Bagi kebanyakan perempuan menjadi Orang Tua Tunggal bukanlah pilihan;
melainkan nasib yang memaksakan demikian. Dan juga bukanlah suatu
trendi seperti yang banyak digembar-gemborkan oleh para selebritis,
walaupun tidak bisa dipungkiri, bahwa lebih dari 70% orang tua tunggal
adalah kaum perempuan. Kita semua mengerti akan makna dari kata
Single-Parent atau Orang Tua Tunggal, tetapi apakah kita juga
memahaminya problem maupun perasaan mereka sebagai Orang Tua Tunggal?

Ada dua jenis kategori orang tua tunggal yaitu yang sama sekali tidak
pernah menikah dan yang sempat/pernah menikah. Mereka menjadi orang
tua tunggal bisa saja disebabkan, karena ditinggal mati lebih awal
oleh pasangan hidupnya, ataupun akibat perceraian atau bisa juga
ditinggal oleh sang kekasih yang tidak mau bertanggung jawab atas
perbuatannya.

Pilihan untuk menjadi orang tua tunggal adalah satu pilihan yang
berat, walaupun demikian daripada aborsi dan harus menambah beban
dosa, mereka lebih ikhlas memilih untuk menjadi orang tua tunggal.
Untuk ini mereka juga harus siap menerima reaksi dari orang tua,
keluarga dengan risiko dikucilkan entah untuk sementara ataupun
selamanya. Belum lagi menjadi gujingan maupun dicibirkan oleh teman,
tetangga maupun rekan kerja. Untuk menjalani semua itu; dibutuhkan
kekuatan hati dan daya juang yang tinggi, termasuk mengikis perasaan
dendam kepada si lelaki notabene ayah dari anaknya sendiri. Sedangkan
bagi perempuan yang pernah menikah, siap atau tidak; predikat janda
dengan anak akan disandangnya. Untuk menjadi orang tunggal itu
tidaklah mudah.

Mereka harus siap dan mampu untuk berperan ganda: sebagai pencari
nafkah dan sekaligus membesarkan dan mendidik anak-anaknya seorang
diri, termasuk bagaimana mengatur waktu bagi anak-anaknya. Sebagai
orang tua tunggal, mau tak mau, dituntut untuk bisa mengatur segalanya
seorang diri, termasuk me-manage waktu. Kapan ia harus menyediakan
waktu bagi anak, kapan harus bekerja, bagaimana mengatasi masalah, dan
sebagainya. Mereka harus hidup tanpa ada pasangan di sampingnya,
tempat dimana ia bisa bertanya atau mencurahkan perasaannya untuk
berbagi suka maupun duka. Semuanya harus diselesaikan dan ditanggung
sendiri olehnya. Belum lagi apabila ia sendiri jatuh sakit, siapa yang
mau bantu mengurusnya?

Tugas yang seharusnya dipikul berdua (ayah dan ibu), harus diembannya
sendiri. Ia harus mampu berperan sebagai ibu sekaligus ayah, sementara
fungsi ayah berbeda dengan fungsi ibu. Cobalah renungkan bagaimana
perasaan seorang ibu apabila anaknya diberondong dengan berbagai macam
pertanyaan oleh teman-teman sekolahnya "Kenapa ayahmu tidak pernah
jemput kamu?" atau "Ayahmu pernah ngasih kado apa aja buat kamu?"
Juga, "Lho, kenapa ayahmu tidak mau tinggal sama kamu lagi?"

Dengan ini saya kutip pengalaman dari orang tua tunggal, agar pembaca
bisa lebih memahaminya bagaimana perasaan dari seorang tua tunggal
itu:
Teringat olehku ketika malam-malam barusan saja pulang dari kantor
dalam keadaan letih melihat sepasang gelandangan bermain dengan
anak-anak mereka yang kecil di tepi jalan yang telah sepi. Anak-anak
itu, walaupun kenyataannya dalam serba kekurangannya, tetapi bisa
tertawa ceria bersama dengan ayah bundanya. Walaupun pakaian mereka
compang-camping, bahkan mungkin tidak bisa duduk dibangku sekolah,
tetapi mereka masih memiliki orang tua utuh yang dapat memberikan
kasih sayang kepada sang anak. Airmataku tak kuasa kutahan turun
berlinang. Perasaanku terhimpit, seakan-akan akulah yang menjadi
penyebab anakku kehilangan kebahagiaan memiliki ayah yang
menyayanginya.

Jujur, aku merasa sebagai penyebab hilangnya kebahagiaan anakku. Aku
merasa terjepit. Berbulan-bulan setiap malam, sebelum tidur aku
mencium kaki anakku, berbisik pelan di telinganya, "Maafkan Bunda,
sayang..."

Aku ibu anakku. Anak yang sembilan bulan lamanya, kukandung dalam
rahimku. Anak yang pernah berada sangat dekat dengan jantungku. Mata
beningnya menatapku dengan sedih, ketika melihatku menangis. Aku
merasakan suara kanak-kanaknya yang lembut meyakinkanku, bahwa aku
mampu membahagiakannya. Hidup memang tak pernah sempurna. Impianku tak
banyak. Aku hanya tak ingin menghapus senyum itu dari bibir anakku.

Harus diakui, bahwa banyak orang telah bisa mencapai keberhasilan di
dalam kehidupannya, walaupun mereka harus hidup tanpa ayah misalnya
Barack Obama Presiden Amerika Serika yang ke 44.

Mang Ucup
Email: mang.ucup<at>gmail.com
Homepage: www.mangucup.org

Kirim email ke