· Krisostomus dalam bahasa Yunani “chrysostomos” berarti ‘mulut emas’. Ayah dari Krisostomus adalah seorang jendral dan ahli hukum, maka cara hidup Yohanes Krisostomus kiranya terpengaruh oleh ayahnya: ia dengan berani mewartakan apa yang baik dan menegor atau memberantas apa yang jelek atau buruk, tanpa pandang bulu. Kotbah-kotbahnya baik dan tepat secara pastoral maupun teologis, maka ia dinamai ‘mulut emas’. “Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya”, demikian sabda Yesus. Apa yang terjadi dalam dan dialami oleh Yohanes Krisostomus serta sabda Yesus ini kiranya baik menjadi permenungan bagi para orangtua maupun anak-anaknya. (1) Sebagai orangtua marilah menjadi teladan apa yang baik dalam hidup sehari- hari bagi anak-anak serta membiasakan anak-anak untuk senantiasa berbuat baik bagi sesamanya atau teman-temannya.. Untuk itu sebagai orangtua hendaknya sungguh ‘mendengarkan, merenungkan dan menghayati’ sabda-sabda Tuhan sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci serta aneka tatanan atau aturan hidup yang terkait dengan panggilan dan tugas perutusan sebagai orangtua, anggota masyarakat, orang beriman/beragama, dst.. (2) Sebagai anak-anak hendaknya hidup dan bertindak tidak memalukan atau mencemarkan nama orangtua maupun keluarga, melainkan hendaknya ‘mikul dhuwur, mendhem jero’ aneka macam nasihat, petuah atau saran orangtua. Tanda atau gejala bahwa sebagai anak ‘mikul dhuwur, mendhem jero’ orangtua antara lain sebagai anak kita tumbuh berkembang menjadi orang yang ‘melebihi’ apa yang dimiliki oleh orangtua. Sebagai contoh kiranya kita dapat mengamati dan mencermati para tokoh/pemimpin hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun beragama dan menggereja: cukup banyak tokoh yang berhasil dan terkenal pengabdian dan pelayanannya berasal dari keluarga-keluarga miskin, sederhana dan baik seperti guru, petani, buruh, dst..
· “Aku berbicara kepadamu sebagai orang-orang yang bijaksana. Pertimbangkanlah sendiri apa yang aku katakan! Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10:15-17). Kutipan ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi bagi kita semua. “Kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu”, demikian kata-kata Paulus yang kiranya baik menjadi pedoman atau tuntunan hidup kita. Membangun, memperdalam dan menyebarluakan persaudaraan atau persahabatan sejati itulah yang menjadi panggilan dan tugas perutusan kita semua. Mencermati masih maraknya kebencian, balas dendam, taburan, kekerasan dst.. yang masih marak dalam kehidupan bersama masa kini kiranya persahabatan atau persaudaraan sejati sungguh mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan. Rasanya hal ini pertama-tama dan terutama harus menjadi nyata dalam hidup berkeluarga: persaudaraan atau persahabatan sejati yang telah terjadi dan dinikmati di dalam keluarga akan menjadi modal atau kekuatan untuk membangun, memperdalam dan menyebarluaskan persaudaraan/persahabatan sejati dalam masyarakat, tempat kerja atau aneka pergaulan hidup bersama. Keluarga adalah dasar atau basis hidup beriman, beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jakarta, 13 September 2008