http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/818/52/

Ultah ke-4 the WAHID Institute
Islam Kebelet dan Islam Ngeden



Jakarta, wahidinstitute.org
Direktur the WAHID Institute Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid
menyatakan, the WAHID Institute didirikan empat tahun silam guna menyebarkan
faham Islam yang toleran dan damai. Agenda ini, antara lain, dilakukan
melalui riset, diskusi, dan publikasi baik melalui website, penerbitan
maupun kerjasama dengan media massa.

"Kami ingin meluruskan pandangan yang mendominasi dunia bahwa Islam berwajah
garang."


Demikian dinyatakan Yenny Wahid saat memberi sambutan pada Ulang Tahun ke-4
the WAHID Institute di Kantor the WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No.
8 Matraman Jakarta, Senin (8/09/2008). Pada ultah bertema Sufisme Islam
untuk Perdamaian Dunia ini, tampak hadir juga pendiri the WAHID InstituteKH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua DPP PKB Ali Masykur Musa, ratusan pegiat
pluralisme agama dan toleransi dari berbagai lembaga, dan wartawan dari
berbagai media massa.

Selain itu, imbuh Yenny, pihaknya juga mulai mendorong masyarakat bawah
membentuk lembaga mikro ekonomi dan koperasi. "Ini untuk memastikan bahwa
hal mendasar yang harus menjadi hak semua orang, ekonomi yang adil, bisa
diterjemahkan dalam bentuk yang kongkrit. Kami juga mulai memberi beasiswa
untuk SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. al-Hamdulillah telah banyak
peminatnya," ujarnya. "Ini terobosan atau rintisan kami," sambungnya.

Dalam menyebarkan agendanya, kata Yenny, masih banyak tantangan yang
dihadapi lembaganya. Misalnya, pertama, masih terpusatnya sumber daya
ekonomi dan politik pada kekuatan tertentu saja, terutama di daerah. "Ini
kendala bagi kami untuk mendorong partisipasi lokal di daerah," terangnya.

Kedua,  makin lemahnya perhatian masyarakat pada keilmuan. Kebanyakan dari
mereka inginnya serba instan. Sehingga, mereka kurang perhatian pada riset
serius dan pencapaian melalui kerja keras. Ketiga, dimasukkannya agama ke
lingkup politik yang mengakibatkan banyak terjadi benturan di akar rumput.
"Kalalu pemimpin agama lebih peduli pada ambisi politik mereka, agama lalu
direduksi untuk kepentingan sesaat. Ini semua tantangan yang harus kita
perjuangkan," kata Yenny.

Untuk menghadapi berbagai tantangan ini, Yenny berharap bantuan dan
kerjasama dari semua pihak dan rekanan/jaringan. "Dengan kerjasama ini, kami
yakin bisa mewujudkan masyarakat yang kita citakan, yang cinta damai,
toleran dan menghargai kebhinekaan," ujarnya optimis.

Usai sambutan direktur, acara disambung dengan taushiyah oleh Pemimpin
Redaksi Majalah Sufi KH. Lukman Hakim. Dalam uraiannya, terkait tipe-tipe
gerakan Islam yang ada saat ini, KH. Lukman mengungkapkan adanya tipologi
orang Islam yang kebelet mau ke kamar kecil dan ngeden di kamar kecil. Tipe
yang pertama, dengan segala ketidaksabarannya menggedor-gedor pintu kamar
kecil karena sudah tidak tahan. "Ini Islam kebelet. Dengan modal sedikit
pengetahaun tentang Islam, segalanya harus segera selesai atas nama Islam,"
ujarnya.

Sedang tipe kedua, adalah orang Islam yang ketika sampai di dalam kamar
kecil lalu ngeden. Mereka memaksakan apapun atas nama Islam, tapi
sesungguhnya itu nafsu Islam. Para sufi, katanya, sering menganjurkan supaya
dalam melakukan sesuatu kita tidak ngeden alias jangan ingin cepet selesai
secara instan, termasuk juga dalam melakukan ritual keagamaan. Misalnya
berzikir masal dengan pakaian seragam, lalu Tuhan disuruh bekerja "ini" dan
"itu". "Ini seperti Islam ngeden. Jangan ngeden, nanti bisa ambiyen,"
katanya disambut tawa.

Selain keduanya, kata KH. Lukman, ada juga tipe umat Islam yang begitu
keluar dari kamar kecil lupa segalanya, terutama pada penjaga kamar
kecilnya, yaitu para kiai dan ulama pesantren. "Masalah kebangsaan ini
dijaga para kiai dan ulama di pesantren. Ternyata begitu selesai, ya selalu
dilupakan dan ditinggalkan. Kalau sudah kebelet dan sangat krisis, mereka
kembali lagi ke kamar kecil," ujarnya.

Terkait perdamaian, KH. Lukman menyatakan, ajaran tasawuf memiliki
nilai-nilai yang sangat emanative bagi seluruh proses kehidupan umat manusia
tanpa pandang bulu. Ini membuat tasawuf tak pernah membeda-bedakan orang
berdasarkan golongan atau agamanya. Semua sama di mata Tuhan dan semata
ketakwaanlah yang membedakan mereka.

Dikatakannya, upaya menciptakan perdamaian dunia membutuhkan tokoh besar
yang diibaratkannya manusia lautan. Kapal selam, mutiara, bangkai, dan
seluruh limbah di muka bumi mengalir ke lautan. Namun semua itu tak
mempengaruhi asinnya air laut. "Kepribadian orang yang mengawal gerakan
perdamaian harus seperti lautan. Pluralitas luar biasa tapi tidak
mempengaruhi rasa asinnya. Lihat saja Gus Dur sebagai tokoh yang
menyelesaikan persoalan konflik tanpa kekerasan dan menggunakan jalan
diplomasi," terangnya mencontohkan.

Yang tak kalah menarik, KH. Lukman Hakim memaparkan sejarah Rasulullah Saw
memerangi orang musyrik. Menurutnya, apa yang dilakukan nabi bukan karena
mereka non-muslim, melainkan karena mereka telah menciptakan chaos (fitnah)
atau suasana tidak patuh pada Konstistusi Madinah yang telah disepakati
bersama. "Bukan karena mereka berbeda dengan kita," jelasnya.

Begitu juga kebijakan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq memerangi para
pengingkar zakat. Konon, Umar bin al-Khattab protes atas kebijakan ini,
karena Rasulullah Saw tak pernah memerangi mereka. "Apakah Anda akan
memerangi orang yang Rasulullah Saw tidak memeranginya?" protes Umar. "Saya
akan perangi mereka, karena mereka menciptakan chaos sosial dan meruntuhkan
bangunan sosial yang telah dibangun Rasulullah Saw. Itu fitnah sosial,"
jawab Abu Bakar sebagaimana ditirukan KH. Lukman.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memberi sambutan terakhir tidak banyak
menyampaikan nasihat. Gus Dur hanya berdoa, semoga di masa depan the WAHID
Institute dapat menjadi teladan bagi kita semua. "Juga bisa mendorong kita
untuk menjadi orang yang lebih baik lagi," harap Gus Dur sembari mengucap
"amin".

Perayaan ultah yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaan ini lantas ditutup
doa oleh DR. Abdul Moqsith Ghazali dan dilanjutkan buka bersama.[nhm]

Kirim email ke