Para pengikut Yesus Kristus atau orang-orang Kristen dalam “Jemaat Awal/Purba” dikenali melalui tanda salib. Gedung atau bangunan dikenali sebagai gereja atau kapel (tempat ibadat orang-orang Kristen atau Katolik) ketika di puncak bangunan terpasang ‘salib’. Salib dipasang di tembok rumah /kamar menunjukkan bahwa pemilik atau penghinya adalah orang Kristen atau Katolik, beriman pada Yesus Kristus. Salib dipasang sebagai assesori, entah sebagai kalung atau ditempel di baju bagian dada menunjukkan bahwa pribadi yang bersangkutan percaya kepada Yesus Kristus. Masing-masing dari kita dilahirkan dalam dan melelalui penderitaan dan pengorbanan ibu kita masing-masing alias dalam ‘salib’. Anak-anak kecil atau bayi yang digendong oleh ibunya sering mohon berkat dari pastor atau imam dan mereka diberkati disertai pemberian tanda salib di dahinya/kepalanya. Kita, orang katolik membuka dan menutup doa dengan membuat tanda salib dengan berkata “Dalam Nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus” sambil menepok/menyentuh dahi/kepala , dada serta kedua bahu. Salib dipasang di atas peti jenasah serta di ‘pusara makam/kuburan’, sebagai tanda atau permohonan agar almarhum atau almarhumah meninggal dunia atau mati bersama dengan Yesus yang wafat di kayu salib. Sejak dilahirkan sampai mati atau dipanggil Tuhan kiranya kita yang beriman atau percaya kepada Yesus Kristus tidak pernah terlepas atau terbebaskan dari salib, maka marilah dalam rangka mengenangkan Pesta Salib Suci hari ini kita renungkan atau refleksikan sejauh mana kita hidup dan bertindak dengan atau dalam ‘panji-panji salib’
Keutamaan ‘rendah hati’ itulah kiranya yang harus kita hayati serta sebarluaskan dalam hidup sehari-hari. “Rendah hati” adalah “sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya. Ini diwujudkan dalam perilaku, yang penuh perhatian, mau mendengar dan mengakui eksistensi (kebenaran) orang lain, yang bahkan lebih rendah dari dirinya” (Prof Dr.Sedyawati(edit): Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka Jakarta 1997, hal 24), atau meneladan Yesus yang ‘telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahhan sampai mati di kayu salib”. “Rendah hati” dan “taat” bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan namun tak dapat dipisahkan, maka baiklah kita renungkan atau refleksikan perihal ‘ketaatan’. Penghayatan keutamaan ‘ketaatan’ masa kini sungguh memprihatinkan, entah dalam hidup beriman, beragama, membiara atau imamat, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Gejala yang nampak atau dapat diinderai setiap hari antara lain apa yang terjadi di jalanan, dimana para pejalan kaki, pengendara sepeda motor atau mobil kurang/tidak mentaati aturan berlalu lintas; cukup banyak orang melanggar rambu-rambu lalu lintas seenaknya, sehingga menimbulkan kecelakaan dan korban manusia. “Jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh Tanah Air tercatat cukup tinggi. Jumlahnya mencapai 11 ribu orang dari 20 ribu kecelakaan per tahun.” (www.detiknews.com) Kecelakaan ini kiranya dapat terjadi karena pengemudi tidak mentaati aturan berlalu lintas, tidak mentaati aturan perawatan dan pemafaatan kendaraan sehingga kendaraan sebenarnya tidak layak jalan, dst.. Apa yang terjadi di jalanan hemat saya dapat menjadi cermin kwalitas bangsa atau masyarakat. Berrefleksi perihal kerendahan hati dan ketaatan pada hemat saya kita dapat belajar dari apa yang terjadi di dalam tubuh kita masing-masing. Tubuh kita terdiri dari banyak anggota, misalnya yang kelihatan: mata, mulut, telinga, tangan, kaki, hidung dst.. Masing-masing anggota ditempatkan oleh Allah sedemkian rupa, pada tempatnya, senantiasa siap sedia menjalankan fungsinya, tidak ada yang iri hati terhadap yang lain, saling tanggap akan kebutuhan masing-masing, dst.. Yang paling nampak rendah hati dan taat rasanya ‘leher’: ia siap sedia dilewati apapun alias siap sedia melaksanakan perintah, tidak korupsi, tidak menyakiti ,dst.. Meneladan kerendahan hati dan ketaatan Yesus, yang mengosongkan diri dan merendahkan diri sampai wafat di kayu salib, hemat saya kita dapat berfungsi seperti ‘leher’ dalam tubuh kita. ‘Leher’ menjadi jalan/penyalur kebutuhan seluruh tubuh, senantiasa rendah hati dan taat serta tidak korupsi. Dengan rendah hati dan taat kita dipanggil untuk menjadi ‘penyalur-penyalur’ rahmat atau berkat Tuhan bagi sesama serta ‘keluh kesah, dambaan, kerinduan, harapan sesama’ bagi Tuhan. Ia selalu ‘telanjang’, tidak pernah atau jarang menutupi dirinya Beriman kepada Yang Tersalib berarti datang atau masuk ‘ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkan dunia’. Beriman kepada Yang Tersalib berarti harus hidup mendunia, berpartisipasi dalam seluk-beluk kehidupan duniawi. Dimana ada bagian dunia yang tidak selamat para murid Yesus Kristus, orang Kristen/Katolik, dipanggil untuk mendatangi dan menyelamatkannya, entah bagian dunia tersebut ada di dalam keluarga, masyarakat ataupun tempat kerja kita. Ingatlah dan sadarilah bahwa mayoritas waktu, tenaga dan perhatian kita setiap hari terarah kepada seluk-beluk duniawi, hal-hal duniawi. Agar kita dapat menyelamatkan dunia kiranya kita sendiri harus dalam keadaan selamat, antara lain berarti dapat mengelola dan mengurus tubuh kita, diri kita serta segala sesuatu yang kita miliki dan kuasai dengan baik, sesuai dengan kehendak Allah, Sang Pencipta. “Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, -- dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?”(1Kor 6:19), demikian peringatan Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua orang yang beriman kepada Yesus Kristus. Karena tubuh kita adalah ‘bait Roh Kudus atau bait Allah’ maka selayaknya derap langkah atau setiap gerakan dari tubuh kita senantiasa menyelamatkan dan membahagiakan diri kita sendiri maupun orang lain yang kena dampak langkah atau gerakan tubuh kita. Untuk itu diharapkan setiap langkah atau gerakan tubuh kita mennghasilkan buah-buah Roh seperti: : “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri”(Gal 5:22-23). Kata-kata yang keluar dari mulut kita berinspirasikan atau senada dengan sabdaNya atau doaNya di puncak kayu salib:"Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."(Luk 23:34). Dengan demikian siapapun yang bertemu dengan kita, melihat kita, bersama hidup dan bekerja dengan kita ‘akan menunduk, merendahkan diri dan bersembah sujud kepada Yang Ilahi’, atau mereka akan berdoa seperti yang didoakan oleh ‘bangsa terpilih’: "Kami telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan TUHAN dan engkau; berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkan-Nya ular-ular ini dari pada kami.” (Bil 21:7) Jakarta, 14 September 2008