Siapa Yang Mau Tenang.... 

Oleh Goenawan Mohamad * 

Arus informasi berubah, juga bentuknya. Demikian juga perilaku kita. Hal ini 
sudah acap dikatakan dalam percaturan pendapat tentang informasi dan teknologi 
dewasa ini. Yang belum banyak ditilik: apa saja yag berubah ketika meninggalkan 
-atau kita sudah dibawa untuk meningalkan- sebuah era besar yang dimulai sejak 
zaman Hammurabi. 

Hammurabi adalah raja keenam Kerajaan Babilonia yang hidup antara 1795-1750 
Sebelum Masehi. Sebagai raja, dia mengeluarkan sebuah undang-undang yang 
menguraikan jenis-jenis pelanggaran dan masing-masing hukumannya. Undang-undang 
itu disebut "Kodeks Hammurabi", dianggap jadi dokumen tertulis paling tua yang 
menunjukkan hubungan antara teks dan kekuasaan.

Kodeks itu ditatah di atas batu setinggi enam kaki. Dengan memahatkannya 
sebagai teks tertulis, Hammurabi tampaknya hendak menegaskan bahwa hukum 
tersebut tak bisa diubah dan berada di atas kuasa raja mana pun yang 
berganti-ganti di bumi. Dikisahkan, Hammurabi mendapatkan hukum itu dari para 
dewa. 

Inskripsi seperti itu kemudian dilanjutkan sebagai tradisi dalam cerita 10 
hukum Tuhan yang dibawa Nabi Musa, tokoh yang lahir sekitar empat abad setelah 
Hammurabi. Seperti kemudian dilukiskan, Musa turun dari pucuk Tursina dengan 
membawa "tablet" atau lembaran batu tempat terpahat sederet perintah Allah. 

Bisa dikatakan, itu adalah tradisi Hammurabi. Penulisan kitab suci -Taurat, 
Injil, dan Alquran- sebenarnya merupakan kelanjutan gagasan Babilonia itu: apa 
yang semula lahir dalam bentuk lisan diubah jadi tertulis, karena dengan 
tertulis, ada jaminan keutuhan, atau kalaupun bukan, bahkan kekekalan, 
stabilitas atau konsistensi makna. 

Seperti halnya Alquran di masa pemerintahan Khalifah Uthman, pelbagai varian 
dari Alquran (yang merekam apa yang turun lewat bentuk lisan dari Nabi 
Muhammad), diseragamkan dalam kodifikasi.

Pada masa warisan Hammurabi itu, orang diasumsikan bisa dan harus menerima 
sebuah teks tertulis sebagai sesuatu yang memiliki otoritas penuh. Zaman modern 
melanjutkan asumsi tersebut dalam bentuk kitab undang-undang. Juga dalam 
persuratkabaran.. 

Surat kabar memang berubah secara periodik dan bukan dianggap sebagai 
undang-undang. Tapi tak ayal, ia menyodorkan diri sebagai yang patut dipercayai 
dengan kesakralan tertentu ("Fakta itu suci", demikian pemeo yang sering kita 
dengar), dan sang penerbit atau redaktur didudukkan sebagai penyangga wibawa 
kebenaran. 

Maka, kita lihat para peneliti media massa, misalnya, mengadakan apa yang 
disebut "content-analysis". Itu bertolak dari premis yang sebenarnya tidak 
meyakinkan: bahwa "isi" surat kabar yang "tertulis" itu adalah semata-mata 
hasil sang "sumber", yakni surat kabar tersebut dan isi surat kabar tidak 
diasumsikan sebagai sesuatu yang juga terbentuk oleh kecenderungan yang 
"bukan-sumber", terutama pembacanya. 

Dengan kata lain, seperti kodeks Hammurabi dan kitab-kitab suci, sebuah teks 
terbentuk dari satu jurusan, bukan sebagai proses interaktif antara "sumber" 
dan "penerima". 

Baru setelah terjadi perubahan besar dalam teknologi informasi, asumsi di atas 
guyah-patah. Pertama, makin jelas bahwa sebuah teks bukan saja bisa hadir 
dengan sumber yang absen (yang sudah terdapat sebenarnya dalam kodeks Hammurabi 
dan kitab-kitab suci), tapi bahwa sebuah teks dapat memperoleh respons yang 
aktif dan dengan tafsir yang aktif itu, sebuah teks tidak dapat dikatakan bebas 
dari jamahan sang "penerima".

Itu sebenarnya berlaku bagi surat kabar. Sebuah koran bukanlah hanya hasil sang 
wartawan dan penerbit, melainkan juga hasil negosiasi mereka dengan pembaca. 
Terutama ketika koran harus hidup dari pembaca sebagai konsumen. Tapi, dalam 
teknologi informasi yang ada sekarang, yakni internet, bahkan sang wartawan 
atau penerbit tidak bisa mengarahkan sepenuhnya pembacanya.

Mark Poster, pemikir yang terkemuka dalam menafsirkan peran budaya dari 
teknologi informasi mutakhir, pernah mengemukakannya secara dramatis, "Internet 
memergoki kita sebagai objek yang tak seutuhnya sudah ditentukan 
(underdetermined); sifat objek yang plastis itu berarti ia dapat dikembangkan 
ke arah yang amat beragam- lebih banyak ketimbang objek lain."

Poster mencontohkan, "Dengan sebuah palu, saya dapat menanamkan paku atau 
memecahkan kepala orang atau melemparkannya ke dalam air hingga terjadi golak 
-banyak yang bisa aku lakukan dengan itu, tapi itu bukan apa-apa bila 
dibandingkan besarnya jumlah kemungkinan terbuka yang dibuat internet."

Apa yang hendak dicapai oleh Kodeks Hammurabi dan jenis teks yang berambisi 
sama -kesatuan yang diarahkan- sekarang buyar. Dengan teknologi komunikasi yang 
ada sekarang, orang harus siap menghadapi yang tak disangka-sangka. 

Dengan demikian, wibawa yang dibawa oleh sebuah teks, juga teks suci, tiap kali 
terancam retak atau bahkan hancur. Dan sang sumber, sang subjek yang tak hadir, 
akan semakin bergantung pada respons yang terkadang sangat menyimpang dari pola 
biasa.

Di satu pihak, kita akan melihat demokratisasi dalam lalu lintas informasi. Hal 
itu tak perlu dijelaskan lebih lanjut jika kita perhatikan banyaknya koran 
interaktif, blog, dan website dewasa ini. Di lain pihak, memang ada kekosongan 
besar dalam hal kebenaran. Kekosongan tersebut bukanlah berarti tak ada 
kebenaran, melainkan bahwa kebenaran adalah mirip ruang luas yang menarik, yang 
hendak diisi pelbagai versi, berganti-ganti, tak putus-putus.

Pernah ada orang mengatakan, siapa yang mau hidup tenang jangan hidup pada abad 
ke-20. Kini, pada abad ke-21, ucapan itu makin benar adanya. Kita asyik, 
bingung, ramai, bebas, bersendiri, tapi juga berbagi dengan 1001 "yang lain". 
Juga yang tak terduga-duga.

*) Goenawan Mohamad, wartawan senior. Artikel ini merupakan kerja sama Institut 
Studi Arus Informasi (ISAI) dan Jawa Pos untuk mengangkat pentingnya hak 
masyarakat atas informasi publik. 

 
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke