disi. 17/XXXVII/16 - 22 Juni 2008

Wawancara
Sofyan A. Djalil:
Mengapa Tidak Menarik Uang Timur Tengah

DUA pekan lalu, industri telekomunikasi Indonesia dikejutkan berita
penjualan 40,82 persen saham Singapore Technologies Telemedia Pte.
Ltd. di PT Indosat Tbk. ke Qatar Telecom. Perusahaan telekomunikasi
asal Qatar ini mengucurkan US$ 1,8 miliar—atau sekitar Rp 16,74 triliun
—untuk membeli saham tersebut.

Singapore Technologies sebetulnya sedang mengajukan permohonan kasasi
ke Mahkamah Agung atas keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang
menuduh Temasek, induk perusahaan Singapore Technologies, melakukan
monopoli di Indonesia. Soalnya, selain menguasai Indosat, Temasek
mempunyai saham di PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) lewat anak
perusahaannya yang lain, Singapore Telecommunications.

Dibanding rencana penjualan saham Singapore Technologies di Indosat
sebelumnya, yang selalu diributkan, penjualan kali ini berlangsung
mulus. Qatar tak mengalami penolakan seperti halnya dulu dialami
Altimo dari Rusia. Setelah Axis, masuknya Qatar menandai gelombang
modal Timur Tengah yang mengalir ke Indonesia.

Untuk menggali sikap pemerintah terhadap penjualan saham Singapore
Technologies kepada Qatar, Grace S. Gandhi dari Tempo menemui Menteri
Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan A. Djalil. Wawancara dilakukan
di sepanjang perjalanan dari rumah dinas menteri di Jalan Denpasar,
Kuningan, Jakarta Pusat, ke kantor kementerian di Jalan Medan Merdeka
Barat, Rabu pagi pekan lalu.

Benarkah pemerintah tak diberi tahu penjualan saham Singapore
Technologies di Indosat?

   Kami baru mengetahui penjualan itu setelah kejadian. Sebelumnya
mereka memang pernah datang menyatakan minat. Tapi penjualan itu
sepenuhnya wewenang Singapore Technologies.


Kapan tepatnya Qatar Telecom menemui Anda?

   Melapor resmi Senin (9 Juni 2008), setelah transaksi (di
Singapura, Jumat, 6 Juni 2008). Pemilik baru Indosat (Chairman Qatar
Telecom Syekh Abdullah bin Mohammed Saud al-Thani) waktu itu datang ke
kantor untuk melapor.


Apa yang Anda katakan dalam pertemuan itu?

   Saya tidak mengatakan apa-apa, karena pemerintah tidak dalam
posisi mengatakan ya atau tidak. Saya hanya mengatakan, "Oke, welcome
ke Indonesia. Saya harap bisnis Qatar di Indonesia sukses."


Transaksi itu sah-sah saja?

   Sah-sah saja. Tidak ada hak bagi pemerintah untuk mengatakan
tidak.


Bukankah pemerintah masih punya 14,2 persen saham di Indosat? Apa
sebelumnya tidak dimintai pendapat atau izin lebih dulu?

   Sesuai dengan perjanjian jual-beli Indosat dulu, memang direktur
utama masih dipegang oleh Indonesia. Pemerintah juga masih menempatkan
orang di posisi direktur dan komisaris. Tapi pemerintah sudah menjadi
pemegang saham minoritas di situ. Jadi lebih bersifat simbolis.
Singapore Technologies menjual kepada siapa, itu hak mereka.


Apakah dalam perjanjian jual-beli Indosat dulu tidak ada klausul yang
mewajibkan Singapore Technologies menawarkan lebih dulu sahamnya ke
pemerintah?

   Pokoknya mereka bisa menjual sahamnya kepada siapa saja.
Seharusnya memang seperti Telkomsel. Waktu SingTel mengambil alih
saham Bimantara di Telkomsel dulu, ada perjanjiannya. Kalau saham
SingTel di Telkomsel mau dijual, harus ditawarkan pertama kepada
Telkom dengan harga yang disepakati. Dalam kasus Indosat, tidak ada
klausul seperti itu.


Bagaimana pemerintah melihat penjualan ini, sementara proses hukum
keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha soal monopoli Temasek masih
berjalan?

   Tentunya mereka telah melakukan legal due diligence, penjualan itu
oke atau tidak. Kalau melihat keputusan Komisi, sebenarnya ada dua hal
yang paling pokok. Pertama, telah terjadi monopoli yang dilakukan oleh
Temasek lewat Singapore Technologies dan SingTel. Singapore
Technologies punya Indosat dan SingTel punya Telkomsel. Komisi
memerintahkan menjual salah satu. Kemudian pengadilan negeri
memutuskan Temasek menjual salah satu atau 50 persen dari masing-
masing perusahaan itu. Asumsinya, dengan kepemilikan yang lebih kecil,
mereka tidak akan mampu melakukan praktek monopoli.


Bagaimana dengan perintah Komisi agar penjualan saham maksimal hanya
lima persen?

   Saya tidak tahu apa pertimbangan Komisi memerintahkan penjualan
maksimal hanya lima persen. Barangkali lebih ke pertimbangan political
economy. Secara hukum, perusahaan telekomunikasi di Indonesia sudah
boleh dimiliki oleh asing. XL (PT Excelcomindo Pratama Tbk.) sudah 100
persen asing, Indosat mayoritas asing, Axis (PT Natrindo Telepon
Seluler) 95 persen asing, dan 3 (PT Hutchinson CP Telecommunication)
juga 100 persen asing.


Apakah pemerintah tak berminat membeli kembali saham Indosat?

   Kalaupun pemerintah punya uang dan mau membeli, itu sama juga
dengan monopoli kan? Sebab, pemerintah sudah punya Telkom (PT
Telekomunikasi Indonesia Tbk.). Seandainya ada uang, lebih baik
digunakan untuk membangun pembangkit listrik, pelabuhan, atau airport.


Mengapa begitu?

   Bila membeli Indosat, manfaat ekonomi yang luas, seperti
penciptaan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih
cepat, atau memberi nilai tambah lainnya, tidak akan tercapai. Kalau
punya uang, lebih baik membangun pembangkit listrik. Uang Rp 17
triliun itu bisa digunakan membangun pembangkit listrik batu bara
2.000 megawatt.


Kalau dirunut, penjualan saham Indosat sepertinya berputar di situ
saja. Qatar membeli saham Singapore Technologies di Indosat lewat Asia
Mobile Holdings Pte. Ltd., sementara Asia Mobile itu dimiliki
Singapore Technologies dan juga Qatar....

   Asia Mobile itu hanya vehicle. Di situ memang ada saham Qatar
Telecom dan Singapore Technologies. Di mana-mana, kalau suatu
perusahaan mau investasi ke luar negeri, yang masuk duluan, ya,
perusahaan vehicle ini. Dari pembicaraan dengan Qatar Telecom pekan
lalu, Qatar masuk ke Indonesia lewat Asia Mobile. Begitu Qatar membeli
seluruh saham Singapore Technologies di Indosat, tidak ada lagi
hubungan apa pun antara Indosat dan Singapore Technologies ataupun
Temasek.


Benarkah secara hukum bisa dilihat seperti itu?

   Saya tidak tahu aspek hukumnya. Biar dilihat oleh para ahli hukum.
Tentu mereka sadar sekali tentang ini. Waktu bicara dengan Qatar, saya
bilang bahwa masalah hukum (dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
masih ada. Mereka bilang mereka sudah menyadari hal itu dan sangat
menghormati aturan serta hukum di Indonesia.


Apakah ada tekanan politis dalam penjualan saham ini?

   Tekanan politis dari siapa?


Jadi transaksi ini murni bisnis?

   Ya, murni bisnis antara Singapura dan Qatar. Singapore
Technologies menjual itu mungkin karena merespons keputusan Komisi
atau barangkali juga merupakan strategi bisnis mereka. Cuma, sedang
ada masalah di pengadilan, kok dijual. Kan itu yang dipersoalkan?
Tapi, kelihatannya, mereka tetap banding dan biarkanlah proses
hukumnya berjalan.


Tak ada tekanan politik juga menyangkut keputusan Komisi terhadap
Temasek?

   Saya pikir alasan yang digunakan cukup legitimate: terjadinya
praktek monopoli. Argumentasi yang diajukan Komisi cukup kuat dan itu
diperkuat oleh pengadilan negeri. Saya lihat ini tidak politis, karena
tentang antimonopoli. Siapa pun seharusnya taat hukum, di mana pun
mereka berada. Kalau di Singapura ada undang-undang antimonopoli, ya
harus kita hargai. Sebaliknya, bila di Indonesia ada peraturannya,
siapa pun yang berbisnis di sini harus menaati. Sejauh ini pandangan-
pandangan Komisi tidak ada unsur politiknya.


Sebelumnya, rencana penjualan saham Singapore Technologies di Indosat
ke investor lain terus digoyang....

   Saya pikir dulu penjualan Indosat mungkin tidak terlalu
transparan, sehingga persoalannya merambat ke mana-mana. Kalau ada
urusan politik, memang kita sangat prihatin, karena nanti yang
dikorbankan adalah iklim bisnis di Indonesia. Padahal negeri ini
sangat membutuhkan investasi.


Bukankah penjualan saham Indosat dulu merupakan kebijakan pemerintah?

   Ya, tapi kebijakan dan eksekusi merupakan dua hal berbeda.
Kebijakan oke, bagus, tapi eksekusinya.… Maka, dalam pelaksanaan
privatisasi, kami sangat hati-hati. Harus dibikin setransparan mungkin
sehingga tidak ada persoalan di belakang hari. Sebab, kasihan juga
pembelinya nanti.


Selama Indosat terus digoyang, tak ada investor asing yang
mempertanyakan ini?

   Tentu ada. Ada juga investor asing yang bertanya apakah pemerintah
akan menjual sisa saham yang 14 persen. Saya katakan pemerintah tidak
bermaksud menjual.


Bagaimana bila Qatar Telecom berniat membeli saham pemerintah di
Indosat dengan harga mahal?

   Saat ini tidak ada rencana. Enggak tahu kalau 20 tahun ke depan.


Setelah Axis, sekarang Qatar, tampaknya pengusaha Timur Tengah mulai
gencar melakukan investasi di Indonesia?

   Pemerintah melihat dari skala makro, bagaimana bisa menarik lebih
banyak uang dari Timur Tengah. Dibanding Malaysia dan Singapura,
selama ini kita belum berhasil menarik investasi secara signifikan
dari sana. Negara tetangga itu berhasil menjadikan dirinya sebagai
financial centre untuk Asia Tenggara. Bahkan sekarang lebih agresif
lagi dengan menjadikan negaranya sebagai pusat keuangan Islam di Asia
Tenggara. Banyak lembaga keuangan berpusat di Malaysia dan negara itu
berhasil mengeluarkan sukuk (obligasi syariah) dalam jumlah yang cukup
besar.


Jadi investasi dari Qatar ini merupakan uji coba....

   Kalau investasi Qatar berhasil, kita akan bisa menarik investor
lainnya masuk ke sini. Investor Timur Tengah itu punya tradisi,
apabila satu berhasil, yang lain akan berbondong-bondong. Menciptakan
iklim yang sehat dan menarik investasi itu sangat penting. Kita marah
Singapura masuk kemari atau Malaysia membeli kebun atau bank kita.
Sebenarnya yang mereka gunakan itu uang Timur Tengah. Mengapa kita
tidak menarik uang dari Timur Tengah secara langsung? Dalam perspektif
seperti itu, saya mengatakan, kalau ini berhasil, bagus. Tapi, kalau
ini gagal, karena satu dan lain hal, terutama bukan karena masalah
hukum tapi masalah politik, itu akan sangat saya sesalkan.


Tampaknya pemerintah sangat berhati-hati dengan privatisasi. Krakatau
Steel belum apa-apa juga sudah diributkan?

   Ya, itu implikasi dari negara demokrasi yang belum dewasa. Semua
masalah dilihat dari dimensi politik. Diskusi soal Krakatau Steel itu
sudah out of proportion sama sekali. Sejak awal pemerintah merumuskan
privatisasi Krakatau Steel, pilihannya adalah penjualan strategis atau
initial public offering (penawaran saham perdana). Karena ada opsi
penjualan strategis itu, ada yang menyatakan minatnya. Datanglah
Mittal (ArcelorMittal, milik pengusaha Lakshmi Mittal). Tawarannya
secara obyektif bagus sekali.


Seberapa bagus?

   Mereka menawarkan tiga proposal. Pertama, Mittal menjadi pemegang
saham minoritas, maksimum 30 persen, dan Krakatau masih mayoritas.
Kedua, mereka mayoritas dan Krakatau minoritas. Dengan masuknya
Mittal, perusahaan gabungan itu, entah apa namanya nanti, akan punya
kapasitas sekitar 13 juta ton. Produksi baja Krakatau Steel sekarang
baru 2,5 juta ton. Jadi, pada saat konsumsi baja nasional mencapai
12-13 juta ton pada 2012-2013, kita akan punya kapasitas yang cukup.
Tidak perlu impor lagi. Kalau terus bergantung pada impor, dalam
keadaan normal masih oke saja. Tapi, dalam keadaan krisis, misalnya,
akan sulit. Ketiga, sama-sama mencari tambang mineral, terutama bijih
besi.


Menjelang pemilihan umum, wajar ada kecurigaan menyangkut
privatisasi....

   Setelah Mittal mau masuk, banyak investor juga menyatakan
berminat. Tapi logika politiknya lain. Ada kecurigaan: wah, ini gara-
gara mau Pemilu 2009. Sudah full kecurigaan. Akhirnya pembicaraan dan
diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat sudah out of proportion. Akhirnya,
oke, kalau memang curiga dengan penjualan strategis, IPO saja.


Sebetulnya mana yang lebih baik buat pemerintah: IPO atau penjualan
strategis?

   IPO bagi saya juga penting. Dalam keadaan pasar bagus, IPO yang
terbaik. Tapi, kalau pasar dalam keadaan tertekan, investor strategis
yang terbaik karena investor ini akan melihat potensi yang dimiliki
dalam lima tahun ke depan. Kalau Krakatau Steel bisa mendapatkan dana
US$ 2-3 miliar, bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas sampai
dengan 5-6 juta ton.


Seberapa besar target pendapatan dari privatisasi dalam anggaran tahun
ini?

   Dari target pendapatan negara Rp 900 triliun, privatisasi cuma Rp
500 miliar. Enggak ada apa-apanya itu. Tapi ada yang membuat
pernyataan bahwa pemerintah sudah panik, mau menjual semua perusahaan
negara yang untung-untung semua.


Rencana privatisasi badan usaha milik negara belum ada satu pun yang
terlaksana?

   Belum ada satu pun yang dapat izin dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebab, sekarang, kalau mau privatisasi, menjual satu lembar saham pun
harus mendapat izin Dewan.


Tidak sedih banyak perusahaan negara sekarang ini dikuasai oleh asing?

   Kalau itu sudah fakta, karena kita pernah krisis. Begitu krisis,
kita tidak punya daya tawar lagi. Tapi kita masih punya aset 160 badan
usaha milik negara.


Perusahaan-perusahaan ini sehat?

   Enggak. Makanya perlu melakukan berbagai upaya untuk menyehatkan.
Apa yang saya lakukan? Saya perbaiki manajemennya. Saya pecat
orangnya. Setelah saya jadi menteri, sudah sepuluh orang yang saya
pecat. Ada yang disuruh mengundurkan diri, ada yang diberhentikan
dengan tidak hormat atau dengan hormat. Kalau tidak perform, silakan
out. Ada kesalahan, out. Waktu ada kebakaran di Angkasa Pura Medan,
saya berhentikan direktur operasinya.


Tidak takut dituduh ada alasan politik di balik pemecatan-pemecatan
itu?

   Tidak ada urusannya dengan itu. Anda bisa lihat direksi yang saya
angkat itu tak ada yang punya afiliasi politik dengan partai tertentu.
Bila kementerian ini melakukan uji tuntas dan kelayakan, wartawan pun
boleh ikut melihat.


Apa lagi yang dilakukan untuk menyehatkan perusahaan negara?

   Ada perusahaan seperti Merpati yang tidak bisa di-IPO, maka harus
dicari investor yang punya uang untuk menyelamatkannya. Merpati ini,
kalau tidak bisa kita selamatkan, bisa mengikuti jalur Adam Air. Tapi
logika ekonomi dan politik tidak selalu sejalan, bahkan bertentangan.


Sekarang yang lebih dominan justru logika politik?

   Itulah. Saya sampai kadang-kadang omong ke istri saya, "Aduhhh
capek!" Terus dia jawab, "Jangan berharap bisa mengubah dunia. Ada
atau tidak ada kita, dunia tetap jalan."



Sofyan A. Djalil

Tempat dan Tanggal Lahir

   * Peureulak, Aceh, 23 September 1953


Pendidikan

   * Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
   * Master of Arts The Graduate of School of Arts and Sciences Tufts
University, Medford, Massachusetts, Amerika Serikat, 1989
   * Master of Arts Fletcher School of Law and Diplomacy Tufts
University, Medford, Massachusetts, Amerika Serikat, 1991
   * Doctor of Philosophy The Fletcher School of Law and Diplomacy
Tufts University, Medford, Massachusetts, Amerika Serikat, 1993


Karier

   * Staf Ahli Menteri Negara Pendayaan BUMN, 1998-2000
   * Komisaris Utama PT Pupuk Iskandar Muda, 1999-Juli 2004
   * Menteri Komunikasi dan Informatika, 2004-2007
   * Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, 2007-sekarang

sumber : majalah tempo

-- 
**********************************
Memberitakan Informasi terupdate untuk Rekan Milist dari sumber terpercaya
************************************

Kirim email ke