memunculkan ekses negatif yang akan bereskalasi hingga ke akar rumput jika terus dibiarkan. Tragedi di Silang Monas merupakan bentuk nyata dari rentannya masyarakat kita ketika harus berhadapan dengan sebuah perbedaan sudut pandang. Mereka yang meneguhkan sikap melindungi kebebasan hak hidup terpaksa harus berhadapan dengan kelompok yang secara ketat dan berlebihan melindungi keyakinannya. Maka, kasus Ahmadiyah ini seperti sebuah modus procedendi atas terjadi bentrokan. Nah, ketika letupan berubah menjadi ledakan, pemerintah terkesan lamban memberikan jalan keluar yang bijak. Lantas siapakah gerangan yang paling diuntungkan dengan persoalan tersebut? Sebenarnya, tak ada yang menangguk keuntungan. Yang ada justru kerugian, minimal karena masalah ini lantas membuat harmoni sosial keagamaan terkoyak. Jamak terjadi bila dua kutub berbeda bertemu, sebenarnya tinggal menunggu waktu munculnya provokasi dari pihak-pihak yang mengipas suasana agar terus membara. Dan, benar saja. Tak lama setelah saling singgung antarkedua kubu, terjadilah ledakan kekerasan itu. Kalau pihak-pihak penjaga ketenteraman dan harmoni sosial tanggap, ledakan tersebut tak akan menjelma menjadi kobaran api amarah dan emosi yang berlebihan sehingga jatuh korban. Penyerang adalah anak bangsa kita sendiri dan korbannya adalah saudara sebangsa. Duh, Gusti! Bangsa kita sudah beratus-ratus tahun hidup dalam dunia adu domba, bahkan sejak republik ini belum lahir. Begitu rentannya tali harmoni sosial itu dikoyak, sampai-sampai begitu mudahnya ikatan kemasyarakatan dan kebangsaan menjadi tumbal kepentingan kelompok tertentu. Lalu, di manakah peran para pemimpin kita, khususnya di tingkat pemerintah ketika dibutuhkan kepeduliannya atas ini semua? Sungguh benar ajaran para tetua kita di kampung yang menganjurkan kita untuk selalu berdoa agar dikaruniai pemimpin yang sayang kepada kita dan takut kepada Allah. ''Allahumma la tusallith 'alayna bi dzunubina man laa yakhoofuka fiinaa wa laa yarhamuna. Ya Allah, janganlah kiranya karena dosa-dosa kami, Engkau anugerahkan kepada kami pemimpin yang tidak takut kepada-Mu dan tidak sayang kepada kami.'' Atau, doa ini benar-benar sudah terjadi. Sebab, di negeri ini, sikap saling curiga bersemayam, bahkan mencengkeram dengan amat kuat di benak setiap orang. Hingga, saudara sendiri pun harus dimata-matai apakah masih dapat dipercaya. Di negeri ini, pergunjingan adalah hal yang biasa. Jika sedetik saja kita tidak 'memangsa daging saudara' sendiri (istilah Alquran untuk orang-orang yang suka menggunjing), rasanya belumlah tenteram dan aman. Di negeri ini, jika muncul persoalan, bukan kepada hati nurani kita bertanya. Tetapi, langsung menjatuhkan vonis dan menuding saudara sendiri sebagai penyebab pelakunya. Di negeri ini, tak ada lagi yang bisa didengar karena yang meluncur tinggal sumpah serapah dan adu domba. Meski negeri kita terletak di atas bumi-Nya, kita selalu lupa bahwa Allah memiliki hak untuk mengusir kami dari tanah-Nya. Di hadapan pengadilan-Mu, dosa satu orang di antara kami terlalu besar jika cuma diukur dengan kesucian tuntunan-Mu. Ya Allah, ya Maaliki, apakah karena dosa-dosa kami ini, Engkau berikan kepada kami pemimpin yang sungguh tidak takut kepada-Mu dan tidak sayang kepada kami? "Allahumaa ya Rabb, jangan-jangan mereka memang tidak takut kepada-Mu. Selama ini, kami anggap mereka sebagai orang tua kami yang selalu siap memberikan rasa kasih dan sayang kepada kami. Tetapi, sejak kami angkat mereka sebagai pemimpin kami, mereka bukan membela kami menjelang tidur. Namun, justru membuat hati kami berdebar-debar karena waswas. Kapankah mereka akan memenuhi hak-hak ketenteraman hidup kami sehingga setiap saat membutuhkan rasa aman, kami harus membayar dengan apa saja. Setiap hari kondisi ini telah menebarkan rasa takut akan suramnya masa depan karena kekayaan alam kami habis dikuras, seakan-akan malaikat pencabut nyawa mengintai setiap saat. Kapankah mereka bisa menenteramkan hati kami?'' Maka, kinilah saatnya kita melapor langsung kepada Allah SWT setelah serangkaian persoalan tak mampu lagi kita tanggungkan sendiri. Setelah prahara yang mendera bangsa tanpa henti, belum berakhirnya krisis jati diri setelah 30 tahun lebih tercabik-cabik, lahirnya era baru yang tak kunjung membuahkan harapan, kompleksnya persoalan hingga sulit mencari jalan keluar, kini saatnya kita mengadu hanya kepada Allah. Sesungguhnya, hidup dan mati adalah ujian. Siapa di antara kita yang paling baik perbuatannya. Demikianlah Allah mengingatkan kita melalui firman-Nya yang Agung. Tetapi, rasanya teramat sulit bagi kita untuk dapat mencerna dengan kesadaran tinggi, kepasrahan total, dan kebeningan jiwa yang luhur untuk memaklumi isyarat Tuhan tersebut. Bangsa ini tinggal berharap pada harapan itu sendiri setelah tiada lagi institusi, lembaga, pranata sosial, dan pemimpin yang dengan ketulusan hati berkenan mendengarkan jeritan yang dengan bersuara pun tak mampu lagi membantu kita meneriakkannya. Saatnya kita melapor langsung kepada Allah, betapa sulitnya menghitung dengan jari. Siapa lagi yang mampu menjadi khalifah-Mu di Bumi Pertiwi ini? Tuhan, saksikan dan dengarlah pengaduan hamba-hamba-Mu ini. Kami sadar benar bahwa Engkau Maha Mendengar dan Saksi Abadi atas derita yang membelit segenap anggota tubuh kami. Tuhan, kami hanya ingin mengadu kepada-Mu melalui Sifat dan Asma-Mu yang Agung. Wallaahu a'lamu bishshawaab wa Allaahu wallyuttaufiq. +++++++++++++++++++++++++++++ http://www.poskota.co.id/news_baca.asp?id=39639&ik=5 Ketua DPD Ahmadiyah Keberatan KTP Dicabut Kamis 12 Juni 2008, Jam: 19:57:00 BANDUNG (Pos Kota) - Ketua DPD Ahmadiyah Kota Bandung, Dedi Suherman, mengaku keberatan jika identitas agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dicabut. "Kami ini Islam, jadi tak ada alasan identitas agama kami di KTP dihilangkan," kata dia, Kamis (12/6) usai menghadiri pertemuan di kantor Kejaksaan Negeri Bandung. Dijelaskan Dedi, Ahmadiyah bukan agama tapi hanya sebatas organisasi Islam seperti Muhamadiyah, NU, dan Persis. Oleh karena itu, tegas dia, agama Ahmadiyah tetap Islam. "Tak ada tatacara ibadah kami yang selama ini melenceng dari ajaran Islam, mulai sahadat, salat dan ritual lainnya," aku dia. Menanggapi hal itu, Sekjen Aliansi Umat Islam (Alumi) Ihsan Latief menegaskan, selama Ahmadiyah mengaku masih ada nabi setelah Nabi Muhamad SAW, jelas salah. "Mana mungkin mereka mengaku Islam. Islam nabinya Muhammad dan merupakan nabi terakhir," tegasnya. Sebagaimana diberitakan Pos Kota (12/6), 46 ormas Islam di Bandung meminta supaya pemda menghapus identitas Islam pada KTP milik jemaah Ahmadiyah. (dono/rf/r) ++++++++++++++++++++++++ Refleksi: Kesurupan adalah pekerjaan iblis seytan [Setan], demikian keterangan seorang salah seorang sobat . Benarkah keterangan sobat tsb ataukah ada unsur lain? http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/35806/627/ 18 Santri Kesurupan Kamis, 12-06-2008 | 01:04:38 PAMEKASAN - Sebanyak 18 santri Pondok Pesantren Sabilul-Huda, Dusun Kembang Kuning, Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, Rabu (9/6) siang mengalami kesurupan. Santri yang mengalami kesurupan, awalnya tiga orang dan terus bertambah hingga 18 orang. Menurut pengasuh Ponpes Sabilul-Huda, Jufri Nawawi, kasus kesurupan seperti ini sudah terjadi sejak tiga bulan lalu. Namun, kali ini jumlah santri yang kesurupan lebih banyak.(kmp) * -- ********************************** Memberitakan Informasi terupdate untuk Rekan Milist dari sumber terpercaya ************************************