Re: [zamanku] Tuhan itu hasil ciptaan Otak?
Pendapat saya agama dan ketuhanan sudah lama mati atau rapuh sejak Friedrich Wilhelm Nietzsche mengemukakannya dalam bukunya Also sprach Zarathustra... Manusialah yang menciptakan tuhan, karena dimasa peradaban manusia masih primitif mereka membutuhkan sesuatu yang dapat mengatur mereka yang kita kenal sekarang sebagai norma hukum. KAlau yang dahulu dimaksudkan dengan dosa sekarang adalah delik atau pelanggaran hukum. Sayapun terus terang sudah tidak percaya lagi dengan yang namanya agama institusional karena saya hanya mempercayai hukum negara (sebagai orang hukum saya hanya mempercayai kebaikan dan keburukan - kalau baik ya disanjung kalau buruk disidang atau dihukum). Peraturan-peraturan agama adalah peraturan-peraturan yang saya anggap sedikit beraliran dongeng dan rekayasa untuk itu saya pribadi tidak bisa percaya lagi akan hal itu. Maksud saya mengatakan bahwa seseorang akan masuk neraka kalau berbuat dosa atau kesalahan besar adalah hal yang kekanak-kanakan dan justru tidak mendidik bagi yang berbuat salah - kalau bebruat salah maka didunia inilah hukumannya melalui peradilan yang seadil-adilnya. Seperti kasus yang sekarang ini sedang terjadi di Saudi Arabia membuat saya tidak tenang dan kesal karena alangkah bodohnya manusia moderen saat ini masih percaya terhadap tukang sihir. Musuh-musuh negara di abad pertengahan di Eropapun dahulu dibakar hidup-hidup oleh dewan inquisitor gereja Katolik dengan tuduhan tukang sihir. Apakah benar Saudi Arabia percaya dengan tuduhan yang berbau dongeng 1001 malam itu? ataukah beduin-beduin tuan minyak itu betul-betul percaya tahayul? Kalau mereka percaya tahayul alangkah malang nasib mereka. Saya percaya sekali bahwa agama akan mati dengan berkembangnya sainsperlahan tapi pasti. Lihat saja buktinya sangat banyak misalnya bagaimana bangsa2 Viking di Eropa dimasa lalu percaya kepada Dewa Odin dan dewa2 lainnya...dan sekarang buktinya semua itu hanya tinggal sekedar mytus atau juga Zeus, Europa dll juga telah hilang dari pandangan bangsa Eropa dan menjadi sekedar mytus belaka. Manusia kehidupannya berkembang kedepan dan bukan kebelakang. Kristen yang dahulunya ekspansif dengan templarnya ke wilayah2 arab sekarang sudah tenang dan sayapun percaya bahwa Islampun akan demikian dalam 400 tahun kedepan. Sering saya tersenyum membaca dibeberapa milis dimana para pemeluk agama Islam menyerukan anti globalisasi...tetapimereka menyerukannya dengan menggunakan internet yang nyata-nyata merupakan alat globalisasi. Dan kalaupun mereka tahu bahwa banyak sekali atau hampir semua provider2 internet menggunakan fiber kabel internet buatan israel. Apakah hal ini tidak menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan? terutama bagi mereka yang menyerukan anti globalisasi itu? Sejak kecil walaupun saya lahir dari keluarga yang theis saya tidak mempercayai akan keberadaan sesuatu diatas saya selain langit dan tata surya namun begitu saya menghargai dan toleransi kepada yang percaya untuk itu sekali lagi untuk pertanyaan mang Ucup..ya saya percaya bahwa agama akan mati oleh sains dan digantikan oleh universalitas yang akan mendamaikan dunia ini dari konflik dll...hal ini sudah diprediksikan oleh Gene Roddenberry dalam serial Star Treknya. salam Teddy 2010/3/7 MANG UCUP mang.u...@gmail.com Pertanyaan: “Apakah Tuhan yang menciptakan Otak ataukah Otak yang menciptakan Tuhan?” Filsuf Perancis Rene Descrates (1596 -1650) yang mendapatkan julukan sebagai Penemu Fisalfat Modern berpendapat: “Aku berpikir, maka aku ada”, dalam bahasa Latin “Cogito ergo sum” atau dalam bahasa Perncis “Je pense donc je suis”. Berdasarkan kesimpulan tersebut saya juga bisa menyatakan: “Tuhan itu ada, karena aku berpikir, bahwa Tuhan itu ada”. Memang pikiran itu hanyalah salah satu aktivitas dari fisik otak, tetapi cobalah renungkan arti dari kalimat ini: “Aku menetapkan PIKIRANKU untuk membeli sepeda” (I made up my MIND to buy a bike). Orang tidak akan berkata: “Aku menetapkan OTAKKU untuk membeli sebuah sepeda” (I made up my BRAIN to buy a bike). Jadi kesimpulannya pikiran inilah yang mengendalikan otak (mind over matter) atau secara tidak langsung terbuktikan, bahwa Tuhan itu sebenarnya adalah hasil ciptaan dari pikiran kita. Bahkan menurut Dean Hamer (Kepala Struktur Gen di U.S. National Cancer Institute) dalam bukunya “The God Gene” menyatakan, bahwa ia telah berhasil menemukan Tuhan di dalam gen manusia atau ranah Tuhan atau saklar Tuhan yang ada di dalam otak manusia. Jadi ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Maththew Alper dalam bukunya “The God Part of the Brain” jadi kita tidak perlu mencari Tuhan di surga, karena Tuhan itu sebenarnya hanya bersemayan dan berada di dalam otak kita saja. Pendapat Hamer ini juga didukung oleh Robert Thurman profesor studi agama Buddha yang berpendapat bahwa penemuan itu memperkuat salah satu konsep Buddha yang populer, bahwa manusia itu mewarisi gen spiritualitas dari inkarnasi kita yang terdahulu. Menurut Alper dalam bukunya
[zamanku] Tuhan itu hasil ciptaan Otak?
Pertanyaan: “Apakah Tuhan yang menciptakan Otak ataukah Otak yang menciptakan Tuhan?” Filsuf Perancis Rene Descrates (1596 -1650) yang mendapatkan julukan sebagai Penemu Fisalfat Modern berpendapat: “Aku berpikir, maka aku ada”, dalam bahasa Latin “Cogito ergo sum” atau dalam bahasa Perncis “Je pense donc je suis”. Berdasarkan kesimpulan tersebut saya juga bisa menyatakan: “Tuhan itu ada, karena aku berpikir, bahwa Tuhan itu ada”. Memang pikiran itu hanyalah salah satu aktivitas dari fisik otak, tetapi cobalah renungkan arti dari kalimat ini: “Aku menetapkan PIKIRANKU untuk membeli sepeda” (I made up my MIND to buy a bike). Orang tidak akan berkata: “Aku menetapkan OTAKKU untuk membeli sebuah sepeda” (I made up my BRAIN to buy a bike). Jadi kesimpulannya pikiran inilah yang mengendalikan otak (mind over matter) atau secara tidak langsung terbuktikan, bahwa Tuhan itu sebenarnya adalah hasil ciptaan dari pikiran kita. Bahkan menurut Dean Hamer (Kepala Struktur Gen di U.S. National Cancer Institute) dalam bukunya “The God Gene” menyatakan, bahwa ia telah berhasil menemukan Tuhan di dalam gen manusia atau ranah Tuhan atau saklar Tuhan yang ada di dalam otak manusia. Jadi ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Maththew Alper dalam bukunya “The God Part of the Brain” jadi kita tidak perlu mencari Tuhan di surga, karena Tuhan itu sebenarnya hanya bersemayan dan berada di dalam otak kita saja. Pendapat Hamer ini juga didukung oleh Robert Thurman profesor studi agama Buddha yang berpendapat bahwa penemuan itu memperkuat salah satu konsep Buddha yang populer, bahwa manusia itu mewarisi gen spiritualitas dari inkarnasi kita yang terdahulu. Menurut Alper dalam bukunya “The God Part of the Brain”, bahwa manusia itu secara halus telah disetel atau digiring sedemikian rupa untuk berpaling pada suatu realitas spiritual dan untuk mempercayai kuasa-kuasa yang melampaui keterbatasan dari realita fisik kita. Hal ini bisa terjadi karena instink yang diwariskan secara genetika. Misalnya karena adanya perasaan takut mati sehingga secara alami menimbulkan sebuah insting bagi keyakinan religius dalam diri manusia perdana. Untuk mengatasi rasa gelisah dan takut mati inilah otak besar kita mencari jalan keluar bagaimana caranya agar mampu mempertahankan kehidupan setelah kematian. Dari situlah awal timbulnya pikiran manusia untuk menciptakan Sang Tuhan. Disamping itu, karena adanya rasa takut inilah juga yang telah menimbulkan kepercayaan dalam seperangkat mekanisme di dalam otak manusia, sehingga kita yakin dan tanggap akan adanya doa kesembuhan, sehingga akhirnya menimbulkan plasebo efek bagi sang pasien. Mungkin sudah tiba saatnya dimana para ahli memperdalam dan mempelajari mengenai disiplin ilmu anyar – suatu teologi genetika (Genotheology) yang baru untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut diatas. Majalah Time dalam edisi Jumat Agung (8 April 1966) memuat artikel dengan judul “Is God Dead?” dimana mereka memprediksikan, bahwa agama akhirnya akan mati dibunuh oleh Sains. Bagaimana pendapat Anda? Mang Ucup Email: mang.ucupatgmail.com Homepage: www.mangucup.org
[zamanku] Tuhan itu hasil ciptaan Otak? - Bag. 2
Filsuf dan Matematikawan Perancis, Rene Descartes berkesimpulan untuk mencari kebenaran sejati harus selalu dimulai dengan cara meragukan apa saja; meragukan yang dikatakan gurunya, meragukan kepercayaan, bahkan meragukan eksistensinya dirinya sendiri. Pokoknya, meragukan segala-galanya. Maka dari itulah muncul Proposisi: “Ketika aku berpikir, maka aku ada” –Cogito Ergo Sum. Mang Ucup pribadi tidak sepaham dengan pandangan Descartes, cobalah renungkan oleh Anda, bisakan Anda memulai suatu usaha dengan penuh keraguan. Siapapun juga tidak akan mau melakukan investasi entah dalam bentuk apapun juga apabila ia meragukan akan hasilnya. Manusia bisa menciptakan kapal terbang, bahkan sampai bisa meraih bulan, bukannya diawali dengan keraguan melainkan berdasarkan kepercayaan akan keberhasilannya. Begitu juga Martin Luther King Jr, ia memulai gerakannya dimana ia percaya dan yakin bisa mewujukan impiannya: “I Have A Dream!” Tanpa adanya kepercayaan ini; tidak mungkin ia akan bisa berhasil. Pandangan tersebut diatas sesuai dengan kredo dari Anselmus, Uskup Agung Canterbury (1033 – 1109) dimana ia menyatakan: “Saya percaya agar dapat mengerti - Credo ut intelligum” (Believe than understand). Melalui pernyataan ia ingin menganjurkan bagi mereka yang ingin mencari kebenaran (baca Allah) harus diawali dengan beriman dahulu, jadi bukanlah sebaliknya seperti Decrates. Percaya itu menjadi kunci utama, maka seluruh kepercayaan itu akan membangun seluruh pengertian yang sejati. Tapi rasanya sukar untuk bisa percaya akan keberadaanNya Allah yang tidak pernah menampakan diri-Nya. Bahkan di tahap awal Masa Aufklärung (Masa Pencerahan) Immanuel Kant sendiri pernah menyatakan, bahwa Allah tidak memiliki tempat dalam lingkungan rasio. Walaupun demikian ia mengakui adalah suatu hal yang tidak mungkin bagi Allah sehingga bisa masuk dalam kategori rasio kita. Sebab pada saat dimana Dia membatasi diri masuk kategori terbatas, atribut ke-TAK-TERBATAS-an-Nya otomatis terlucuti alias ke-illahi-an-Nya terlukai. Jadi jelas ini tidak mungkin, bagaimana rasio manusia yang terbatas bisa mengenal Allah yang tak terbatas. Seorang ahli bedah bisa mengetahui semua bagian otak manusia, tetapi hingga kapanpun juga ia tidak akan pernah bisa mengetahui impian pasiennya. Bisakah Anda percaya, bahwa walaupun otak sudah mati, kenyataannya pikiran orang itu masih tetap bisa berjalan terus? Bahkan hal ini telah dibuktikan secara sains oleh Dr Levi-Montalcini pemenang hadiah Nobel yang bekerja di EBRI (European Brain Research Institute) – Roma. Ia pernah melakukan sebuah studi prospektif dimana ia mewawancarai lebih dari seratus orang yang pernah mengalami mati suri (Pengalaman Dekat-Ajal – Near Death Experience). Jelas seorang yang sudah benar-benar dinyatakan mati klinis, seharusnya tidak bisa melihat, mendengar ataupun berpikir apapun juga, karena otaknya sudah mati secara klinis. Orang baru dinyatakan mati klinis; apabila jantungnya berhenti, gelombang otak EEG-nya menjadi datar total. Batang otak dan belahan kiri-kanan korteks serebral menjadi tidak responsif, lalu suhu tubuh turun menjadi dingin 16 C yang biasanya sekitar 36,6 C. Namum 18% dari sang pasien yang diwawancarai melaporkan, bahwa kenyatannya mereka masih bisa mengingat dengan baik mengenai hal-hal apa saja yang mereka lihat dan dengar selama mereka mati klinis. Dan pernyataan mereka itu benar semua. Dari sinilah terbuktikan, bahwa manusia itu memiliki jiwa yang tidak pernah bisa dijelaskan secara rasio maupun sains. Mang Ucup Email: mang.u...@gmail.com Homepage: www.mangucup.org