Refleksi: Kalau caleg sakit jiwa gagal masih agak lumayan, karena  tidak 
berpengaruh terhadap keadaan politik, ekonomi dan sosial kehidupan rakyat,  
karena  bisa diistirahatkan di rumah gila. Tetapi, kalau caleg sakit jiwa 
paranoid rakus kekuasaan, rakus harta bukan miliknya,  pasti dia main injak 
sana sini untuk kepentingan pribadi dan keluarganya dan mungkin juga 
konco-konco di sekitarnya saja yang beruntung,  lain dari itu tenggelam dalam 
kabut kebisuan yang tidak dianugerahi berkat. 

http://www.inilah.com/berita/politik/2009/03/30/94696/sakit-jiwa-hantui-caleg-gagal/

30/03/2009 - 21:59

Sakit Jiwa Hantui Caleg Gagal
Vina Ramitha & Anton Aliabbas



Maftuh Basyuni
(inilah.com/ Subekti)
INILAH.COM, Jakarta - Rupanya musim pemilu kali ini tidak hanya pengusaha 
konveksi atau kelompok pengerah massa saja yang kebanjiran order. Pengelola 
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di sejumlah tempat juga kini menyiapkan diri untuk 
kebanjiran pasien. Pasien diperkirakan akan berasal dari kalangan politisi yang 
gagal merengkuh impian menjadi anggota dewan.


Miris memang. Tapi, boleh jadi itu bisa menjadi fenomena yang mewabah usai 
pesta demokrasi digelar. Sebab, untuk menjadi caleg, para politisi itu 
menghabiskan uang yang tidak terbilang sedikit. Hampir semua caleg, pastinya 
sudah menghabiskan dana jutaan rupiah.


Wakil Ketua Komisi I DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Abdul Hadi Faishal 
mengungkapkan potensi sakit jiwa koleganya sesama politisi cukup besar. 
Terlebih, bila caleg tersebut merupakan pemain baru di pentas politik. "Di sini 
peranan partai politik yang seharusnya melakukan kaderisasi yang matang," ujar 
Hadi.


Seharusnya, pola kaderisasi di parpol tidak berlangsung instan, setahun-dua 
tahun. Lamanya waktu menempa 'ilmu politik' itu penting untuk mengasah 
kemampuan berpolitik. Terlebih saat ini, sistem yang digunakan tidak lagi nomor 
urut melainkan perolehan suara terbanyak. 


"Apalagi sekarang ini caleg yang meraih suara terbanyak berhak terpilih menjadi 
anggota legislatif, baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan jika 
tidak terpilih, kemungkinan mengalami stres terutama caleg yang kurang matang 
kesiapan mentalnya," prediksi Hadi. 


Dirinya menduga dengan banyaknya caleg dan sulitnya cara memilih maka 
dikhawatirkan angka suara tidak sah akan membengkak. Alhasil banyak pula caleg 
tidak meraih suara sebanyak yang diinginkan. Padahal, di satu sisi, para caleg 
terus berlomba-lomba mengampanyekan diri sendiri. 


Merebaknya dugaan fenomena ini membuat Menteri Agama Maftuh Basyuni gelisah. 
Mantan Dubes Arab Saudi ini berharap para caleg yang kini bertarung siap 
menerima realita politik. Intinya, caleg yang kalah harus senang melihat 
pesaing politiknya menang.


"Caleg tentu menginginkan menang, tidak ingin kalah sehingga akan terjadi 
gesekan-gesekan. Untuk itu saya ingatkan kepada caleg harus siap kalah dan 
menang, " pinta Maftuh.


Dalam pandangannya, ukuran keberhasilan pemilu adalah adanya peserta yang siap 
kalah dan menang. Hal ini penting agar tercipta pesta demokrasi yang aman damai 
serta melahirkan pemimpin yang amanah. "Pemilu nanti ukurannya adalah siap 
kalah dan menang, dalam artian caleg yang kalah harus senang melihat saudaranya 
yang menang. Itu baru menyontoh apa yang telah dilakukan oleh para sahabat 
Rasullah Muhammad SAW, " bebernya.


Ia menambahkan adanya persaingan dalam pemilu adalah hal wajar. Namun bukan 
berarti lantas timbul permusuhan antara yang menang dan yang kalah hanya karena 
merasa tidak senang. "Akui kekalahan dan dukung mereka yang menang karena 
ukuran sukses pemilu bukan saja berhasil memenangkan pertarungan politik tetapi 
sejauh mana pesertanya mampu menciptakan pemilu yang elegan," tandasnya.


Hasil survei kesehatan mental rumah tangga (SKMRT) pada 1995 menunjukkan gejala 
gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah tangga dewasa di Indonesia, yakni 
185 kasus per seribu penduduk. Selain itu, gangguan mental emosional pada usia 
15 tahun ke atas mencapai 140 kasus per seribu penduduk. Sementara pada rentang 
usia 5-14 tahun mencapai 104 kasus per seribu penduduk.


Psikolog Tika Bisono menjelaskan kesehatan jiwa seseorang sangat menyangkut 
pada masalah well-being atau intensitas seseorang sebagai manusia. Sehat jiwa 
mencakup perilaku, pikiran, perasaan sehat, dan bahagia serta mampu menghadapi 
tantangan hidup. Artinya, orang yang sehat jiwa akan dapat mempercayai orang 
lain dan senang menjadi bagian dari suatu kelompok.


Taraf gangguan jiwa pun beragam. Mulai dari yang sangat ringan, tidak 
memerlukan perawatan khusus seperti kecemasan dan depresi. Kemudian bertahap ke 
tingkat ketagihan Napza, alkhol dan rokok, dan kepikunan pada orangtua. Tahap 
paling berat adalah skizofrenia dimana penderita tak mampu lagi membedakan 
antara kenyataan dengan khayalannya sendiri. 


Dan bukan tidak mungkin, menurut staf pengajar Fakultas Kedokteran UI Ari 
Fahrial Syam, para caleg yang gagal terpilih itu akan menderita gangguan fisik. 
Sebab, keseimbangan saraf otonom, sistem hormon, organ dan pertahanan tubuh 
terganggu. "Stres merupakan faktor utama terjadinya gangguan jiwa yang 
berdampak pada gangguan fisik atau psikosomatik," kata Ari.


Fenomena ini tentu tidak bisa disepelekan. Apabila kondisi ini benar terjadi 
maka yang paling pertama yang disalahkan adalah parpol. Karena, ini adalah 
kegagalan parpol dalam menciptakan kader yang tidak hanya siap menang tetapi 
juga matang secara politik yang tentu saja dapat menerima kekalahan.


Sudah sepatutnya, para penggiat parpol mewaspadai masalah ini. Karena 
bisa-bisa, bukan satu dua saja caleg yang masuk perawatan, tetapi puluhan 
bahkan ratusan caleg gagal. Mumpung belum terjadi, selayaknya para pengurus 
parpol bergegas mengantisipasi.[L4

<<94696.jpg>>

Kirim email ke