Filsuf dan Matematikawan Perancis, Rene Descartes berkesimpulan untuk
mencari kebenaran sejati harus selalu dimulai dengan cara meragukan apa
saja; meragukan yang dikatakan gurunya, meragukan kepercayaan, bahkan
meragukan eksistensinya dirinya sendiri. Pokoknya, meragukan segala-galanya.
Maka dari itulah muncul Proposisi: “Ketika aku berpikir, maka aku ada”
–Cogito Ergo Sum.

Mang Ucup pribadi tidak sepaham dengan pandangan Descartes, cobalah
renungkan oleh Anda, bisakan Anda memulai suatu usaha dengan penuh keraguan.
Siapapun juga tidak akan mau melakukan investasi entah dalam bentuk apapun
juga apabila ia meragukan akan hasilnya.

Manusia bisa menciptakan kapal terbang, bahkan sampai bisa meraih bulan,
bukannya diawali dengan keraguan melainkan berdasarkan kepercayaan akan
keberhasilannya. Begitu juga Martin Luther King Jr, ia memulai gerakannya
dimana ia percaya dan yakin bisa mewujukan impiannya: “I Have A Dream!”
Tanpa adanya kepercayaan ini; tidak mungkin ia akan bisa berhasil.

Pandangan tersebut diatas sesuai dengan kredo dari Anselmus, Uskup Agung
Canterbury (1033 – 1109) dimana ia menyatakan: “Saya percaya agar dapat
mengerti - Credo ut intelligum” (Believe than understand). Melalui
pernyataan ia ingin menganjurkan bagi mereka yang ingin mencari kebenaran
(baca Allah) harus diawali dengan beriman dahulu, jadi bukanlah sebaliknya
seperti Decrates. Percaya itu menjadi kunci utama, maka seluruh kepercayaan
itu akan membangun seluruh pengertian yang sejati.

Tapi rasanya sukar untuk bisa percaya akan keberadaanNya Allah yang tidak
pernah menampakan diri-Nya. Bahkan di tahap awal Masa Aufklärung (Masa
Pencerahan) Immanuel Kant sendiri pernah menyatakan, bahwa Allah tidak
memiliki tempat dalam lingkungan rasio. Walaupun demikian ia mengakui adalah
suatu hal yang tidak mungkin bagi Allah sehingga bisa masuk dalam kategori
rasio kita. Sebab pada saat dimana Dia "membatasi" diri masuk kategori
terbatas, atribut ke-TAK-TERBATAS-an-Nya otomatis terlucuti alias
ke-illahi-an-Nya terlukai. Jadi jelas ini tidak mungkin, bagaimana rasio
manusia yang terbatas bisa mengenal Allah yang tak terbatas.

Seorang ahli bedah bisa mengetahui semua bagian otak manusia, tetapi hingga
kapanpun juga ia tidak akan pernah bisa mengetahui impian pasiennya.

Bisakah Anda percaya, bahwa walaupun otak sudah mati, kenyataannya pikiran
orang itu masih tetap bisa berjalan terus? Bahkan hal ini telah dibuktikan
secara sains oleh Dr Levi-Montalcini pemenang hadiah Nobel yang bekerja di
EBRI (European Brain Research Institute) – Roma. Ia pernah melakukan sebuah
studi prospektif dimana ia mewawancarai lebih dari seratus orang yang pernah
mengalami mati suri (Pengalaman Dekat-Ajal – Near Death Experience).

Jelas seorang yang sudah benar-benar dinyatakan mati klinis, seharusnya
tidak bisa melihat, mendengar ataupun berpikir apapun juga, karena otaknya
sudah mati secara klinis. Orang baru dinyatakan mati klinis; apabila
jantungnya berhenti, gelombang otak EEG-nya menjadi datar total. Batang otak
dan belahan kiri-kanan korteks serebral menjadi tidak responsif, lalu suhu
tubuh turun menjadi dingin 16 C yang biasanya sekitar 36,6 C.

Namum 18% dari sang pasien yang diwawancarai melaporkan, bahwa kenyatannya
mereka masih bisa mengingat dengan baik mengenai hal-hal apa saja yang
mereka lihat dan dengar selama mereka mati klinis. Dan pernyataan mereka itu
benar semua. Dari sinilah terbuktikan, bahwa manusia itu memiliki jiwa yang
tidak pernah bisa dijelaskan secara rasio maupun sains.

Mang Ucup
Email: mang.u...@gmail.com
Homepage: www.mangucup.org

Kirim email ke