http://batampos.co.id/opini/opini/sayang%2c_saya_bukan_perempuan/


      Sayang, Saya Bukan Perempuan  
      Rabu, 22 Oktober 2008  
      Oleh: Maswito SPd
      Koordinator Bidang HAM dan Perlindungan Profesi/ Ikatan Sarjana 
Pendidikan Indonesia (ISPI)  Pulau Bintan 
      Sesuai data dan fakta, di seluruh sudut republik ini, lebih dari setengah 
jumlah total penduduknya adalah kaum perempuan. Dari sini dapat disimpulkan 
bahwa perempuan adalah bagian yang mayoritas. Tentu fenomena ini menjadi 
menarik diperbincangkan ketika kini kita dihadapkan pada pesta demokrasi Pemilu 
2009. Pertanyaannya barangkali, sudah sejauh mana kaum perempuan memberi peran 
dalam kehidupan politik dan demokrasi membangun bangsa ini? Bukankah semestinya 
perempuan mendapatkan tempat yang layak sebagai salah satu unsur pengambil 
kebijakan dalam lembaga legislatif mengingat perempuan adalah bagian mayoritas 
menghuni Republik Indonesia?


      Tak usah membantah. Secara prinsip, persoalan perempuan adalah persoalan 
keseharian yang setiap saat harus diperbincangkan dan diperjuangkan. Pada 
wilayah politik, perempuan wajib didukung untuk menempati ruang politik yang 
layak dengan jumlah kaum perempuan yang diwakilinya. 


      Kita, bangsa Indonesia, terlambat atau entah sengaja barangkali menyadari 
betapa peran perempuan diperlukan dalam mengambil keputusan dari setiap 
kebijakan pembangunan. Langkah awal bagi upaya meningkatkan keterwakilan 
perempuan dalam politik baru dimulai pada Pemilu 2004. Ini sesuai aturan pasal 
65 ayat 1 UU No. 12 / 2003 yang menyebutkan partai politik "dapat" 
mempertimbangkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam 
pencalonan legislatif.


      Ini sikap positif karena sejak pemilu-pemilu Orde Baru, jumlah perempuan 
yang menjadi anggota di legislatif hanya berkisar 7-12 persen. Jumlah ini 
sangat tidak memadai jika melihat dari perspektif perlunya mengedepankan 
pengalaman bersama (laki-laki dan perempuan) dalam proses pengambilan kebijakan 
politik.


      Pun, ternyata sikap positif saja tidak cukup. Pasal 65 ayat 1 UU No. 
12/2003 tidak meminta partai politik untuk mencalonkan sekurang-kurangnya 30 
persen perempuan. Kata "dapat" dalam pasal itu masih belum memberi harapan 
besar bagi perempuan. Secara cermat, kata dapat itu baru sebatas imbauan, bukan 
keharusan.


      Baru dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan 
sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol 
tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta 
pemilu. Ini sudah cukup kuat kan? Dan berarti, untuk pecalonan perempuan di 
legislatif juga harus 30 persen. Ingat, ini amanat undang undang.


      Nah kita di Kepri, betapa tidak miris melihat pengumuman di media massa 
beberapa hari setelah KPUD Kepri usai mengumumkan Daftar Caleg Sementara (DCS). 
Fakta yang tersaji, dari 38 partai peserta pemilu, hanya empat partai yang 
memberikan apresiasi tinggi terhadap perempuan dalam pencalonan di legislatif 
atau kuotanya di atas ambang amanat Undang Undang. Partai-partai tersebut 
antaranya; Partai Pelopor (40 persen), Partai Peduli Rakyat Nasional (41 
persen), Partai Damai Sejahtera (41 persen) dan Partai Serikat Indonesia (44 
persen).


      Dari sini pula, kita dapat menilai, betapa partai-partai besar lainnya 
cuma omong doang dan basa-basi. Mereka yang membuat Undang Undang ini tanpa 
sanksi, sehingga mudah bagi mereka melanggarnya. Bukankah ini sebuah niat 
buruk? Bayangkan, dari awal-awal pembentukan Undang Undang saja mereka yang 
kini duduk di kursi DPR sudah berniat jelek, dan lihatlah faktanya kini. 
Perempuan hanya sebatas komoditas politik. Malang nian nasib mu wahai perempuan.


      Tulisan ini bukan hendak memprovokatori atau menuding. Arahnya lebih 
kepada pencerahan. Dan, seharusnyalah kaum perempuan sadar dan jangan hanya 
diam jika ingin mewarnai pembangunan di negara ini. Pilihannya hanya ada dua, 
bangkit melawan atau diam tertindas. Saya kira, opsi pertamalah yang harus 
dipilih, sebab di negara ini siapa yang berani melawan, dialah yang 
diperhatikan.


      Karena jumlah perempuan bagian mayoritas, ini hendaknya menjadi spirit 
perempuan di Kepri. Sudah cukup banyak organisasi berbasis perempuan yang hadir 
dan dibentuk untuk kepentingan perempuan. Namun, kenapa melempem melihat 
fenomena ini? Apakah organisasi perempuan yang dibentuk itu sekedar untuk ikut 
pelatihan atau kursus menjahit, salon dan kecantikan.


      Sekali lagi, sadarlah perempuan. Jika hanya bisa mengeluh karena tak 
diberi kesempatan sama dalam politik, ya sebatas mengeluh itu sajalah. Bangkit, 
bangkit, dan bangkitlah. Lawan ketidakadilan itu dengan aksi nyata sebagaimana 
yang telah dirintis pahlawan kita, R.A. Kartini. 


      Dalam konteks kekinian, Andalah Kartini-Kartini itu. Anda bangkit hari 
ini, kelak akan menjadi catatan sejarah perempuan masa mendatang. Jika tak 
dimulai dari sekarang, maka tak guna kita punya pahlawan dan mengagung-agungkan 
R.A. Kartini. Barangkali Kartini pun malu melihat perempuan kini yang sudah 
diberi kesempatan tapi tak mau peduli nasib kaumnya sendiri.


      Saya hanya berharap, di Pemilu 2009 ini, meski kita sadar kuota 30 persen 
perempuan baru sebatas basa-basi, bukan menjadi kelemahan perempuan mengubah 
nasibnya di masa mendatang. Sebab, mengutip Eleanor Roosevelt, seorang 
Diplomat, "Tak seorang pun dapat membuat Anda merasa rendah diri, kecuali Anda 
sendiri mengizinkannya". Pertanyaannya cuma satu. Apa perempuan ingin 
direndahkan dan diremehkan selalu?


      Sayang, saya terlahir bukan sebagai perempuan. Jika takdirnya saya 
perempuan, maka tak lengah saya akan menjadi pelopor kaum perempuan mengubah 
nasibnya di Kepri ini.
     

Kirim email ke