Sekilas Pemilu Dari Masa Ke Masa
Oleh : Usman Hasan

Banyak partai politik (parpol) berdiri paska Maklumat X ( Maklumat Hatta) pada 
1 Nopember 1945 yang inti maklunat dimaksud adalah memberikan kesempatan 
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendirikan parpol
Pemilu pertama (1955) dengan sistem multy partai yang dianggap banyak pengamat 
sebagai pemilu paling demokratis sepanjang negara ini menyelenggarakan sembilan 
kali pemilu dimenangkan oleh empat parpol besar, yaitu Partai Nasional 
Indonesia (PNI), Nadhatul Ulama (NU), Masyumi dan Partai Komunis Indonesia. 
Pilihan masyarakat terhadap empat kekuatan besar tersebut adalah gambaran dari 
realitas aspirasi politik rakyat masih sejak zaman pergerakan.
Pemilu kedua pada masa Orde Baru, diselenggarakan pada tahun 1971 yang diikuti 
oleh sepuluh konsestan, yaitu : Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan 
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Partai Kristen Indonesia 
(Parkindo), Partai Katolik, Nadhatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia 
(Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Perti. Tiga partai yang 
mendapat dukungan rakyat secara signifikan pada pemilu 1955, yaitu Masyumi, 
Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan PKI tidak lagi ikut pemilu 1971 disebabkan 
telah dibubarkan. Masyumi dan PSI dibubarkan oleh Sukarno, sedangkan PKI 
dibubarkan oleh Suharto.
Pemilu tahun 1971 adalah pemilu yang dilaksanakan pada awal-awalnya Suharto 
mulai meletakan fondasi kekuatan dominasi politiknya yang didukung penuh oleh 
Sekber Golkar dan militer.
Dengan segala cara dilakukan oleh pemerintah untuk memenangkan Sekber Golkar. 
Kemenangan Sekber Golkar adalah mutlak kalau hendak memenangkan Orde Baru dan 
memuluskan pembangunan yang menjadi ideologi Orde Baru (Pembangunanisme). 
Kepada rakyat di suap propoganda bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. 
Pembangunan yes, politik no. Padahal pemilu adalah kegiatan politik, DPR/MPR, 
DPRD adalah lembaga politik, Presiden, Gubernur, Bupati adalah jabatan politik, 
melakukan kerja bhakti, upacara bendera, mengurus KTP, membayar pajak , berlalu 
lintas secara santun dan taat aturan, kesemuanya berhubungan dengan kesadaran 
politik rakyat.

 
Amir Mahmud seorang jenderal kepercayaan Suharto yang menjabat Mendagri 
mengeluarkan kebijakan “ monoloyalitas”. Semua PNS wajib loyal hanya kepada 
kekuatan Orde Baru dan celakanya yang dimaksud sebagai kekuatan Orde Baru 
ditafsirkan seenak perut, semata-mata hanya Sekber Golkar.
PNS disediakan Tempat Pemungutan Suara (TPS) tersendiri, terkait dengan upaya 
mengontrol pilihan PNS jangan sampai melenceng dari yang digariskan, yaitu: 
“monoloyalitas”. PNS yang membangkang pasti dipecat. Rakyat hanya bisa urut 
dada, petinggi parpol hanya mampu teriak-teriak sampai leher bengkak, tapi 
bagaikan teriakan di hutan belantara. Bouldoozer, julukan yang diberikan oleh 
pers kepada Amir Mahmud bergerak terus dengan brutalnya
Tidak sia-sia perjuangan sang bouldoozer, Sekber Golkar menang mutlak dan 
menjadi single mayority (mayoritas tunggal) menyusul NU, Parmusi dan PNI. 
Dengan kekuatan mayoritas tunggal di Parlemen dan dukungan militer yang 
mendapat jatah kursi parlemen tanpa capek ikut pemilu, maka Suharto dapat 
menjalankan semua ambisinya dengan mulus.
Paska Pemilu 1971, Ali Murtopo Jenderal kepercayaan Suharto memprakarsai upaya 
fusi parpol yang berbuah sukses. Pada tahun 1973 sembilan partai politik 
melakukan fusi. PNI, Murba, IPKI, Parkindo, Partai Katolik berfusi dalam Partai 
Demokrasi Indonsia (PDI) sedangkan NU, Parmusi, PSII dan Perti berfusi dalam 
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sejak tahun 1977 sampai pemilu 1997 pemilu 
diiukti oleh tiga konsestan, yaitu Golkar, PDI dan PPP dan kemenangan mutlak 
tetap di tangan Golkar. 
Reformasi yang dipelopori mahasiswa dengan dukungan rakyat pada tahun 1998 
berhasil meruntuhkan kekuasaan Suharto dan keadaan itu menjadi awal dari 
berbagai perobahan system politik di Indonesia. Habibie sebagai Presiden kedua 
diakui sebagai orang paling berjasa meletakan fondasi dari Reformasi, salah 
satunya adalah pemilu yang pesertanya dibuka secara luas kepada mereka yang 
mendirikan parpol, sehingga tercatat dua ratusan parpol yang mendaftar ikut 
pemilu dan yang lolos 48 parpol.

 
Pada pemilu 1999, kemenangan bukan lagi diraih Golkar, tapi oleh PDI-P dengan 
lambang banteng moncong putih dibawah pimpinan anak Bung Karno yang sangat 
dicintai rakyat Indonesia, yaitu Megawati Sukarno Putri, menyusul Golkar, PKB, 
PPP dan PAN
Kader-kader yang belum memiliki kesempatan karena harus mengikuti antri panjang 
di Golkar dengan sigap meloncat pagar pindah ke partai-partai baru. Yang 
mengherankan, sebab justru mereka yang paling nyaring berteriak anti anti 
Suharto, anti Orde Baru, pejuang Reformasi, bahkan mereka itu yang kadang 
paling nyaring suaranya berteriak anti Golkar.
Golkar yang dikalahkan oleh PDI-P pada pemilu 1999 berusaha untuk merebut juara 
yang hilang. “ Mari bung rebut kembali ” menjadi motto Golkar pada pemilu 2004, 
dan memang terbukti, apa yang menjadi motto Golkar bukan sekedar bualan kosong. 
Golkar menjadi pemenang pemilu 2004 dengan mengalahkan PDI-P pada pemilu 2004, 
menyusul PDI-P, PKB, PPP, PAN. Kemudian ada dua parpol yang mendapat suara 
cukup signifikan, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang untuk kedua 
kalinya ikut pemilu (tahun 1999 dengan nama partai Keadilan) dan Partai 
Demokrat yang baru pertama menjadi peserta pemilu
Tidak terlalu lama (tahun 2009), pemilu yang kesepuluh akan dilaksanakan. 
Bagaimanapun anggapan miring publik mengenai parpol, tetap saja parpol belum 
tergantikan oleh lembaga lain dalam menapak jalan demokrasi seperti yang telah 
disepakati bangsa yang besar ini. Parpol tetap saja memegang peran strategis 
dalam melakukan pendidikan politik rakyat, mencetak kader pemimpin partai dan 
masyarakat dan berbagai fungsi strategis lainnya.
Ketika parpol sendiri tidak dapat membenahi internalnya, hanya mementingkan 
kepentingan pribadi, klik, golongan dan kelompoknya, maka jangan bermimpi 
Indonesia yang dicita-citakan akan terwujud.
Kalau pemilu hanya menjadi semacam arena elite untuk berkuasa dengan menjadikan 
rakyat sebagai obyek, bukan semata-mata menegakkan kedaulatan rakyat secara 
total atau dengan kata lain menjadikan rakyat sebagai subjek, maka secara sadar 
pula parpol telah melakukan pembohongan dan penipuan kepada rakyat dan biaya 
pemilu yang sebegitu besar, pengorbanan nyawa dan darah rakyat yang diakibatkan 
ekses di lapangan dalam setiap pemilu akan menjadi sia-sia belaka

 

Pantas saja kalau suatu saat rakyat akan sampai pada kesimpulan : ‘ bahwa 
pemilu hanyalah sekedar ritual demokrasi yang kering kerontang tanpa makna, 
hanya menaikan orang dan kelompok baru untuk berkuasa, hanya perguliran 
kekuasaan baik secara alamiah maupun secara kotor dengan menendang lawan 
politik yang ujung-ujungnya bukan untuk kesejahteraan rakyat tapi untuk 
memenuhi keserakahan kekuasaan dan kekayaan duniawi segelintir orang. Dan bukan 
sesuatu yang mustahil, kondisi tersebut akan melahirkan akumulasi kekecewaan, 
ketidakpercayaan, apatisme dan sinisme rakyat yang berujung pada kesimpulan 
bahwa demokrasi itu tak berguna. Kalau sudah begitu, maka revolusi sosial akan 
menjadi pilihan.



   Salam
Abdul Rohim
http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id


      

Kirim email ke