http://www.suarapembaruan.com/News/2008/09/15/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Tolak RUU Anti-Pornografi [JAKARTA] Pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Anti-Pornografi yang sedang digodok oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR masih menuai kontroversi dari berbagai pihak. Setara Institute, salah satunya, secara tegas menolak pengesahan RUU tersebut yang rencananya akan disahkan pada 23 September mendatang. Institusi yang diketuai oleh Hendardi ini menilai, materi dari muatan RUU tersebut bersifat diskriminatif terhadap semua kalangan masyarakat. Materi muatan RUU Anti-Pornografi dibangun di atas dasar pandangan yang diskriminatif terhadap perempuan, karena meletakkan perempuan sebagai objek kriminalisasi. "Rumusan semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam konstitusi, yakni semua orang sama di hadapan hukum. Juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, baik yang tercantum di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, maupun Kovenan Sipil Politik, yang semuanya telah menjadi bagian hukum Indonesia," ujar Hendardi, kepada SP, di Jakarta, Senin (15/9). Kehadiran RUU Anti-Pornografi, kata Hendardi, juga dinilai merupakan instrumen politisasi identitas perempuan dan politisasi agama untuk kepentingan jangka pendek jelang Pemilu 2009, karena sesungguhnya hukum Indonesia telah menyediakan sejumlah UU yang mengatur perihal larangan pornografi, seperti UU Penyiaran, UU Pers, KUHP, dan UU Perfilman. Menurutnya, RUU Anti-Pornografi merupakan bentuk pengingkaran terhadap pluralitas warga negara karena telah menggiring pada upaya totalisasi perilaku dan sikap dalam wadah yang tunggal atas nama agama. Harus diakui, RUU ini merupakan desakan kelompok-kelompok tertentu yang menghendaki penyeragaman atas nama kepatuhan pada ajaran agama, yang sebenarnya tidak semua umat menyepakatinya. "RUU Anti-Pornografi akan menjadi pembenaran kelompok-kelompok yang selama ini melakukan penghakiman massa terhadap berbagai objek yang secara sepihak dianggap bertentangan dengan ajaran keagamaan," tuturnya. Hendardi juga mengingatkan kepada DPR dan pemerintah bahwa, semestinya mereka belajar dari pengalaman pembatalan sejumlah materi undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akibat muatannya yang bertentangan dengan konstitusi. Pola kerja yang tanpa menengok pengalaman masa lalu mengindikasikan adanya politisasi legislasi yang kuat untuk kepentingan kelompok tertentu dan hanya menghabiskan anggaran negara. "Oleh karena itu, Setara Institute mendesak kepada Presiden, pimpinan partai politik, dan anggota DPR, untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Anti-Pornografi tersebut," ucapnya. Setara Institute juga mendesak pemerintah dan DPR untuk lebih baik memperkuat fungsi dan peran komisi-komisi negara maupun badan-badan lainnya, seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Lembaga Sensor Film, dan lain-lain untuk menjalankan regulasi distribusi materi-materi pornografi, dibandingkan membuat produk hukum baru yang pincang secara yuridis, filosofis, dan sosiologis. Masyarakat Bali Sementara itu, Komponen Rakyat Bali (KRB) dengan tegas menolak diberlakukannya UU Anti-Pornografi. Dalam pertemuan yang dipimpin Koordinator KKB Drs IG Ngurah Hartha, di Denpasar, Sabtu (13/9), yang dihadiri unsur budayawan, seniman, ahli hukum dan sosial, politisi, tokoh anak dan perempuan itu, KRB menelurkan deklarasi yang pada intinya menolak UU Anti-Pornografi diberlakukan di negeri ini. Selain diskriminatif, kata Ngurah Hartha, UU Anti-Pornografi sangat tidak berpihak pada sejumlah karya seni budaya yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah. Mengingat itu, KRB akan terus melakukan upaya keras menolak UU tersebut, antara lain melalui jalur hukum, yakni diajukannya "judicial review", jika RUU Anti-Pornografi yang kini masih di tangan DPR itu disahkan. "Kami akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Kami juga akan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, KRB juga akan kembali menggelar unjuk rasa sebagai bagian dari rangkaian kegiatan penolakan atas UU tersebut," ujarnya. Pakar Hukum Dewa Gde Palguna SH MHum menyatakan bahwa keinginan mewujudkan UU Anti-Pornografi dirasakan sangat mengada-ada. "Dengan dibahasnya kembali rancangan UU tersebut, kan menjadi timbul pertanyaan, apakah undang-undang yang ada seperti KUHP, tidak cukup?" kata mantan hakim pada Mahkamah Konstitusi (MK) ini. [Ant/DMF/S-26] Last modified: 15/9/08