[zamanku] Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS
Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS Eep Saefulloh Fatah Anggota Komunitas ”Para Penagih Janji” SUNGGUH biasa secara artistik, tidak secara politik. Inilah iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang belakangan jadi menu utama di atas meja diskusi kita. Secara artistik, iklan berdurasi 31 detik itu tak istimewa. Narasinya terlampau verbal: ”Mereka sudah lakukan apa yang mereka bisa, mereka sudah beri apa yang mereka punya, mereka guru bangsa kita, mereka pahlawan kita, mereka motivator kita, mereka ilham bagi masa depan kita. Terima kasih guru bangsa, terima kasih pahlawan, kami akan melanjutkan langkah bersama PKS untuk Indonesia sejahtera.” Suara sang narator juga seperti tercekat di kerongkongan. Pecah. Tak bulat dan jauh dari bertenaga seperti teriakan khas Soekarno. Lebih mirip teriakan demonstran pada hari-hari antara 1997 dan 1998. Visualisasinya berupa gerak perpindahan slide standar, menampilkan sosok Soekarno, Soeharto, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, M. Natsir, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Bung Tomo. Tapi iklan itu tak biasa secara politik. Ia mendulang kontroversi lumayan panjang, terutama lantaran sosok Soeharto. Sebagian kalangan menolak penahbisan sang Jenderal Besar sebagai pahlawan dan guru bangsa. Sebagian kalangan bahkan langsung menaruh PKS di keranjang partai antireformasi. Iklan itu pun menjadi salah satu pertaruhan penting PKS dalam mengulang sukses Pemilu 2004. Sebegitu penting dan genting perkara ini bagi PKS? Produktif atau kontraproduktifkah iklan itu bagi upaya PKS meraih target 15 persen suara atau 20 juta pemilih dan menjadi tiga besar? Mari kita telisik perkara ini dengan teropong ”pemasaran politik” (political marketing). Sukses sebuah iklan dinilai dari keberhasilannya memperluas dukungan bagi produk politik (partai, kandidat, kebijakan, dan presentasi ketiganya) yang ditawarkan. Masalahnya, tak ada iklan yang bisa efektif menjangkau semua karakter calon pemilih. Fungsi sebuah iklan pun mirip-mirip penepuk lalat. Anda mesti berkonsentrasi pada satu atau beberapa lalat saja. Ketika sang lalat tertepuk, Anda mesti menerima konsekuensi serta merta: lalat-lalat lain akan terbang menjauh dari jangkauan. Untungnya, tepukan bisa diulang-ulang untuk memperbanyak jumlah korban. Begitulah logika kerja sebuah iklan politik. Semakin tegas, benderang, spesifik, dan tajam sasaran yang dibidiknya, semakin besar potensi sukses sang iklan. Sebagaimana menepuk lalat, Anda lalu bisa membuat banyak iklan untuk beragam sasaran bidik. Celakanya, pemilih bukanlah lalat. Setiap karakter pemilih membutuhkan langgam ”tepukan” berbeda. Beriklan banyak untuk sasaran bidik beragam boleh saja. Tapi hasilnya akan lain manakala langgam iklan-iklan itu tak berkesesuaian, apalagi jika berbalas pantun, saling menyerang. Maka, alih-alih memperluas daya jerat, sang iklan akan membikin kabur identitas partai dan para pemilih potensialnya. PKS rupanya tak ingin makan buah simalakama itu. Mereka tak membuat banyak iklan dengan target bidik beragam. Mereka membuat satu porsi gado-gado: Satu iklan yang menggabungkan banyak ikon, untuk satu kali tepukan. Plaaak! Berapa banyakkah yang tertangkap dan yang terbang menjauh? Asumsikanlah bahwa PKS merupakan partai rasional yang dikelola politikus akil balig. Maka, iklan ”Soeharto guru bangsa” bisa jadi dilandasi kesadaran PKS tentang pentingnya ketokohan dalam menentukan pilihan sekaligus tentang sempitnya ceruk pasar partai-partai berbasis massa Islam. Berdasarkan pendataan Litbang Kompas (2008), dalam Pemilu 1999, ceruk pasar itu hanya didiami 37,54 persen dari total pemilih. Sekalipun jauh lebih besar ketimbang ceruk partai berbasis massa Kristen, kedaerahan, dan etnik (1,42 persen), ceruk itu lebih kecil daripada ceruk partai-partai berbasis massa majemuk (61,04 persen). Dalam Pemilu 2004, perbandingan ketiga ceruk pasar ini tak bergeser terlalu jauh, menjadi 38,33 persen berbanding 2,14 persen berbanding 59,53 persen. Celakanya, sebagaimana dibuktikan Dwight King dan Anies Baswedan (2005), para pemilih Indonesia bukanlah pelintas batas. Jangankan menyeberang ke partai-partai majemuk, para pemilih partai Islam cenderung mengalihkan dukungannya ke partai berbasis massa Islam lainnya. Pemilih ceruk lain juga setali tiga uang. Pertarungan pokok pun terjadi di dalam ceruk, bukan lintas ceruk. Fakta ini tegas terlihat di Jakarta. Di daerah pemilihan paling prestisius yang dimenangi PKS pada Pemilu 2004 ini, tujuh partai berbasis massa Islam meraih 1.891.641 suara (46,89 persen); hanya berselisih kecil dengan suara yang diperoleh 16 partai berbasis massa majemuk (1.911.666 suara atau 47,39 persen). Sedangkan sisanya, 5,72 persen atau 230.657 suara, diraih partai berbasis massa Kristen (PDS). Ternyata, para pemilih Jakarta bukanlah para pelintas batas ceruk. Dari Pemilu 1999 ke 2004, PBB, PPP, dan PAN masing-masing kehilangan berturut-turut 0,7 persen, 9,7 persen, dan 9,1 persen
[zamanku] Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS
http://majalah.tempointeraktif.com:80/id/arsip/2008/12/08/KL/mbm.20081208.KL128923.id.html Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS Eep Saefulloh Fatah a.. Anggota Komunitas Para Penagih Janji SUNGGUH biasa secara artistik, tidak secara politik. Inilah iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang belakangan jadi menu utama di atas meja diskusi kita. Secara artistik, iklan berdurasi 31 detik itu tak istimewa. Narasinya terlampau verbal: Mereka sudah lakukan apa yang mereka bisa, mereka sudah beri apa yang mereka punya, mereka guru bangsa kita, mereka pahlawan kita, mereka motivator kita, mereka ilham bagi masa depan kita. Terima kasih guru bangsa, terima kasih pahlawan, kami akan melanjutkan langkah bersama PKS untuk Indonesia sejahtera. Suara sang narator juga seperti tercekat di kerongkongan. Pecah. Tak bulat dan jauh dari bertenaga seperti teriakan khas Soekarno. Lebih mirip teriakan demonstran pada hari-hari antara 1997 dan 1998. Visualisasinya berupa gerak perpindahan slide standar, menampilkan sosok Soekarno, Soeharto, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, M. Natsir, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Bung Tomo. Tapi iklan itu tak biasa secara politik. Ia mendulang kontroversi lumayan panjang, terutama lantaran sosok Soeharto. Sebagian kalangan menolak penahbisan sang Jenderal Besar sebagai pahlawan dan guru bangsa. Sebagian kalangan bahkan langsung menaruh PKS di keranjang partai antireformasi. Iklan itu pun menjadi salah satu pertaruhan penting PKS dalam mengulang sukses Pemilu 2004. Sebegitu penting dan genting perkara ini bagi PKS? Produktif atau kontraproduktifkah iklan itu bagi upaya PKS meraih target 15 persen suara atau 20 juta pemilih dan menjadi tiga besar? Mari kita telisik perkara ini dengan teropong pemasaran politik (political marketing). Sukses sebuah iklan dinilai dari keberhasilannya memperluas dukungan bagi produk politik (partai, kandidat, kebijakan, dan presentasi ketiganya) yang ditawarkan. Masalahnya, tak ada iklan yang bisa efektif menjangkau semua karakter calon pemilih. Fungsi sebuah iklan pun mirip-mirip penepuk lalat. Anda mesti berkonsentrasi pada satu atau beberapa lalat saja. Ketika sang lalat tertepuk, Anda mesti menerima konsekuensi serta merta: lalat-lalat lain akan terbang menjauh dari jangkauan. Untungnya, tepukan bisa diulang-ulang untuk memperbanyak jumlah korban. Begitulah logika kerja sebuah iklan politik. Semakin tegas, benderang, spesifik, dan tajam sasaran yang dibidiknya, semakin besar potensi sukses sang iklan. Sebagaimana menepuk lalat, Anda lalu bisa membuat banyak iklan untuk beragam sasaran bidik. Celakanya, pemilih bukanlah lalat. Setiap karakter pemilih membutuhkan langgam tepukan berbeda. Beriklan banyak untuk sasaran bidik beragam boleh saja. Tapi hasilnya akan lain manakala langgam iklan-iklan itu tak berkesesuaian, apalagi jika berbalas pantun, saling menyerang. Maka, alih-alih memperluas daya jerat, sang iklan akan membikin kabur identitas partai dan para pemilih potensialnya. PKS rupanya tak ingin makan buah simalakama itu. Mereka tak membuat banyak iklan dengan target bidik beragam. Mereka membuat satu porsi gado-gado: Satu iklan yang menggabungkan banyak ikon, untuk satu kali tepukan. Plaaak! Berapa banyakkah yang tertangkap dan yang terbang menjauh? Asumsikanlah bahwa PKS merupakan partai rasional yang dikelola politikus akil balig. Maka, iklan Soeharto guru bangsa bisa jadi dilandasi kesadaran PKS tentang pentingnya ketokohan dalam menentukan pilihan sekaligus tentang sempitnya ceruk pasar partai-partai berbasis massa Islam. Berdasarkan pendataan Litbang Kompas (2008), dalam Pemilu 1999, ceruk pasar itu hanya didiami 37,54 persen dari total pemilih. Sekalipun jauh lebih besar ketimbang ceruk partai berbasis massa Kristen, kedaerahan, dan etnik (1,42 persen), ceruk itu lebih kecil daripada ceruk partai-partai berbasis massa majemuk (61,04 persen). Dalam Pemilu 2004, perbandingan ketiga ceruk pasar ini tak bergeser terlalu jauh, menjadi 38,33 persen berbanding 2,14 persen berbanding 59,53 persen. Celakanya, sebagaimana dibuktikan Dwight King dan Anies Baswedan (2005), para pemilih Indonesia bukanlah pelintas batas. Jangankan menyeberang ke partai-partai majemuk, para pemilih partai Islam cenderung mengalihkan dukungannya ke partai berbasis massa Islam lainnya. Pemilih ceruk lain juga setali tiga uang. Pertarungan pokok pun terjadi di dalam ceruk, bukan lintas ceruk. Fakta ini tegas terlihat di Jakarta. Di daerah pemilihan paling prestisius yang dimenangi PKS pada Pemilu 2004 ini, tujuh partai berbasis massa Islam meraih 1.891.641 suara (46,89 persen); hanya berselisih kecil dengan suara yang diperoleh 16 partai berbasis massa majemuk (1.911.666 suara atau 47,39 persen). Sedangkan sisanya, 5,72 persen atau 230.657 suara, diraih partai berbasis massa Kristen (PDS). Ternyata, para pemilih Jakarta bukanlah para pelintas batas ceruk. Dari Pemilu 1999 ke 2004, PBB,