[zamanku] Tahun 2009 M waktu bumi
Friends, berikut percakapan antara seorang rekan (D) di Vienna, Austria, dan saya (L) di Jakarta. Semoga bermanfaat. + D = Begitulah, Mas Leo, Memang konsep agama agama Ibrahim dari suku suku Semit, yakni Yahudi (Thora dan Talmud), Kristen (Injil) dan Islam (Quran) mempunyai struktur yang sama, yakni dari apa yang diungkapkan Musa, Ibrahim, Yesus sampai Muhammad, yang percaya adanya wahyu melalui nabi nabi, orang yang bernubuat. Semua kisah, kidung, pesan, perintah, larangan, dikemas dalam bentuk pesan yang disampaikan melalui wahyu. The Ibrahimic religions. Sangat berbeda dengan sudut pandang falsafah leluhur kita dari Asia: India, Tiongkok, Jepang, Indonesia... Allah dalam budaya suku suku Semit dipercayai sebagai pribadi yang bicara, seolah bapak tua (pasti bukan ibu atau anak muda), melalui perantara. Apa yang diucapkan diimani sebagai dogma yang tak boleh di utik utik. Nah, kalau apa yang Dia katakan berbeda penyampaiannya, maka jadi ramai, seperti yang dialami manusia 2000 tahun terakhir. Kepada umat yang satu disampaikan pesan lain daripada pesan pada umat kedua, ketiga dst. Ini menyebabkan terus terusan terjadi kisruh, yang sering bersenjata, antara umat ketiga agama ini. Kata Allah, memang hanya dikenal dalam lingkup budaya berbahasa Arab, dan juga digunakan oleh kaum Nasrani di Arab. Kristus yang menggunakan bahasa Aram, tak mengenal istilah ini. Juga orang Yahudi mengenal kata YHWH, bukan Allah. Tidak saja itu, apa yang dipesankan Allah (=God) dalam ketiga agama ini juga berbeda. God dalam budaya Israil tak mengenal Yesus, juga Muhammad. Umat Nasrani mengimani God berwujud tiga (Trinitas), dan God dalam Islam mengutus Muhammad, yang tak dikenal dalam agama agama lain, dan tak ada istilah trinitas. Dalam agama agama dan kepercayaan di Asia, yang diwariskan oleh leluhur kita, tak ada God yang berdiri di langit dan berkata apa apa, juga tak ada utusan berbentuk malaikat siapapun. Dari Tao sampai Buddha ditekankan, keIlahian ada dalam alam semesta, yang bermanifestasi dalam diri kita semua, tiap insan. Kebaikan dan keluhuran kita lakukan, bukan atas perintah siapa siapa, namun demi keluhuran itu sendiri. Karena sesuatu yang baik, adalah baik (terlepas siapa yang mengatakannya). Karena disini tak ada yang katanya, diperintahkan dari langit, maka tak ada mutlak mutlakan, tak ada eyel eyelan. Juga tak ada takdir, yang jlegerrr... diputuskan dari langit, yang ada, adalah wujud dari tiap tindakan kita sendiri. Baik atau buruk. L = Iyalah, memang seperti itu realitanya, agama-agama semitik itu memiliki tradisi nubuah, berucap atas nama Tuhan. Dan lucunya, agama-agama semitik juga menutup sendiri tradisi nubuah itu setelah periode tertentu. Agama Yahudi bilang bahwa nubuah telah selesai setelah kitab suci di-buku-kan (di- baku-kan). Kristen juga begitu. Islam juga begitu. Pedahal, aktifitas nubuah berlangsung terus. Walaupun kitab-kitab suci agama-agama semit itu telah di-baku-kan, kegiatan nubuah berjalan terus sampai saat ini dan, tentu saja, sampai kapanpun. Bernubuah is to prophesy, as simple as that. Tradisi-tradisi non semitik memiliki juga aktifitas serupa dengan nama berbeda. Di Jawa ada kegiatan dawuh, berbicara atas nama orang yg telah meninggal. Pedahal yg berbicara si manusia itu sendiri, yg mungkin tapping ke memory manusia lain atau bahkan ke memory milik alam atau Tuhan. D = Betul juga. Budaya Kejawen juga mengenal konsep wahyu atau dawuh, dimana dipercaya oleh seorang pelaku kebathinan (sing nglakoni), bahwa ada wangsit, yang mengatakan ini itu, atau ini itu akan terjadi. Ini pada dasarnya juga nubuat. Ini biasanya, setelah orang mendatangi situs situs gaib, makam keramat, prasasti purba, sumur, pohon atau yang lain. Beda utama dengan struktur kepercayaan suku suku Semit atau agama agama Ibrahimist, Yahudi, Kristen dan Islam, wahyu ini sangat amat mutlak dan dipercaya datang langsung dari God, berlaku untuk selamanya. Dalam budaya Kejawen ini sangat individual, dan tidak di-baku-kan. Disini unsurnya adalah percaya, dimana seringkali memang lebih comfortable percaya yang gaib gaib, daripada berpikir kritis. Dalam sejarah kita banyak contoh konfrontasi antara yang gaib gaib ini dan fenomena nalaryah. Perang Diponegoro, misalnya, dimana dipercaya Diponegoro mendapatkan wahyu macam macam, memiliki kekuatan gaib untuk mengusir Belanda. Belanda menghadapi Diponegoro dengan konsep taktis militer, yang juga dipergunakan dalam Perang Napoleon. Artilerie medan ternyata mengalahkan kekuatan gaib. L = My point is, kegiatan ber-nubuah atau prophesying itu berjalan terus sampai saat ini dan sampai kapanpun manusia hidup di atas bumi. Kita semua bisa naik ke kesadaran tinggi yg adanya di diri kita dan ber-nubuah tentang apa yg harus kita lakukan. Di kesempatan lain saya pernah bilang bahwa presiden pertama NKRI itu seorang nabi. Sukarno was prophesying when he said: Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit! Dari mana
[zamanku] Tahun 2009 M waktu bumi
Friends, berikut percakapan antara seorang rekan (D) di Vienna, Austria, dan saya (L) di Jakarta. Semoga bermanfaat. + D = Begitulah, Mas Leo, Memang konsep agama agama Ibrahim dari suku suku Semit, yakni Yahudi (Thora dan Talmud), Kristen (Injil) dan Islam (Quran) mempunyai struktur yang sama, yakni dari apa yang diungkapkan Musa, Ibrahim, Yesus sampai Muhammad, yang percaya adanya wahyu melalui nabi nabi, orang yang bernubuat. Semua kisah, kidung, pesan, perintah, larangan, dikemas dalam bentuk pesan yang disampaikan melalui wahyu. The Ibrahimic religions. Sangat berbeda dengan sudut pandang falsafah leluhur kita dari Asia: India, Tiongkok, Jepang, Indonesia... Allah dalam budaya suku suku Semit dipercayai sebagai pribadi yang bicara, seolah bapak tua (pasti bukan ibu atau anak muda), melalui perantara. Apa yang diucapkan diimani sebagai dogma yang tak boleh di utik utik. Nah, kalau apa yang Dia katakan berbeda penyampaiannya, maka jadi ramai, seperti yang dialami manusia 2000 tahun terakhir. Kepada umat yang satu disampaikan pesan lain daripada pesan pada umat kedua, ketiga dst. Ini menyebabkan terus terusan terjadi kisruh, yang sering bersenjata, antara umat ketiga agama ini. Kata Allah, memang hanya dikenal dalam lingkup budaya berbahasa Arab, dan juga digunakan oleh kaum Nasrani di Arab. Kristus yang menggunakan bahasa Aram, tak mengenal istilah ini. Juga orang Yahudi mengenal kata YHWH, bukan Allah. Tidak saja itu, apa yang dipesankan Allah (=God) dalam ketiga agama ini juga berbeda. God dalam budaya Israil tak mengenal Yesus, juga Muhammad. Umat Nasrani mengimani God berwujud tiga (Trinitas), dan God dalam Islam mengutus Muhammad, yang tak dikenal dalam agama agama lain, dan tak ada istilah trinitas. Dalam agama agama dan kepercayaan di Asia, yang diwariskan oleh leluhur kita, tak ada God yang berdiri di langit dan berkata apa apa, juga tak ada utusan berbentuk malaikat siapapun. Dari Tao sampai Buddha ditekankan, keIlahian ada dalam alam semesta, yang bermanifestasi dalam diri kita semua, tiap insan. Kebaikan dan keluhuran kita lakukan, bukan atas perintah siapa siapa, namun demi keluhuran itu sendiri. Karena sesuatu yang baik, adalah baik (terlepas siapa yang mengatakannya). Karena disini tak ada yang katanya, diperintahkan dari langit, maka tak ada mutlak mutlakan, tak ada eyel eyelan. Juga tak ada takdir, yang jlegerrr... diputuskan dari langit, yang ada, adalah wujud dari tiap tindakan kita sendiri. Baik atau buruk. L = Iyalah, memang seperti itu realitanya, agama-agama semitik itu memiliki tradisi nubuah, berucap atas nama Tuhan. Dan lucunya, agama-agama semitik juga menutup sendiri tradisi nubuah itu setelah periode tertentu. Agama Yahudi bilang bahwa nubuah telah selesai setelah kitab suci di-buku-kan (di- baku-kan). Kristen juga begitu. Islam juga begitu. Pedahal, aktifitas nubuah berlangsung terus. Walaupun kitab-kitab suci agama-agama semit itu telah di-baku-kan, kegiatan nubuah berjalan terus sampai saat ini dan, tentu saja, sampai kapanpun. Bernubuah is to prophesy, as simple as that. Tradisi-tradisi non semitik memiliki juga aktifitas serupa dengan nama berbeda. Di Jawa ada kegiatan dawuh, berbicara atas nama orang yg telah meninggal. Pedahal yg berbicara si manusia itu sendiri, yg mungkin tapping ke memory manusia lain atau bahkan ke memory milik alam atau Tuhan. D = Betul juga. Budaya Kejawen juga mengenal konsep wahyu atau dawuh, dimana dipercaya oleh seorang pelaku kebathinan (sing nglakoni), bahwa ada wangsit, yang mengatakan ini itu, atau ini itu akan terjadi. Ini pada dasarnya juga nubuat. Ini biasanya, setelah orang mendatangi situs situs gaib, makam keramat, prasasti purba, sumur, pohon atau yang lain. Beda utama dengan struktur kepercayaan suku suku Semit atau agama agama Ibrahimist, Yahudi, Kristen dan Islam, wahyu ini sangat amat mutlak dan dipercaya datang langsung dari God, berlaku untuk selamanya. Dalam budaya Kejawen ini sangat individual, dan tidak di-baku-kan. Disini unsurnya adalah percaya, dimana seringkali memang lebih comfortable percaya yang gaib gaib, daripada berpikir kritis. Dalam sejarah kita banyak contoh konfrontasi antara yang gaib gaib ini dan fenomena nalaryah. Perang Diponegoro, misalnya, dimana dipercaya Diponegoro mendapatkan wahyu macam macam, memiliki kekuatan gaib untuk mengusir Belanda. Belanda menghadapi Diponegoro dengan konsep taktis militer, yang juga dipergunakan dalam Perang Napoleon. Artilerie medan ternyata mengalahkan kekuatan gaib. L = My point is, kegiatan ber-nubuah atau prophesying itu berjalan terus sampai saat ini dan sampai kapanpun manusia hidup di atas bumi. Kita semua bisa naik ke kesadaran tinggi yg adanya di diri kita dan ber-nubuah tentang apa yg harus kita lakukan. Di kesempatan lain saya pernah bilang bahwa presiden pertama NKRI itu seorang nabi. Sukarno was prophesying when he said: Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit! Dari mana