Apabila FPI dan kelompok Islam garis keras lainnya dibiarkan berkeliaran, 
Indonesia bisa digulung gerakan Talibanisasi dari berbagai arah. Negeri ini pun 
akan pecah berantakan. 


Hidup di zaman Taliban sungguh mengerikan. Banyak orang tak punya uang. Tak ada 
pekerjaan. Dan semua dirundung ketakutan.

"Siapa yang tak takut, potongan tangan digantung di pohon, untuk memperingatkan 
orang akan kejamnya hukuman bagi para pelanggar." Obaidullah menceritakan 
bagaimana Taliban melaksanakan hukum rajam dan gantung di lapangan.

"Waktu pertama kali, kami memang berbondong-bondong ke stadium. Saya juga 
penasaran melihat bagaimana pelaksanaan hukuman yang katanya menegakkan hukum 
Islam itu. Tetapi setelah melihat itu semua, saya berkata dalam hati, `Tidak! 
Ini bukan Islam!'. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi melihat acara 
mengerikan itu."

Keluarga Naqeeb dan Obaid adalah etnis Tajik, suku yang menjadi mayoritas di 
Afghanistan bagian utara. Taliban adalah orang Pashtun, berasal dari selatan. 
Bahasa mereka sama sekali berbeda. Orang Tajik
berbahasa Dari (atau Tajik, atau Farsi, atau Persia, sama saja istilahnya), 
sedangkan orang Pashtun berbahasa Pashto, yang susah sekali dipelajari. Kedua 
bahasa ini adalah bahasa nasional Afghanistan
tetapi tidak semua orang bisa kedua bahasa ini sekaligus.

Kedatangan Taliban ke kota Mazar langsung disambut pertumpahan darah. Yang 
pertama kali, pejuang etnis Hazara yang menganut aliran Syiah bangkit melawan 
pasukan Taliban. Orang-orang Pashtun yang tersesat
dalam gang-gang kota Mazar yang semrawut bak labirin langsung dibantai.

Kesempatan kedua ketika Taliban berhasil menaklukan hampir seluruh negeri 
Afghan, giliran etnis Hazara yang menjadi bulan-bulanan pembantaian. Taliban 
masuk ke setiap rumah, membunuh setiap orang
Hazara yang dijumpainya. Pembunuhan rakyat sipil di dalam rumah, mulai dari 
orang tua, perempuan, anak-anak, hingga bayi yang baru lahir sekali pun, masih 
terasa kejam dalam keganasan perang macam apa pun.
Mayat orang-orang dari etnis itu dibiarkan di jalan sampai berhari-hari, 
menjadi santapan anjing jalanan. Dendam yang tak pernah padam seperti inilah 
yang membuat Afghanistan dipenuhi semangat
kebencian etnis dan banjir darah.

Konsulat Iran, yang kantornya di dekat rumah Obaid sekarang ini, juga menjadi 
sasaran amuk Taliban. Iran tidak mendukung Taliban dan membantu perjuangan 
etnis Syiah Hazara. Semua diplomat Iran yang
sedang naas di dalam konsulat itu digorok oleh Taliban. "Seorang jurnalis," 
kata Obaid, "kasihan sekali dia, baru datang dari Iran, masih muda. Dia teman 
saya. Saat itu dia juga tinggal di kantor
konsulgari - konsulat, juga ikut menjadi korban."

"Mereka juga masuk ke rumah kami, melakukan razia," lanjut Obaid, "kami tidak 
boleh memasang foto di tembok. Tidak boleh ada televisi, kaset musik. Semua 
pria harus berjenggot dan semua wanita tertutup
chadri." Rumah keluarga Obaid tersembunyi dalam gang sempit yang ruwet, 
bagaimana Taliban bisa menemukan mereka?

"Mereka jumlahnya ribuan, berpencar ke berbagai penjuru. Tak ada yang 
terlewatkan sama sekali. Bersih."
Inilah arti `pembersihan etnis' yang benar-benar harafiah.

Orang tak boleh mendengarkan musik, karena musik itu haram. Tidak ada televisi. 
Jurnalis juga tak perlu. Yang bisa didengarkan orang cuma radio yang isinya 
melulu lantunan doa keagamaan. "Siapa yang tak bosan hidup seperti itu?" kata 
Obaidullah dalam bahasa Rusia, "ochen skuchna, ochen ochen skuchna!"

Hidup pada zaman Taliban jauh lebih mahal daripada sekarang. Bahkan 
mendengarkan musik pun taruhannya nyawa. Ataukah sebaliknya, apakah harga nyawa 
zaman itu terlalu murah, bahkan lebih
murah daripada gandum dan beras?

Obaid pernah ditangkap Taliban gara-gara tidak bertopi. Waktu itu jenggot wajib 
hukumnya. Tutup kepala juga. Lebih bagus lagi kalau memakai surban. Pakaian ala 
Barat diharamkan, semua harus memakai
jubah atau shalwar qameez. Yang melanggar itu kena cambuk atau dipenjara.

Obaid meringkuk di penjara selama seminggu. Penjara terlalu penuh karena setiap 
kesalahan sepele hukumannya penjara. Di penjara pun tak diapa-apakan, cuma 
melewatkan waktu saja.

Betapa kontras hidup di zaman Taliban dengan ketika ia masih insinyur di 
Uzbekistan. Kala itu negeri-negeri Asia Tengah masih baru merdeka. Dolar 
Amerika masih dihargai 3 Sum Uzbek (sekarang 1 dolar = 1250 Sum, dan nilai 
tukarnya masih terus melorot). Turkmenistan masih menawarkan visa on arrival 
dan Ashgabat masih kumuh. Betapa Obaid teringat gadis-gadis Asia Tengah yang 
bebas bekerja, juga umat Muslimnya yang teramat santai.

"Pernah kami singgah di Termiz, tengah malam. Kelaparan sekali. Ada satu warung 
yang buka, tetapi kebab sudah habis. Kami dibisiki, ditawari sate babi. Saya 
terkejut sekali. Muslim Uzbek sana sama
sekali tidak peduli, makan daging haram tidak masalah."

Termiz adalah kota perbatasan Uzbek, hanya dua jam perjalanan dari Mazar, di 
seberang sungai Amu Darya sana. Tetapi kehidupan di seberang sungai sudah 
seperti kehidupan di dunia lain.



March 17, 2008 Mazar-i-Sharif - Secuplik Masa Lalu

Mar 17, 2008 @18:03 by Avgustin, Categories: About Afghanistan



mediacare
http://www.mediacare.biz

Kirim email ke