Bali Post Minggu, 12 Oktober 2008 Orang-orang Miskin Si Miskin yang Kikir (2) 'SEKARANG aku akan menikmati makanan sepuas-puasnya," kata petani miskin itu. Ia mengambil rawon ayam yang disembunyikannya di semak-semak. Ia mencoba mencicipi kuahnya. "Wah, enak benar!" katanya.
Tetapi siapa itu? Dari balik pohon ia melihat seseorang yang lain menuju tempatnya. "Kurang ajar! Ada pengganggu lagi," omelnya sambil menyembunyikan rawon ayamnya di semak-semak. "Selamat berjumpa, Kawan!" sapa orang yang tidak dikenalnya itu. Orang itu sangat kurus, mukanya pucat seperti wajah mayat yang baru bangkit dari kubur. Dengan langkah terhuyung-huyung ia mendekati petani miskin itu. "Tolonglah aku, Kawan! Aku sangat lapar. Berilah aku sedikit makanan," kata orang bermuka pucat itu. "Aku tidak punya makanan. Tak ada yang dapat kuberikan kepadamu." "Jangan berbohong, Kawan! Aku melihat asap. Kau pasti memasak sesuatu." "Tidak! Aku tidak memasak, aku hanya memanaskan badan." "Jujurlah, Kawan! Aku mencium bau yang sedap. Masakanmu pasti kau sembunyikan," kata orang pucat itu mendesak. Petani miskin yang kikir itu terpaksa berterus terang. "Memang benar aku punya rawon ayam, tetapi makanan itu hanya untuk diriku sendiri. Kepada istri dan anak-anak, bahkan dengan Tuhan pun aku enggan berbagi, apalagi dengan kau," kata petani itu. "Tetapi kau belum kenal aku. Kalau kau mengenalku, pasti kau mau berbagi makanan." "Siapa kau?" tanya petani itu. "Aku adalah Dewa Kematian. Akulah yang menentukan siapa orang yang harus mati," jawab orang pucat itu. "Bagus, bagus!" seru petani itu riang gembira. "Kau adalah tokoh yang kukagumi." Petani yang sejak tadi menahan lapar itu segera mengambil rawon ayamnya dari semak-semak. Lalu mengajak orang pucat itu makan bersama-sama. "Mengapa kau mengagumiku?" tanya Dewa Kematian sambil minum kuah rawon. "Kau adalah Tokoh Keadilan. Kau tidak pernah memilih bulu. Siapa pun akan kau bunuh, tidak peduli apakah ia seorang miskin, kaya, petani, peminta-minta, raja, orang tua, anak muda, pokoknya.. mari kita makan sekenyang-kenyangnya!" kata petani itu riang-gembira. Jane Yolen mengelompokkan cerita rakyat Meksiko tersebut ke dalam kelompok cerita kematian dan berakhirnya dunia (lihat "Favorite Folktales from Around the World") bersama-sama dengan cerita rakyat dari negeri lainnya. Oleh karena cerita Meksiko itu melibatkan orang miskin, maka ada baiknya cerita itu dipakai bahan perbandingan dengan keadaan orang miskin di Indonesia. Mula-mula petani yang beranak banyak itu mencintai keluarganya. Ia bekerja berat demi menghidupi istri dan anak-anaknya. Ia sungguh-sungguh bertanggung jawab, ia korbankan dirinya menahan lapar berhari-hari demi kehidupan anggota keluarga. Tetapi sampai kapan keadaan yang berat itu bertahan? Beban berat ekonomi membuat petani yang penyabar, ulet dan tawakal itu mengalami depresi kejiwaan. Sikap altruis berubah menjadi egois. Kejujuran menjadi kecurangan. Ia merasakan ketidakadilan. Ia tidak membenci keluarganya yang menjadi beban, tetapi membenci nasib yang menimpanya. Maka terjadilah pelepasan kejiwaan. Pelepasan itu tidak berupa keputusasaan, tetapi pelarian. Ia tidak membantai istri dan anak-anaknya (seperti yang sering terjadi pada keluarga Indonesia). Ia mencari kenikmatan sendiri, mencari ketenangan yang jauh dari pergaulan sehari-hari. Puncak dari pelepasan dan pelarian itu adalah timbulnya rasa benci kepada Tuhan, sang penentu nasib. Tuhan bukan Sang Maha Pemurah, Tuhan bukan Sang Penegak Keadilan. Harapan dan kenyataan bertolak belakang. Pikiran yang lurus, bekerja ulet, berbuat moral, hanyalah beban yang tak kunjung mendatangkan kesejahteraan. Kasihan petani miskin itu. Ia bukan saja miskin dalam harta, tetapi juga miskin dalam kesadaran spiritual. Tekanan ekonomi yang sangat berat, membuat seseorang berpikiran pendek. Tetapi orang Jawa dan orang Bali akan berkomentar, "Masih beruntung, ia tidak membantai keluarganya." * made taro