[zamanku] Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS

2008-12-14 Terurut Topik Abdul Rohim

 
Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS


Eep Saefulloh Fatah 
Anggota Komunitas ”Para Penagih Janji” 
SUNGGUH biasa secara artistik, tidak secara politik. Inilah iklan Partai 
Keadilan Sejahtera (PKS) yang belakangan jadi menu utama di atas meja diskusi 
kita. 
Secara artistik, iklan berdurasi 31 detik itu tak istimewa. Narasinya terlampau 
verbal: ”Mereka sudah lakukan apa yang mereka bisa, mereka sudah beri apa yang 
mereka punya, mereka guru bangsa kita, mereka pahlawan kita, mereka motivator 
kita, mereka ilham bagi masa depan kita. Terima kasih guru bangsa, terima kasih 
pahlawan, kami akan melanjutkan langkah bersama PKS untuk Indonesia sejahtera.” 
Suara sang narator juga seperti tercekat di kerongkongan. Pecah. Tak bulat dan 
jauh dari bertenaga seperti teriakan khas Soekarno. Lebih mirip teriakan 
demonstran pada hari-hari antara 1997 dan 1998. Visualisasinya berupa gerak 
perpindahan slide standar, menampilkan sosok Soekarno, Soeharto, KH Ahmad 
Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, M. Natsir, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan 
Bung Tomo. 
Tapi iklan itu tak biasa secara politik. Ia mendulang kontroversi lumayan 
panjang, terutama lantaran sosok Soeharto. Sebagian kalangan menolak penahbisan 
sang Jenderal Besar sebagai pahlawan dan guru bangsa. Sebagian kalangan bahkan 
langsung menaruh PKS di keranjang partai antireformasi. 
Iklan itu pun menjadi salah satu pertaruhan penting PKS dalam mengulang sukses 
Pemilu 2004. Sebegitu penting dan genting perkara ini bagi PKS? Produktif atau 
kontraproduktifkah iklan itu bagi upaya PKS meraih target 15 persen suara atau 
20 juta pemilih dan menjadi tiga besar? 
Mari kita telisik perkara ini dengan teropong ”pemasaran politik” (political 
marketing). Sukses sebuah iklan dinilai dari keberhasilannya memperluas 
dukungan bagi produk politik (partai, kandidat, kebijakan, dan presentasi 
ketiganya) yang ditawarkan.

 
Masalahnya, tak ada iklan yang bisa efektif menjangkau semua karakter calon 
pemilih. Fungsi sebuah iklan pun mirip-mirip penepuk lalat. Anda mesti 
berkonsentrasi pada satu atau beberapa lalat saja. Ketika sang lalat tertepuk, 
Anda mesti menerima konsekuensi serta merta: lalat-lalat lain akan terbang 
menjauh dari jangkauan. Untungnya, tepukan bisa diulang-ulang untuk 
memperbanyak jumlah korban. 
Begitulah logika kerja sebuah iklan politik. Semakin tegas, benderang, 
spesifik, dan tajam sasaran yang dibidiknya, semakin besar potensi sukses sang 
iklan. Sebagaimana menepuk lalat, Anda lalu bisa membuat banyak iklan untuk 
beragam sasaran bidik. 
Celakanya, pemilih bukanlah lalat. Setiap karakter pemilih membutuhkan langgam 
”tepukan” berbeda. Beriklan banyak untuk sasaran bidik beragam boleh saja. Tapi 
hasilnya akan lain manakala langgam iklan-iklan itu tak berkesesuaian, apalagi 
jika berbalas pantun, saling menyerang. Maka, alih-alih memperluas daya jerat, 
sang iklan akan membikin kabur identitas partai dan para pemilih potensialnya. 
PKS rupanya tak ingin makan buah simalakama itu. Mereka tak membuat banyak 
iklan dengan target bidik beragam. Mereka membuat satu porsi gado-gado: Satu 
iklan yang menggabungkan banyak ikon, untuk satu kali tepukan. Plaaak! Berapa 
banyakkah yang tertangkap dan yang terbang menjauh? 
Asumsikanlah bahwa PKS merupakan partai rasional yang dikelola politikus akil 
balig. Maka, iklan ”Soeharto guru bangsa” bisa jadi dilandasi kesadaran PKS 
tentang pentingnya ketokohan dalam menentukan pilihan sekaligus tentang 
sempitnya ceruk pasar partai-partai berbasis massa Islam. 
Berdasarkan pendataan Litbang Kompas (2008), dalam Pemilu 1999, ceruk pasar itu 
hanya didiami 37,54 persen dari total pemilih. Sekalipun jauh lebih besar 
ketimbang ceruk partai berbasis massa Kristen, kedaerahan, dan etnik (1,42 
persen), ceruk itu lebih kecil daripada ceruk partai-partai berbasis massa 
majemuk (61,04 persen). Dalam Pemilu 2004, perbandingan ketiga ceruk pasar ini 
tak bergeser terlalu jauh, menjadi 38,33 persen berbanding 2,14 persen 
berbanding 59,53 persen.

 
Celakanya, sebagaimana dibuktikan Dwight King dan Anies Baswedan (2005), para 
pemilih Indonesia bukanlah pelintas batas. Jangankan menyeberang ke 
partai-partai majemuk, para pemilih partai Islam cenderung mengalihkan 
dukungannya ke partai berbasis massa Islam lainnya. Pemilih ceruk lain juga 
setali tiga uang. 
Pertarungan pokok pun terjadi di dalam ceruk, bukan lintas ceruk. Fakta ini 
tegas terlihat di Jakarta. Di daerah pemilihan paling prestisius yang dimenangi 
PKS pada Pemilu 2004 ini, tujuh partai berbasis massa Islam meraih 1.891.641 
suara (46,89 persen); hanya berselisih kecil dengan suara yang diperoleh 16 
partai berbasis massa majemuk (1.911.666 suara atau 47,39 persen). Sedangkan 
sisanya, 5,72 persen atau 230.657 suara, diraih partai berbasis massa Kristen 
(PDS). 
Ternyata, para pemilih Jakarta bukanlah para pelintas batas ceruk. Dari Pemilu 
1999 ke 2004, PBB, PPP, dan PAN masing-masing kehilangan berturut-turut 0,7 
persen, 9,7 persen, dan 9,1 persen 

[zamanku] Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS

2008-12-14 Terurut Topik Sunny
http://majalah.tempointeraktif.com:80/id/arsip/2008/12/08/KL/mbm.20081208.KL128923.id.html

Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS
Eep Saefulloh Fatah 

a.. Anggota Komunitas Para Penagih Janji 
SUNGGUH biasa secara artistik, tidak secara politik. Inilah iklan Partai 
Keadilan Sejahtera (PKS) yang belakangan jadi menu utama di atas meja diskusi 
kita. 

Secara artistik, iklan berdurasi 31 detik itu tak istimewa. Narasinya terlampau 
verbal: Mereka sudah lakukan apa yang mereka bisa, mereka sudah beri apa yang 
mereka punya, mereka guru bangsa kita, mereka pahlawan kita, mereka motivator 
kita, mereka ilham bagi masa depan kita. Terima kasih guru bangsa, terima kasih 
pahlawan, kami akan melanjutkan langkah bersama PKS untuk Indonesia sejahtera. 

Suara sang narator juga seperti tercekat di kerongkongan. Pecah. Tak bulat dan 
jauh dari bertenaga seperti teriakan khas Soekarno. Lebih mirip teriakan 
demonstran pada hari-hari antara 1997 dan 1998. Visualisasinya berupa gerak 
perpindahan slide standar, menampilkan sosok Soekarno, Soeharto, KH Ahmad 
Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, M. Natsir, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan 
Bung Tomo. 

Tapi iklan itu tak biasa secara politik. Ia mendulang kontroversi lumayan 
panjang, terutama lantaran sosok Soeharto. Sebagian kalangan menolak penahbisan 
sang Jenderal Besar sebagai pahlawan dan guru bangsa. Sebagian kalangan bahkan 
langsung menaruh PKS di keranjang partai antireformasi. 

Iklan itu pun menjadi salah satu pertaruhan penting PKS dalam mengulang sukses 
Pemilu 2004. Sebegitu penting dan genting perkara ini bagi PKS? Produktif atau 
kontraproduktifkah iklan itu bagi upaya PKS meraih target 15 persen suara atau 
20 juta pemilih dan menjadi tiga besar? 

Mari kita telisik perkara ini dengan teropong pemasaran politik (political 
marketing). Sukses sebuah iklan dinilai dari keberhasilannya memperluas 
dukungan bagi produk politik (partai, kandidat, kebijakan, dan presentasi 
ketiganya) yang ditawarkan. 

Masalahnya, tak ada iklan yang bisa efektif menjangkau semua karakter calon 
pemilih. Fungsi sebuah iklan pun mirip-mirip penepuk lalat. Anda mesti 
berkonsentrasi pada satu atau beberapa lalat saja. Ketika sang lalat tertepuk, 
Anda mesti menerima konsekuensi serta merta: lalat-lalat lain akan terbang 
menjauh dari jangkauan. Untungnya, tepukan bisa diulang-ulang untuk 
memperbanyak jumlah korban. 

Begitulah logika kerja sebuah iklan politik. Semakin tegas, benderang, 
spesifik, dan tajam sasaran yang dibidiknya, semakin besar potensi sukses sang 
iklan. Sebagaimana menepuk lalat, Anda lalu bisa membuat banyak iklan untuk 
beragam sasaran bidik. 

Celakanya, pemilih bukanlah lalat. Setiap karakter pemilih membutuhkan langgam 
tepukan berbeda. Beriklan banyak untuk sasaran bidik beragam boleh saja. Tapi 
hasilnya akan lain manakala langgam iklan-iklan itu tak berkesesuaian, apalagi 
jika berbalas pantun, saling menyerang. Maka, alih-alih memperluas daya jerat, 
sang iklan akan membikin kabur identitas partai dan para pemilih potensialnya. 

PKS rupanya tak ingin makan buah simalakama itu. Mereka tak membuat banyak 
iklan dengan target bidik beragam. Mereka membuat satu porsi gado-gado: Satu 
iklan yang menggabungkan banyak ikon, untuk satu kali tepukan. Plaaak! Berapa 
banyakkah yang tertangkap dan yang terbang menjauh? 

Asumsikanlah bahwa PKS merupakan partai rasional yang dikelola politikus akil 
balig. Maka, iklan Soeharto guru bangsa bisa jadi dilandasi kesadaran PKS 
tentang pentingnya ketokohan dalam menentukan pilihan sekaligus tentang 
sempitnya ceruk pasar partai-partai berbasis massa Islam. 

Berdasarkan pendataan Litbang Kompas (2008), dalam Pemilu 1999, ceruk pasar itu 
hanya didiami 37,54 persen dari total pemilih. Sekalipun jauh lebih besar 
ketimbang ceruk partai berbasis massa Kristen, kedaerahan, dan etnik (1,42 
persen), ceruk itu lebih kecil daripada ceruk partai-partai berbasis massa 
majemuk (61,04 persen). Dalam Pemilu 2004, perbandingan ketiga ceruk pasar ini 
tak bergeser terlalu jauh, menjadi 38,33 persen berbanding 2,14 persen 
berbanding 59,53 persen. 

Celakanya, sebagaimana dibuktikan Dwight King dan Anies Baswedan (2005), para 
pemilih Indonesia bukanlah pelintas batas. Jangankan menyeberang ke 
partai-partai majemuk, para pemilih partai Islam cenderung mengalihkan 
dukungannya ke partai berbasis massa Islam lainnya. Pemilih ceruk lain juga 
setali tiga uang. 

Pertarungan pokok pun terjadi di dalam ceruk, bukan lintas ceruk. Fakta ini 
tegas terlihat di Jakarta. Di daerah pemilihan paling prestisius yang dimenangi 
PKS pada Pemilu 2004 ini, tujuh partai berbasis massa Islam meraih 1.891.641 
suara (46,89 persen); hanya berselisih kecil dengan suara yang diperoleh 16 
partai berbasis massa majemuk (1.911.666 suara atau 47,39 persen). Sedangkan 
sisanya, 5,72 persen atau 230.657 suara, diraih partai berbasis massa Kristen 
(PDS). 

Ternyata, para pemilih Jakarta bukanlah para pelintas batas ceruk. Dari Pemilu 
1999 ke 2004, PBB,