Sebuah proposal yang memikat. 
 
salam,
bhirawa_m

--- Pada Kam, 11/9/08, daengfattah <[EMAIL PROTECTED]> menulis:

Dari: daengfattah <[EMAIL PROTECTED]>
Topik: [] marina
Kepada: [EMAIL PROTECTED]
Tanggal: Kamis, 11 September, 2008, 12:48 PM








Tampaknya ada persepsi pada orang religius kalau ateis percaya semua
orang religius itu bodoh, ignorant atau berkhayal. Darimana persepsi
ini datang masih misteri ��" karena sedikitnya wakil ateis di media,
hampir pasti ia tidak datang dari apa yang kita katakan. Walau
demikian, tidak perlu ditanyakan lagi kalau banyak teis memandang
pernyataan “Hallo, saya seorang ateis” sebagai sebuah hinaan pribadi.
Apa alasannya?
Jawaban paling jelas, dan yang saya rasa banyak orang religius sendiri
akan berikan, adalah kalau ateisme adalah sebuah penghinaan buat orang
beriman karena ia menolak prinsip paling dasar dari keimanan dan
mengatakannya salah. Jawaban ini tampak sederhana dan logis, tapi saya
yakin bukan itu jawabannya yang benar.
Untuk satu hal, bila ini benar, maka orang beriman akan sama merasa
diserang pada pertemuan dengan orang beriman lainnya yang keyakinannya
berbeda. Namun ini bukan kasusnya. Walau masyarakat islami kita
meremehkan ateis, tidak sebanding dengan pandangan mereka pada
kelompok agama lain yang sama menolak keyakinan mereka, seperti Buddha
atau hindu, yang sama saja dengan ateis yang menolak klaim islam
mengenai sifat hidup sesudah mati, kenabian Muhammad, ritual shalat,
dan aturan yang diberikan Allah untuk hidup. Tidak pula ada orang
islam yang tampaknya sama tertantangnya oleh yahudi dan Kristen yang
menolak bagian paling mendasar dari seluruh ke islaman, kenabian
Muhammad, juga mengenai al quran. Bahkan kelompok dalam islam tidak
setuju dengan daerah-daerah tertentu dalam doktrin, seperti apakah ada
rasul setelah Muhammad, apakah hadist mesti dipakai sebagai dasar
hukum selain quran, apakah Negara demokrasi bertentangan atau tidak
dengan islam. Namun walaupun perbedaan besar mereka, secara umum tidak
satupun kelompok ini tampak menilai kelompok lain sebagai lawan
pribadi. Perilaku tidak percaya dan tidak senang tampak terkonsentrasi
pada ateis. 
Anda juga bisa berpendapat kalau tidak adanya keyakinan pada tuhan
dalam diri ateis yang mendorong pandangan dari teis. Gagasan ini tidak
memiliki aspek menjelaskan kenapa teis biasanya tidak melihat jenis
teis lainnya dengan kecurigaan yang sama, namun saya rasa ia berada
pada ranah yang sama. Kembali, apa yang mungkin artinya dengan
memisalkan dua teis dari tradisi berbeda “keduanya percaya adanya
tuhan” sementara perbedaan mereka ada pada semua karakter signifikan
dari tuhan mereka? Apakah brahma, siwa dan wisnu sama halnya dengan
trinitas Kristen? Apakah tuhan-tuhan jahat dan baik Zoroaster atau
pandangan Buddha kalau tuhan adalah mahluk tak berhingga yang juga
mematuhi hukum karba sama seperti manusia, sebanding dengan tuhan maha
kuasanya monoteisme? Bagaimana dengan pandangan agama kalau tuhan itu
gaya kosmis non personal dibandingkan dengan tuhan yang antropomorfik
dan personal?
Saya mengajukan proposal lain, yang saya yakin menjelaskan faktanya
lebih meyakinkan. Ketidaksenangan religius pada ateis bukan karena
ateis menolak tuhan ��" itu karena kita menolak agama.
Walau mereka memiliki beragam hukum, semua agama sama dalam hal
memberikan naluri kemasyarakatan, kepemilikan dan identitas: sebuah
struktur pendukung social, katakanlah demikian. Ateis tidak memiliki
perbandingan, dan ini dengan mudah dijelaskan sebagai ��"faktanya, ialah
��" sebuah pernyataan kalau orang tidak memerlukan struktur agama.
Inilah yang membuat marah dan kesal orang beriman yang bertemu ateis.
Mereka menghabiskan begitu banyak waktu dalam hidup mereka untuk
mendukung struktur, dan identitas mereka sehingga terikat secara intim
dengannya, lalu bertemu orang yang tidak memerlukan hal itu sama
sekali secara alami mengancam mereka, karena itu menunjukkan kalau
semua usaha mereka tidak perlu, bahkan sia-sia. Dan dari situ, itu
hanya langkah kecil menuju kesimpulan kalau ateis pasti memikirkan
mereka memiliki kekurangan dalam kecerdasan sehingga tidak dapat
melihat cara yang lebih baik, bila ada. Dalam pengalaman saya, bahkan
orang yang tidak perduli dengan dogma atau doktrin, yang tidak setuju
dengan ulamanya dalam berbagai hal, kadang bereaksi dengan marah
mendengar anjuran kalau mereka meninggalkan agama mereka, karena
mereka telah dibesarkan dan berpartisipasi di dalamnya dalam waktu
lama sehingga menjadi bagian dari bagaimana mereka melihat diri mereka
sendiri.
Hipotesis ini menjelaskan mengapa orang beriman pada umumnya tidak
merasa diserang oleh keberadaan orang beriman lainnya: bahkan kalau
kedua kelompok teis ini berbeda secara drastic dalam keyakinan actual
mereka, masing-masing dapat melihat kalau kelompok lain memberikan
anggotanya struktur social yang sama dengan apa yang diberikan agama
mereka. Dengan ini, ini adalah afirmasi kalau menjadi anggota kelompok
religius adalah normal dan dibutuhkan dan itulah bagaimana manusia
hidup, dan berarti menjamin. Namun keberadaan ateis mengancam untuk
meruntuhkan kesepakatan akbar ini seluruhnya (dan agama merupakan
kesepakatan yang sangat akbar), dan tidak mengherankan kalau teis
tidak mempercayai dan takut dengan kita. Mereka terserang dan marah
tidak karena apa yang kita katakan atau lakukan, tapi apa yang kita
wakili.
Apakah mungkin untuk merubah reaksi ini? Pasti, bila ateis mau
didengar, kita harus memperbaiki citra public kita. Namun bagaimana
kita melakukan itu bila persepsi negative pada kita berakar bukan dari
perbuatan kita tapi dari keberadaan dasar kita?
Untungnya, solusi pada dilemma ini adalah sama dengan solusi pada
banyak isu lain yang dihadapi ateis: berorganisasi. Hanya karena ateis
menolak struktur social agama tidak berarti kalau kita tidak memiliki
kebutuhan untuk berhubungan dengan yang lain. Tidak ada orang, bahkan
ateis sekalipun, yang terisolasi. Kita menolak agama karena nilai yang
lebih tinggi, pencarian pribadi kita pada kebenaran, membuat kita
terpisah. Namun sejauh ini, walau banyak dari kita terpisah dari
agama, kita tidak mengambil langkah yang jelas untuk berdiri bersama
dengan yang lain untuk demikian. Kita bisa dan harus melakukan ini.
Tidak hanya karena itu akan memperkuat suara individu, ia juga akan
memperbaiki citra kita dimata masyarakat umum yang melihat kita
sebagai orang yang aneh dan berbahaya.
Saya tidak menyarankan kita membentuk semacam “ikatan da’I ateis
Indonesia” yang meniru suara dan gaya organisasi agama tanpa
muatannya. Itu tampak bagi saya konyol dan tidak ada manfaatnya,
pendapat yang saya yakin bukan hanya saya miliki sendiri. Namun
sebagai tambahan selain organisasi politik, saya tidak berpikir kalau
adalah hal buruk bagi ateis untuk mencapai tingkat lebih tinggi dari
organisasi social pula (dan tentu saja keduanya sangat berhubungan) .
Kenapa tidak ada lebih banyak kelompok ateis yang dapat mengorganisasi
kunjungan ke museum atau kuliah sains, perkemahan dan kegiatan lainnya
yang berharga? Ada seluruh dunia untuk diketahui dan dialami, dan
ateis punya sejuta alasan untuk mulai mereguk kesenangan di dunia
dalam kebersamaan. Dan semakin kita merasa hidup kita ceria dan
berharga, semakin cenderung orang akan melihat ini dan ingin bergabung
dengan kita!

Silakan rekan ateis memberikan ide mengenai organisasi apa yang dapat
kita buat saat ini, dan bagaimana pengaturannya. Saya pribadi
menganjukan nama “MARINA: Masyarakat Rasional Indonesia”. Bagaimana?

 














      
___________________________________________________________________________
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang Anda! Kunjungi 
Yahoo! Answers saat ini juga di http://id.answers.yahoo.com/

Kirim email ke