Saya baru pulang dari acara Ulang Tahun AJI ke-14 (met ulang tahun).
Ada acara yang sangat menarik bagi saya di ujung acara, Slank tampil
menyanyikan lagu-lagu mereka yang berisi kritik sosial. Contohnya
"Gosip Jalanan" yang membuat anggota beberapa DPR marah dan mengancam
melaporkan Slank ke polisi. Dari lagu ini, bait terakhir yang paling
saya suka. Bunyinya begini:



....

Pernah gak denger teriakan Allahu Akbar

Pake peci tapi kelakuan barbar

Ngerusakin bar orang ditampar-tampar



Lagu ini mengingatkan saya pada persidangan Residivis Rizieq Shihab dan
cerita Mbak Musdah yang mengikuti sidang itu di hari Senin kemaren
(saya tidak bisa ikut karena berada di Papua).



Lirik lengkap lagu tersebut:



GOSIP JALANAN



Pernah kah lo denger mafia judi

Katanya banyak uang suap polisi

Tentara jadi pengawal pribadi



Apa lo tau mafia narkoba

Keluar masuk jadi bandar di penjara

Terhukum mati tapi bisa ditunda



Siapa yang tau mafia selangkangan

Tempatnya lendir-lendir berceceran

Uang jutaan bisa dapat perawan

Kacau balau … Kacau balau negaraku ini ..



Ada yang tau mafia peradilan

Tangan kanan hukum di kiri pidana

Dikasih uang habis perkara



Apa bener ada mafia pemilu

Entah gaptek apa manipulasi data

Ujungnya beli suara rakyat



Mau tau gak mafia di senayan

Kerjanya tukang buat peraturan

Bikin UUD ujung-ujungnya duit



Pernah gak denger teriakan Allahu Akbar

Pake peci tapi kelakuan barbar

Ngerusakin bar orang ditampar-tampar 



Bersama coretan ini pula saya sertakan laporan Mbak Musdah tentang
suasana persidangan Residivis Rizieq Shihab yang dipenuhi oleh mereka
yang suka "teriak Allahu Akbar" tapi "berkelakuan bar-bar".



Guntur





Pengalaman Mengikuti Sidang Rizieq



Musdah Mulia



Saya masih berada di Balikpapan ketika Anick mengirim info via sms
bahwa dia dan Suaedy akan menjadi saksi dalam persidangan Rizieq hari
Senin, tanggal 25 Agustus 2008, pukul 09.00 di PN Jakarta Pusat. Begitu
inginnya saya menyaksikan persidangan, saya bergegas pulang ke Jakarta,
meski harus naik pesawat dengan tiket yang harganya dua kali lipat dari
harga normal. Dalam benak saya, sidang ini pasti meriah karena dipenuhi
massa FPI, mengingat terdakwa adalah Rizieq Shihab, orang yang selama
ini mereka kultuskan.



Senin pagi saya menjemput Amanda menuju PN. Di depan PN polisi dalam
jumlah yang cukup banyak sudah berdiri menjaga pintu masuk. Mulanya,
kami khawatir tidak boleh masuk. Tetapi, setelah minta izin, polisi
dengan ramah mempersilahkan dan memberikan jalan. Di dalam gedung kami
berpapasan dengan beberapa orang dari AKKBB. Selanjutnya, kami bergegas
masuk ruang sidang tanpa menghiraukan pandangan mata massa FPI yang
memperhatikan langkah kami.



Dugaan saya benar. Ruang sidang sudah dipenuhi massa FPI, mereka
terdiri dari laki dan perempuan, lebih banyak laki dan sebagian besar
memakai baju koko putih dengan tulisan FPI. Untungnya pada bangku kedua
dari depan ada tempat kosong, cukup untuk kami berdua. Lalu, kami duduk
dengan tenang. Suara takbir menggelegar memenuhi ruangan, itu terjadi
setiap kali diteriakkan kata "takbir" oleh pemimpin mereka. Silih
berganti ucapan takbir dan salawat diteriakkan.



Dua orang yang tadi duduk di sebelah saya pindah tempat. Bersamaan
dengan itu Nong, Anick, Saidiman dan Ilma datang. Kami berenam duduk
bersempit-sempitan di satu bangku (normalnya bangku pengunjung di PN
itu hanya muat empat orang). Kami menunggu agak lama, tapi saya sudah
terbiasa dengan jadual sidang yang sering tidak tepat waktu. Saya
katakan pada Amanda, ini sudah biasa, jadual sidang selalu molor.
Mungkin bosan menunggu, Nong, Ilma, Anick dan Saidiman keluar ruangan.
Kami berdua tetap di dalam dan tempat di kiri-kanan kami yang tadi
ditempati teman-teman, sekarang diisi orang-orang FPI, semuanya
laki-laki.



Sementara itu, massa FPI terus berdatangan, padahal ruangan sudah penuh
sesak. Sebagian mereka duduk di lantai sebagian lagi berdiri di seputar
dinding ruang sidang. Ruang yang tadinya masih terasa sejuk oleh AC,
sekarang sudah berubah panas dan sumpek. Seingat saya ada aturan yang
ketat dalam persidangan menyangkut berapa orang yang bisa masuk
mengingat kondisi ruang yang terbatas dan juga agar kehadiran massa
yang begitu banyak tidak mengganggu jalannya sidang. Tetapi, aturan itu
kok tidak berjalan?



Sambil menunggu para hakim memasuki ruangan sidang, dan dalam suasana
riuh, panas dan sumpek itu, seorang pemimpin FPI memberi instruksi agar
mulai melakukan ratiban, tentu saja dengan suara yang keras dan
menyentak-nyentak. Massa FPI membaca salawat, doa dan wiridan lainnya
mengikuti pemimpin mereka. Herannya para petugas tidak ada yang berani
menghentikan kegiatan yang tidak lazim ini. Disebut tidak lazim karena
seumur hidup baru kali ini saya menyaksikan acara ratiban di ruang
sidang.



Sebagai orang yang besar dalam tradisi NU, ratiban ini sama sekali
bukan hal yang asing buat saya. Aktivitas ini merupakan hal yang lumrah
sejak di pesantren. Karena itu, saya menikmati bacaan ratiban dan
mengikutinya, tetapi cukup di dalam hati, tidak perlu bersuara. Di
pesantren, kami terbiasa ratiban dengan suasana khidmat, tidak dengan
menyentak-nyentak sehingga mengeluarkan suara gaduh dan berisik yang
pasti mengganggu kenyamanan orang lain.



Di ujung ratiban itu, berdirilah salah seorang imam mereka untuk
meminpin doa akhir dan meminta semua hadirin untuk berdiri. "Semua yang
mengaku Muslim harap berdiri, demikian perintahnya" Amanda dan saya
tidak berdiri dan itu segera membuat pandangan mereka tertuju kepada
kami dengan wajah marah. Lalu spontan berhamburan cacian kepada kami:
"kalau Islam berdiri dong" "Hai kafir jangan duduk aja" "kamu bukan
golongan muslim ya" dan seterusnya. Kami tetap diam tidak bergeming.
Suasana mulai memanas, dan secara refleks saya lalu menengadahkan
tangan berdoa, tetapi dalam posisi tetap duduk, demikian pula Amanda.
Terdengar suara, "sudah gak usah diterusin, mereka sudah mengikuti asas
Islam" Saya tidak mengerti arti ucapan mereka itu. Yang pasti doa lalu
dibacakan oleh imam mereka dan massa FPI larut dengan ucapan amin,
amin, amin dengan suara lantang, seolah memaksa Tuhan mengabulkan doa
mereka. Dalam perjalanan pulang, Amanda berkata kepada saya: "heran ya
kok di ruang resmi seperti ini mereka masih memaksakan kehendaknya pada
orang lain? "Apalagi soal berdoa, itukan tidak harus berdiri, bisa
dengan duduk, berbaring, terserah kita." Ya, begitulah mereka, jawab
saya.



Pembacaan doa berakhir dan tiada berapa lama, para hakim memasuki
ruangan diiringi terdakwa. Ada hal menarik ketika terdakwa, Rizieq
memasuki ruangan dan duduk di kursi yang disediakan. Tiba-tiba seorang
perempuan menyelonong masuk. Hakim Ketua sempat menegur: "ehh ini
siapa?" Lalu dijawab, isteri Rizieq. "Mestinya tidak lewat pintu ini,
melainkan lewat pintu pengunjung". Kata Hakim Ketua. Saya tersenyum
melihat pemandangan aneh ini. Baru saja Hakim Ketua membuka sidang,
segera diinterupsi oleh Tim Pembela. Interupsi itu berkaitan dengan
kehadiran polisi di dalam ruangan sidang. Menurut Tim Pembela,
kehadiran polisi tidak layak dalam ruangan sidang. Alasannya, terdakwa
bukan lah orang yang membahayakan, melainkan orang baik. Orang yang
selama ini dikenal sebagai tokoh Islam. Sempat terjadi adu argumentasi
yang hangat, akhirnya Hakim Ketua memutuskan sebagian besar polisi
meninggalkan ruangan, hanya 4 polisi yang tetap berada di dalam. Saya
memberi acungan jempol kepada Hakim Ketua, sikapnya tegas, tenang dan
tidak terpengaruh oleh kondisi ruang sidang yang "hahgat".



Sidang hari ini khusus untuk mendengar penuturan para saksi. Giliran
pertama yang dipanggil, Anick menyusul Saidiman. Pertanyaan pertama
diajukan oleh Jaksa Penuntut. Kesan saya, para jaksa penuntut tidak
bekerja optimal seperti biasanya. Entahlah, apa mereka itu mengalami
tekanan psikis akibat ulah massa FPI di ruang sidang atau sedang dalam
kondisi yang tidak fit untuk bersidang. Sebaliknya, Tim Pembela justru
sangat bersemangat. Mereka dengan lantang mencecar para saksi dengan
pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan, membuat para saksi agak
kewalahan. Untunglah, keduanya tidak terpedaya dan menjawab pertanyaan
dengan tegas dan tenang. Hanya dalam pertanyaan yang bersifat teknis,
seperti berapa banyak massa AKKBB atau berapa banyak massa FPI para
saksi tidak memberikan jawaban yang pasti.



Sebagai orang awam dalam etika persidangan, saya mempertanyakan
kebolehan mengungkapkan kalimat-kalimat berikut: Anda Muslimkan?
;Jangan bohong ya, tadi Anda sudah disumpah secara Islam; Anda ini
pembohong, kalau Anda berada sekitar 20 meter dari massa FPI di Monas
pasti Anda sudah digebukin juga! Selain itu, suasana sidang masih juga
diselingi yel-yel Allahu Akbar dan kalimat agamis lainnya.



Lalu, juga sepanjang proses persidangan saya mendengarkan sejumlah
ungkapan menghujat saksi. Tentu saja saya tidak berusaha melihat orang
yang mengeluarkan ungkapan itu. Saya menyimak beberapa ungkapan,
seperti: "astagfirullah ini orang kafir"; "dasar kafir lho"; "beraninya
ngaku Islam"; "giliran di sumpah pake Qur'an"; "kamu pantas di neraka".



Paling tidak ada dua pelajaran berharga dari sidang ini. Pertama,
pertanyaan paling rinci terhadap saksi adalah soal motivasi yang
melatarbelakangi aksi di Monas. Sepertinya, ada upaya untuk
memutarbalikkan fakta bahwa itu adalah aksi membela Ahmadiyah. Setahu
saya tujuan satu-satunya aksi damai di Monas adalah memperingati hari
lahir Pancasila. Peringatan ini dilakukan demi memperkuat ikatan
kebangsaan dan keindonesiaan yang semula dirajut oleh para the Founding
Fathers dengan memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau dipikir
secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, tetapi sangat
bijaksana. Muncul pertanyaan mengapa tidak memilih ideologi Islam?
Bukankah sebagian besar para the Founding Fathers adalah tokoh-tokoh
Islam yang sangat dikenal? Jawabnya tegas, memilih agama sebagai
ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti
bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam, tidak
pernah tunggal. Pertanyaannya lalu tafsir mana akan dipedomani
pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Saya
memuji, betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih
Pancasila.



Pancasila mengajarkan agar pemerintah bersikap netral dan adil terhadap
semua penganut agama dan kepercayaan. Pemerintah tidak perlu mencampuri
urusan substansi ajaran setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup
menjamin agar setiap warga dapat mengekspressikan ajaran agama dan
kepercayaan masing-masing secara aman, nyaman dan bertanggung jawab.
Pemerintah tidak berhak mengakui mana agama yang resmi dan tidak resmi
atau agama yang diakui atau tidak diakui. Semua penganut agama memiliki
posisi setara di hadapan hukum dan perundang-undangan. Tidak ada
istilah mayoritas dan minoritas. Semua warga adalah pemilik sah negeri
ini. Karena itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku diskriminatif
terhadap kelompok agama minoritas, seperti penghayat kepercayaan,
pemeluk agama lokal, komunitas Ahmadiyah, Lia Eden, kelompok Kristen
dan sejumlah komunitas agama dan kepercayaan lainnya jelas bertentangan
dengan Pancasila.



Kedua, hal menarik dari massa FPI adalah sikap kepatuhan, kedisiplinan
dan loyalitas yang sangat kuat pada pimpinan. Dalam ruang sidang tadi,
saya mengamati setiap kali pimpinan mereka memberi aba-aba, walau hanya
dengan isyarat tangan, dengan serentak mereka beraksi. Misalnya, jika
diberi aba-aba takbir, serentak mereka takbir. Diberi aba-aba diam,
serentak mereka diam. Sungguh menakjubkan!! Jadi, mereka juga bisa
menjadi sangat disiplin. Sayangnya, disiplin itu bukan muncul karena
kesadaran kemanusiaan, melainkan karena diperintah oleh pimpinan.



Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat
dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoritarian dan agama
humanistik. Agama humanistik, memandang manusia dengan pandangan
positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang
penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia
dapat memilih agama yang diyakini benar. Manusia harus mengembangkan
daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya
membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta
menjaga kelestarian alam semesta.



Sebaliknya, unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan
diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan
sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar
belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama
otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti dan
serba-dependen. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan
kebebasan dan integritas diri sebagai individu dengan janji memperoleh
pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan. Ironisnya,
ketaatan kepada Tuhan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk
ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia
yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan pada Tuhan yang
sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung pada
pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian selalu
melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin
kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun
mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi atas nama Tuhan dan
atas nama agama. Mengerikan!.



Jakarta, 25 Agustus 2008


      

Kirim email ke