Telah
dimuat pada Majalah Mimbar Politik, edisi
16, 1-7 September 2009

 

Terorisme Agama

Oleh
Victor Silaen

 

    Tak lama
setelah terjadinya Bom Mega Kuningan II, 17 Juli lalu, Wakil Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat (AS) Jim Steinberg mengingatkan, kelompok teroris akan
terus menyerang kepentingan Barat di Indonesia. Disebutkannya, peledakan bom di
dua hotel di Jakarta
(JW Marriott dan Ritz Carlton) itu tidak akan menjadi serangan yang terakhir. 
Tapi,
dia memuji sikap Indonesia
dalam menangani terorisme. Hanya saja, menurut Steinberg, upaya itu tak akan
bisa seratus persen berhasil. 

 

    Melecehkan kemampuan Indonesia? Agaknya tidak,
sebab ini bukan soal mampu atau tidak. Melainkan soal komitmen total untuk
menggempur terorisme sampai ke akar-akarnya. Dan salah satu akar itu, dewasa
ini, adalah agama. Sedangkan akar-akar lainnya adalah kemiskinan dan
ketidakadilan. Namun keduanya hanya dapat menimbulkan energi destruktif yang
dahsyat di saat bergabung dengan agama. 



    Itulah terorisme agama: sebuah gerakan
yang bertujuan menebar ketakutan dan 
kepanikan luas dengan menjadikan agama sebagai basis ideologi yang
memberikan pembenaran sekaligus dukungan moral. Tapi, bukankah agama sejatinya
berorientasi perdamaian? Mengapa pula ia membutuhkan
kekerasan, yang membuatnya tampil sebagai “agama kekerasan” (violence 
religion)? Apa sebabnya perintah
suci ilahi tentang destruksi diterima sedemikian rupa oleh sebagian umat
beriman?

 

     Tak dapat disangkal, setiap agama memiliki
elemen-elemen keras (hard elements) dan elemen-elemen lunak (soft
elements). Karena itulah, dalam setiap agama, selalu saja ada kelompok yang
memahami agamanya secara kaku dan terlalu bersemangat, sehingga memunculkan
sikap-sikap fundamentalistik dan radikal yang cenderung pro-kekerasan. 
Karenanya,
tak jarang, kelompok agama yang bersangkutan sanggup melakukan aksi-aksi teror.

 

     Terkait itu ada beberapa hal yang penting
diperhatikan. Pertama, apa yang bisa menjadi “daya tarik” maupun “daya dorong” 
aksi-aksi
teror. Dalam banyak peristiwa terorisme di berbagai belahan dunia selama ini,
agamalah yang tercatat sebagai “daya tarik” dan “daya dorong” yang utama itu. 
Harus
diakui, agama mampu meniupkan badai yang amat dahsyat bagi praktik-praktik
terorisme, meskipun tanda-tanda terorisme agama itu bisa serupa dengan
ciri-ciri terorisme yang diembuskan oleh aksi-aksi para teroris yang semata
dimotivasi oleh harapan-harapan perolehan politik (political gain).
Namun, yang menarik di seputar terorisme agama adalah bahwa ia secara eksklusif
bersifat simbolik dan cara-caranya luar biasa dramatis. Pergelaran kekerasan
dibarengi dengan klaim justifikasi moral dan absolutisme yang amat kuat. 
Artinya,
yang menjadi tujuan utama mereka adalah menegakkan kebenaran ilahi -- menurut
versi dan tafsir mereka sendiri. 

 

    Jadi, jangan heran kalau mereka kebanyakan
adalah orang-orang yang oleh keluarga dan handai-taulannya dikenal baik dan
saleh. Melakukan kejahatan bukanlah tabiat, “dunia penuh kekerasan” pun bukan 
habitat
mereka. Aksi teror, bagi mereka, hanyalah keterpaksaan yang harus ditempuh demi
terwujudnya tatanan dunia atau negeri baru seperti yang senantiasa diimpikan.
Atas dasar itulah maka jatuhnya para korban dikarenakan aksi-aksi teror mereka
sebenarnya bukanlah didorong keinginan untuk membunuh. Melainkan, demi
menyampaikan pesan-pesan kepada penguasa atau kekuatan sekuler yang hendak
dilumpuhkan, bahwa mereka eksis dan sedang memperjuangkan sesuatu. Sedangkan
kepada masyarakat luas, mereka juga hendak mengumumkan bahwa para pembaharu dan
pejuang ilahi sudah muncul. Dunia yang penuh dosa ini akan berubah menjadi
dunia baru yang dipenuhi kedamaian dan keadilan. Maka agar tak berlama-lama
lagi, aksi-aksi nirkekerasan harus ditingggalkan demi memperoleh solusi yang
lebih kuat.

 

     Begitulah, justifikasi atas kekerasan
dalam gagasan-gagasan yang bernuansa agama membuat para aktifisnya sanggup
melakukan aksi-aksi bom bunuh diri dengan keyakinan bahwa mereka mengikuti
kebenaran ilahi. Mereka menganggap diri sebagai pembela akidah agama leluhur,
yang dianggap sedang terancam dan terhina oleh aspek-aspek kehidupan modern
yang sangat sekularistik.

 

     Kedua, perjuangan kelompok teroris agama
ini biasanya melibatkan beberapa generasi demi meraih puncak keberhasilan.
Jadi, mereka tak muncul tiba-tiba dan tak pula berjuang sendiri. Selalu ada
pihak-pihak yang siap memberi dukungan, baik di dalam maupun di luar negeri. 
Ketiga,
kelompok teroris agama biasanya juga merupakan kelompok-kelompok marjinal di
dalam masyarakat dan/atau yang teralienasi di tengah komunitas agama mereka
sendiri. Itulah sebabnya aksi kekerasan mereka kerap merupakan sebentuk upaya
untuk menyeimbangkan marjinalitas; sebagai suatu cara mengukuhkan status sosial
mereka di dalam masyarakat dan memperkuat identitas mereka di tengah komunitas 
agama.


 

     Inilah terorisme baru,
yang fenomena kemunculannya kian menguat setelah Amerika Serikat (AS) secara
resmi mengumumkan kebijakannya memerangi terorisme di seluruh dunia. Pasca
“911” yang meluluhlantakkan gedung World Trade Center (WTC), AS memang marah
besar kepada kaum teroris agama ini. Apalagi sebelumnya, 1993, gedung yang sama
itu sudah dibom untuk pertama kalinya. Saat itu, Ramzi
Yousef, si pelaku, membawa bom mobil yang kalau saja tak berhasil dicegah bisa
menumbangkan gedung kembar itu dan membunuh ribuan orang. Dua tahun kemudian,
teroris yang sama bermaksud meledakkan 12 pesawat penumpang Boeing 747 yang
sedang terbang di atas Samudera Pasifik. Untunglah, rencana gila itu bisa
digagalkan. 

 

     Menurut Kurt Campbell dan Michele Flournoy
dalam buku To Prevail: An American Strategy for the Campaign Againts
Terrorism (2003), terorisme baru sangat berbeda dengan terorisme
tradisional karena dilatarbelakangi masalah agama dan karakteristiknya muncul
dari penggunaan simbol-simbol dan bahasa agama. Misalnya saja pemimpin Al-Qaeda
Osama bin Laden yang mengeluarkan fatwa 1998 sebagai berikut: “All
those who believe in Allah and his prophet Muhammad must kill Americans
wherever they find them”. Upaya untuk mengusir militer AS dari Teluk
Persia
dijelaskan dalam bahasa agama sebagai “removing a blasphemy, a violation of
religious law”. 

 

    
Bagi Indonesia sekarang, sebuah pertanyaan penting harus dijawab:
bersediakah kita tak memberikan toleransi sedikit pun terhadap wacana-wacana
maupun aspirasi-aspirasi agama yang mendukung kekerasan dan para pelakunya? 
Bayangkan,
di negeri yang religius ini, jenazah Amrozi dkk., para teroris Bom Bali I itu,
disambut bak pahlawan oleh warga sekampungnya. Bahkan sementara dalam pelarian
karena dikejar-kejar polisi, Noordin M. Top, sang gembong teroris itu, masih
sempat-sempatnya menikah dengan beberapa perempuan dan punya anak pula. 
Pertengahan
Juni 2007, ketika polisi berhasil menangkap Abu Dujana dan Zarkasih, yang
diduga kuat terlibat jaringan teroris, Tim Pembela Muslim (TPM) justru mendesak
Polri untuk mencabut stigma Abu Dujana adalah teroris. Saat yang bersamaan
banyak pihak, termasuk di DPR, malah memprotes polisi karena menembak kaki Abu
Dujana di hadapan anak-anaknya yang masih kecil. Apakah polisi harus bersikap 
lembut-santun
terhadap seorang yang disangka kuat sebagai teroris kakap dan telah diintai
siang-malam dengan kesiagaan penuh? Apakah polisi harus menghalau anak-anak itu
dulu sebelum meringkus seorang panglima militer kelompok teroris? 

 

   
Benarlah apa yang dikatakan Kadiv Humas Mabes
Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto tak lama setelah Abu Dujana dilumpuhkan: bahwa
kita tak mungkin berdoa saja dalam upaya meringkus para teroris yang gemar
menebar ancaman terhadap keselamatan jiwa manusia. Jadi, jika memang beralasan,
kekerasan yang dilakukan polisi tidaklah dengan serta-merta dapat dianggap
salah. Apalagi polisi sejatinya memang alat negara di bidang keamanan yang sah
untuk melakukan cara-cara koersif terkait tugasnya. 

 

    Akhirnya, kritisisme
beragama haruslah dikembangkan terus-menerus demi mengusangkan kekerasan
sebagai modus perjuangan meraih cita-cita. Itu berarti, beragama
haruslah disertai dengan berakal yang cukup. Wawasan harus diperluas
terus-menerus, agar dengan begitu agama selalu dinamis di aras filosofis maupun
praksis. Dengan memadukan “agama-akal” di pelbagai aspek kehidupan sesehari,
niscayalah keberagamaan seluruh umat beragama selalu dapat membawa rahmat bagi
semua orang. 

 

* Dosen Fisipol UKI,
penstudi terorisme. 




      

Kirim email ke