Dear miliser

Berikut sebuah artikel tentang Tabuik yang pernah diposting oleh Bung Barry 
Kusuma di milis tourism-indonesia, juga saya sertakan sebuah artikel dari Koran 
Tempo.

-------------------------------------------------------------------------------------------



Mati Suri Tabuik
oleh Barry Kusuma

Untuk melihat foto klik (http://www.alambudaya.blogspot.com/ )

Peristiwa pembantaian Hussain, cucu Nabi Muhammad di Padang Karbala, oleh 
pasukan Yazid bin Muawiyah dari dinasti Ummayah, menorehkan guratan sejarah 
yang mendalam bagi umat muslim di dunia. Di Pariaman, Sumatera Barat, peristiwa 
ini diperingati dengan melaksanakan sebuah upacara, Tabuik.

Berasal dari kata `tabut', dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara 
Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, 
yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura 
yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.

Simbol Rasa Duka

Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman, sebagai 
peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi 
rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu 
Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan keunikan dalam setiap 
pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan upacara Tabuik dalam 
agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.

Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk 
melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas 
dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, 
yakni puasa.

Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang 
menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan 
terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda, 
berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umat Islam, binatang ini 
disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di punggung Tabuik, dibuat 
sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian dihiasi dengan warna 
merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.

Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, keramaian sudah terasa di 
seantero Kota Pariaman. Seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di 
alun-alun kota. Para warga lainnya berkerumun di tepi jalan untuk menyaksikan 
jalannya kirab Tabuik. Tak hanya warga biasa, para pejabat pemerintahan pun 
turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.

Tepat pada waktunya, Tabuik mulai diangkat dan karnaval pun dimulai. Satu 
Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang 
Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi 
berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Selama arak-arakan berlangsung, 
seluruh peserta karnaval meneriakkan, "Hayya Hussain. Hayya Hussain!!!" sebagai 
ungkapan hormat kepada cucu Nabi Muhammad SAW tersebut. Sesekali, arak-arakan 
berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi 
sambil diiringi tetabuhan.

Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai 
dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan 
bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen 
ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa 
segala jenis arakannya. 

Bila dibandingkan dengan upacara Tabuik yang digelar sepuluh tahun lalu, 
upacara Tabuik yang ada sekarang memang berbeda. Kala itu, Tabuik dibuat oleh 
dua kelompok warga dari kubu yang berbeda dan kemudian diadu satu sama lain. 
Dalam prosesnya, tak jarang diikuti pula dengan baku hantam para warga dari 
kedua kubu tersebut. 

Atraksi Budaya Unik

Kini, unsur kekerasan yang tadinya terdapat pada Tabuik itu telah dihilangkan. 
Upacara ini lebih diarahkan kepada sebuah atraksi budaya yang menarik dan dapat 
dikonsumsi oleh para wisatawan. Selain menyaksikan prosesi upacara Tabuik, para 
wisatawan dapat berkeliling di pasar tradisional dan bazaar yang digelar 
seiring dengan perayaan ini. Nikmati juga salaluk dan rakik maco, makanan khas 
Pariaman yang banyak dijajakan di pinggir pantai. Sayangnya, sampai kini, 
pelaksanaan upacara Tabuik belum digarap secara maksimal. Masih ada sejumlah 
kendala yang muncul dalam pelaksanaannya, terutama dalam hal pendanaan. 

Perayaan Tabuik tahun ini yang jatuh pada bulan Februari lalu misalnya. Acara 
ini nyaris gagal dilaksanakan. Pemda setempat bahkan sempat mengumumkan lewat 
media massa rencana pembatalan tersebut dikarenakan kekurangan dana oleh 
pemerintah. Namun, berkat kesungguhan warga Pariaman untuk menggelar acara ini 
dengan sumbangan swadaya masyarakat, Tabuik pun akhirnya dapat digelar dan 
dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dan wisatawan. Walaupun Tabuik ini 
ditetapkan didalam agenda Pariwisata sumatera barat, lambat laun gaung seremony 
ini makin lama makin tidak terdengar. Yang semakin membuat pariwisata 
disumatera barat menjadi mati suri.

(Exotic nature and culture of Indonesia http://www.alambudaya.blogspot.com/ )

-----------------------------------------------------------------------------



Disarikan dari Koran Tempo - edisi 1 Februari 2008:

Tabuik adalah tradisi turun temurun khas masyarakat Pariaman, Sumatra Barat, 
untuk memperingati Asyura (10 Muharam) yang selalu berlangsung meriah dan gegap 
gempita. Acara 'larung' yang prosesinya berlangsung seminggu ini puncaknya 
digelar di Pantai Pariaman, bibir Samudra Hindia. Pada 2008 ini, peringatan 
Tabuik jatuh di minggu kedua bulan Januari, diramaikan oleh sekitar 25 ribu 
orang. "Hoyak Hussein, Hoyak Hussein..," teriak mereka. Suasana makin riuh saat 
gendang tasa ditabuh selusin pemain dalam irama nan rancak. Suasana kemudian 
mulai hening saat Tabuik mulai diturunkan di bibir pantai. Saat Tabuik lepas ke 
laut, warga meyakini peti jenazah Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad, sudah 
dibawa oleh Bouraq.

Ada dua jenis Tabuik yang dilarung ke laut lepas, yaitu Tabuik Pasa (Tabuik 
Pasar) dan Tabuik Subarang (Tabuik Seberang). Patung tersebut bukan sekadar 
hiasan karena pembuatannya melalui ritual terlebih dahulu


Tradisi Tabuik merupakan ritual untuk memperingati Tahun Baru Islam sekaligus 
peringatan syahidnya Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad, yang tewas di Padang 
Karbala (Irak) pada abad ke-7. Tradisi yang melekat pada kelompok Syiah ini 
dibawa oleh pendatang asal Sepoy, India, ke Pariaman pada 1831.

Pendatang asal Sepoy ini sebelumnya merupakan prajurit Inggris di bawah komando 
Thomas Stamford Raffles, yang semula bermarkas di Bengkulu. Tapi, setelah 
Traktat London antara Inggris dan Belanda ditandatangani pada 17 Maret 1829, 
wilayah pesisir barat Sumatera diserahkan kepada Belanda. Sebagian prajurit 
Sepoy ini memilih tinggal di Pariaman. 

Mereka yang menganjurkan perayaan Asyura dengan membuat Tabuik untuk untuk 
mengenang tewasnya Imam Hussein.  Meski mayoritas warga Pariaman menganut 
mazhab Syafi'i yang dibawa Syekh Burhanuddin, tradisi Tabuik bisa diterima, 
walau awalnya sempat dipermasalahkan. Pengagum
Imam Hussein meyakini bahwa jenazah Hussein yang berserakan di tanah dijemput 
oleh malaikat berkendaraan bouraq (burak) dan diterbangkan ke langit. Burak 
diyakin sebagai hewan berbadan seperti kuda, tapi bersayap lebar dan berkepala 
manusia. Hewan inilah yang membawa peti mati dan berpayung dengan hiasan 
warna-warni.

Konon, saat burak akan membawa terbang jenazah Imam Hussein, salah seorang 
pengikutnya melihat dan meminta dibawa serta. Malaikat yang menolak hanya 
meninggalkan pesan agar dibuat benda mirip burak dan tabuik (peti jenazah) 
setiap 10 Muharam. Kisah inilah yang dijadikan dasar diadakannya acara Tabuik.

Febrianto






mediacare
http://www.mediacare.biz

Kirim email ke