Selamat Pagi, Mas Presiden!
 diambil dari 
http://www.thaniago..blogspot.com<http://www.thaniago.blogspot.com/>

Selamat Pagi, Mas Presiden!
Oleh: Roy Thaniago



<http://2.bp.blogspot.com/_rqmMKA_hATE/SdEFp4vTXeI/AAAAAAAAAh0/Nox22eC5JWM/s1600-h/kaverbuku.jpg>

“Ya, yang bisa mengubah hanyalah generasi angkatan muda…�

-* Pramoedya Ananta Toer *-


**

*Mulailah membaca catatan kecil ini – yang mungkin tidak ada gunanya, juga
gaungnya – dengan sepotong ucapan: Selamat malam generasi tua!*


**

BUKAN karena benar-benar sudah malam kalau ucapan itu kita layangkan. Tapi
ini semacam salam perpisahan, salam menjelang tidur. Sepucuk salam pengantar
istirahat buat para pemimpin tua sebuah bangsa yang juga mulai menua.


 Sayangnya, menuanya bangsa ini tidak diimbangi dengan kedewasaan dan
kearifan, kesejahteraan dan kemapanan. Tapi malah, dengan rapor buruk
negara, ketuaan bangsa Indonesia makin renta dengan hadirnya ‘keriput’
korupsi, ‘flek’ kemiskinan, ‘TBC’ buta huruf, ‘osteoporosis’
terorisme, ‘asma’ pelanggaran HAM, serta ‘stroke’ pendidikan rendah.
Maka sudah lengkaplah sosok renta bangsa Indonesia dengan segala tetekbengek
yang melacur di sekujur tubuhnya. Bangsa Indonesia laksana seorang saudagar
kaya yang menghabiskan sisa hidupnya dengan berjuang melawan penyakit di
atas ranjang. Saudagar itu, dengan puluhan hiasan mewah yang menggelayot di
tubuhnya, tidak lagi mampu berdiri melihat cucu-cucunya yang gemuk sedang
berlarian di halaman rumahnya yang luas.


 Sudah 10 tahun sejak lengsernya Mbah Harto, kumandang reformasi
didengungkan. Tapi bangsa ini masih duduk manis di depan televisi menonton
sinetron tolol. Tak mencoba menggeser tubuh untuk memperbaiki bagian rumah
yang rusak. Tak berupaya mencari sofa yang lebih empuk atau mengganti warna
cat dinding yang mulai mengelupas. Hingga mulai sadar dengan lahirnya
ketidaknyamanan dan keengganan untuk tetap berkata: Saya baik-baik saja.

Silih berganti – seperti menang gambreng – satu per satu pemimpin gaek
menjabat sebagai presiden. Mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai
SBY. Semuanya menjalankan pemerintahan dengan baik. Bahkan teramat baik
hingga tak berani melakukan perubahan radikal yang membawa bangsa ini ke
arah yang lebih baik.


 Di antara generasi tua itu seperti ada halangan untuk berpikir dan
bertindak revolusioner. Mekanisme menjadi presiden lewat parpol membuat
mereka melakukan kompromi-kompromi politik yang anomali bagi masyarakat
awam. Misalnya saja, dengan dukungan beberapa parpol yang berkoalisi,
seorang presiden terpilih menjadi tidak mudah dalam membuat keputusan yang
mungkin saja merugikan salah satu parpol. Kompromi-kompromi macam inilah
yang senantiasa menghambat kemajuan Indonesia.


 Lain hal, para generasi tua, dengan rentang usia yang melintas pada zaman
Orde Lama dan Orde Baru, dijangkiti kultur kebanyakan birokrat kita yang
busuk. Dari kolusi sampai korupsi. Nepotisme sampai jual beli hukum. Yang
mungkin daftar kebusukan itu tak cukup ditampung dari Sabang sampai Merauke.


 Kultur macam ini jugalah yang sangat mengganggu proses Indonesia menjadi
negara yang disegani. Sistem boleh ciamik dan modern. Fasilitas boleh
canggih dan mengadopsi Barat. Tapi selama kultur manusia yang menjalankan
sistem tersebut busuk, tidak menjadi istimewalah ke-ciamik-an dan
ke-modern-an itu. Selama kultur manusia pemakai fasilitas tersebut bobrok,
ada baiknya sikap malu yang mesti dipasang ketika menggotong predikat
canggih dan adopsi Barat itu.


 Bukan itu saja, para generasi tua sudah terperangkap dalam perspektif waktu
yang sempit. Mereka hidup di jaman yang baru, tapi membawa pemikiran lama.
Sebuah jaman harus diperlakukan lewat tuntutan kebutuhan jaman tersebut. Itu
syarat sebuah kebaruan.

Namun, yang terjadi sekarang, kepemimpinan bangsa hanya dihuni oleh
nama-nama lama yang mengalami rentang waktu yang dipenuhi kultur busuk para
birokrat dan juga melalui proses mekanisme parpol yang buruk. Sebut saja
nama Megawati (61), Wiranto (61), Amien Rais (64), Akbar Tanjung (62), SBY
(58), Sutiyoso (63), Sultan Jogja (62), serta Jusuf Kalla (66). Mereka semua
pernah hidup di era pemerintahan yang kulturnya busuk. Mereka juga bertumbuh
dalam sistem parpol yang tidak berorientasi kepada rakyat. Jadi percuma saja
bila ada generasi tua yang bersih, memimpin. Karena sebersih apapun, dia
sudah terbiasa dengan kultur busuk birokrat, akrab dengan kompromi-kompromi,
serta terperangkapnya dalam perspektif waktu yang sempit.


 Oleh karena itu, kita sekalian BERHAK menolehkan perhatian pada orang-orang
lain di luar generasi tua. Orang-orang lain tersebut dengan ideologi dan
mimpinya pantas dibukakan jalan menuju kepemimpinan bangsa. Orang-orang lain
tersebut, yang tidak pernah terlibat dalam kultur busuk tersebut, layak
diberi kesempatan menggawangi kursi Presiden Indonesia. Tak lain dan tak
bukan, adalah mereka orang-orang baru dengan semangat dan pemikiran yang
baru, yakni para generasi muda bangsa.


 Maka layaklah ucapan selamat malam di awal tadi, kita serukan pada mereka
generasi tua. Dan dengan santun kita antarkan mereka untuk beristirahat
menunggu gerbong Indonesia Jaya yang dikomandoi para generasi muda.


 *Siapa Generasi Muda?*


**

Tapi masih adakah generasi dengan syarat-syarat yang sudah diurai pada
halaman sebelah tadi di dalam negara berjumlah 230 juta penduduk ini? Agak
sulit menjawabnya bila kita belum memahami siapa generasi muda yang
dimaksud..


 Generasi muda adalah mereka yang berusia muda. Kalau bicara angka, mungkin
angka 35-50 adalah kisarannya. Tapi sebuah angka bukanlah syarat mutlak
seseorang dikategorikan sebagai generasi muda. Ia bisa saja berusia di atas
50, namun memiliki pikiran yang baru (muda), kultur yang baru (belum pernah
terlibat dalam kerja parpol atau pemerintahan yang korup), semangat yang
baru, juga mimpi yang baru.


 Dalam wacana mencari pemimpin muda ini, generasi tua yang dituduh
bertanggungjawab karena tidak melakukan regenerasi, berkilah. Mereka
menganggap bahwa kepemimpinan mereka bukanlah mau diri sendiri, tapi keadaan
yang mengharuskan mereka maju kembali dalam bursa capres. Bahkan dengan
sangat jantan mereka menantang lahirnya para pemimpin dari generasi yang
lebih muda dari mereka.


 Namun apa yang terjadi menunjukkan mereka tidak dengan sungguh mengatakan
itu. Orang muda selalu berdiri di bawah bayang-bayang generasi tua. Coba
kita lihat PAN (Partai Amanat Nasional) yang dipimpin oleh orang muda
seperti Soetrisno Bachir, ternyata masih dibayangi oleh sosok Amien Rais di
belakangnya. Sehingga belakangan kita sama-sama saksikan usaha mati-matian
dari Soetrisno Bachir dalam mencitrakan dirinya ke masyarakat lewat
iklan-iklan yang kerap menganggu kenyamanan ketika menonton atau pun membaca
media massa.


Bukankah ini akibat dari tidak mulusnya regenerasi partai politik? Atau pada
regenerasi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang memasang Muhaimin Iskandar
sebagai boneka. Karena toh suara Gus Dur tetap yang menahkodai arah PKB.
Sebuah gerontokrasi1 yang tidak dengan sungguh memberi peluang bagi orang
muda untuk memimpin.


 Pada hal lain, kita bisa lihat bagaimana orang muda hanya dijadikan
komoditi politik semata. Tentunya parpol-parpol amat menyadari suara besar
yang dapat diraup dari kaum muda. Dalam konteks berbicara Pemilu 2009, dari
170 juta usia pemilih, 59% berusia muda, yakni 20-40 tahun. Dengan
mewacanakan pemimpin kaum muda, yakni dengan memasangkan kaum tua dengan
kaum muda dalam bursa capres, parpol berharap dapat mendulang suara banyak
dengan kandidat kaum muda sebagai pemikat. (bandingkan dengan kemenangan
Pilkada Jawa Barat yang mengusung Heryawan dengan Dede Yusuf sebagai orang
muda – keduanya berumur 41 tahun. Atau Pilkada Sulawesi Selatan yang
dimenangi oleh pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang, di
mana Nu’mang masih berusia 45 tahun)


 Hal inilah yang disebutkan di atas sebagai komoditi politik. Orang muda
hanya diberi posisi sebagai alasan strategis menjalankan program tim sukses.
Orang muda hanyalah alat. Orang muda hanya sebuah objek, bukan subjek yang
berhak menentukan arahnya sendiri.


 Jadi, memang susah – bukan tidak mungkin – mencari pemimpin dari
generasi muda. Mereka dianggap tidak ada oleh masyarakat. Kalaupun ada,
mereka hanya pribadi-pribadi yang kadang anonim dan berdiri sendiri tanpa
basis massa. Mereka bukan tidak ada, tapi mereka ditiadakan kaum tua.


 *Orang Muda Becus*


**

**

Mendengar nama Benigno Aquino Jr., mungkin kita langsung mengasosiasikannya
pada sebuah nama, Corazon Aquino. Ya, Ninoy – panggilan Beningno –
adalah suami dari Corazon, mantan presiden Filipina. Benigno muda aktif
berpolitik. Ia menjadi walikota pada usia yang sangat muda, 22 tahun.. Lalu
berlanjut menjadi gubernur pada usia 28 tahun. Dalam usia 34 tahun, ia masuk
sebagai senator termuda Filipina saat itu. Akhirnya karena tindaktanduk
politiknya, ia dihukum mati oleh Ferdinand Marcos, presiden Filipina saat
itu. Namun tak lama sang istri, Corazon, melanjutkan misi politik suaminya,
yang mengantarnya pada kursi Presiden Filipina di tahun 1986.


 Di belahan dunia lain, ada tokoh muda seperti Evo Morales yang memimpin
Bolivia pada usia 47 tahun. Juga ada Bashar Al Assad dari Suriah yang
menjadi presiden pada usia yang belum genap 45 tahun. Ada juga Hugo Chaves
yang menjadi presiden Venezuela pada usia 44 tahun. Di Amerika, nama
pemimpin muda berderet dari J.F. Kennedy (berusia 43 tahun ketika menjabat
presiden), Bill Clinton (47), sampai yang ramai dibicarakan sekarang, Barack
Obama (47).

Nama-nama dalam negeri pun tak kalah bersaing. Soekarno, Sang Fajar dari
Timur itu, memimpin PNI (Partai Nasional Indonesia) pada usia yang belia, 26
tahun. Dan akhirnya menduduki kursi kepresidenan pada usia 44 tahun. Atau
lihat Hatta dan Sjahrir yang menjadi wakil presiden dan perdana mentri di
usianya yang ke-43 dan 36 tahun.


 Singkat kata, stereotip tidak becus, berlagak *doang*, urakan, sulit
diatur, apatis, dan seterusnya, dan seterusnya yang disematkan pada orang
muda, boleh menjadi tidak sepenuhnya benar setelah kita melihat deretan
prestasi yang diukir nama-nama orang muda di atas. Lewat mereka kita melihat
bahwa orang muda bisa memimpin dengan becus. Bukan saja memimpin. Tapi
dengan perubahan radikal yang dilakukan, orang muda dapat menjadi agen
pembaharu pada satu keadaan yang carutmarut.


 *Gerakan Korektif*


**

Di Indonesia, setelah lama dikurung dalam suatu jaman yang otoriter, yakni
selama 3 dekade Orde Baru berkuasa, di mana rakyat melulu menjadi objek,
menghasilkan kenihilan generasi muda. Sikap Soeharto yang melanggengkan
kekuasaan tak memberi ruang berpikir untuk membidani kehadiran generasi
berikutnya. Sehingga stok orang muda Indonesia yang berpolitik menjadi
kosong.


 Bukan itu saja. Sikap otoriter dan represif yang digunakan, membuat rakyat
tak lagi mempunyai mimpi. Rakyat menganggap mimpi merupakan barang mewah
untuk dikonsumsi. Maka rakyat hanya berharap, tak lagi bermimpi. Berharap
agar pemimpin bangsa membawa mereka ke arah yang lebih baik. Namun tidak
pernah berhasrat untuk membangun mimpi mereka sendiri. Rakyat menyerahkan
mimpinya kepada pemimpin. Dan inilah yang melahirkan sebuah generasi muda
yang apatis.


 Sikap apatis ini ditunjukkan dengan enggannnya orang muda untuk membangun
mimpi rakyat lewat politik. Mereka menganggap bahwa politik kotor dan culas,
dan hanya dengan menjauhkan diri darinya, orang muda dapat terus
mempertahankan idealismenya. Sehingga, selama ini masyarakat hanya
menyaksikan aksi kolektif orang muda yang dibangun dalam ranah gerakan
protes. Orang muda hanya menjadi gerakan korektif. Selama tidak ada yang
perlu dikoreksi, mereka hilang dari peredaran dalam upaya membangun bangsa.


 Di sisi lain, di mana orang muda gerah terhadap parpol, justru lewat parpol
itu pulalah jalan menuju kepemimpinan dibukakan. Pada kondisi ini, perlu
dipikirkan mengenai wacana calon presiden idependen yang tidak berdasarkan
parpol. Atau memang para elit politik tua kita seakan sudah membentengi
lingkaran kekuasaan mereka dengan undang-undang yang rapih, yang menghambat
para orang muda untuk maju sebagai pemimpin.


 *Sekali lagi: Selamat Malam…*


**

**

Bila pandangan sudah berkelana sampai pada baris ini, berarti catatan kecil
ini sebentar lagi mau pamit. Pergi menjauh dari mata-mata yang menyapu
kata-kata. Catatan ini akan kembali berpencar menjadi kata-kata yang berdiri
sendiri-sendiri. Kata-kata ini yang kemudian mencari jalan sunyi untuk
ditempuh. Sebuah jalan spiritual untuk menemukan kawanan kata yang lain,
hingga berkumpul membentuk suatu panorama kalimat, atau suatu bangunan
gagasan yang muluk.


 Memang harus muluk untuk membangun mimpi. Karena mimpi adalah pribadi yang
menjauh dari dunia realitas. Dunia nyata yang kejam dan tirus. Siapa yang
tak pernah bermimpi, mungkin ia tak pernah merasakan buruknya dunia ini.


 Kata-kata itu – dalam kesunyiannya – menemukan bentuk kembali. Mereka
berkumpul dan membentuk sebuah kalimat. Dengan sopannya mereka membungkuk
dan saling bergandeng merangkai diri:


 Selamat malam, generasi tua…

Selamat pagi, Mas Presiden!


 Catatan kaki:

1. Istilah kedokteran: gerontologi. Artinya menunjukkan pada satu fase
mulainya penuaan dalam kehidupan seorang manusia. Dalam konteks politik,
istilah ini diadopsi yang maknanya kurang lebih keadaan politik yang
dikuasai kaum tua.


Dimuat dalam buku kumpulan esai Andai Presiden Kita Sehebat Harry Potter,
Yogyakarta: Kanisius,
2008<http://www.kanisiusmedia.com/prod_detail.php?idprod=026904>


--
Posted By Roy Thaniago to Saung
Kata<http://thaniago..blogspot.com/2009/03/selamat-pagi-mas-presiden.html>at
3/31/2009 12:38:00 AM


-- 
**********************************
Memberitakan Informasi terupdate untuk Rekan Milist dari sumber terpercaya
http://reportermilist.multiply.com/
************************************

Kirim email ke