Ulysses

ADA seorang perempuan yang mudah dilupakan dunia tapi seharusnya tak dilupakan 
kesusastraan. Namanya Margaret Anderson. 

Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah keluarga yang 
berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap tahun tergerak untuk pindah ke 
rumah baru-dengan mebel, taplak, gorden, dan lukisan dinding baru. 

Margaret tak seperti ibunya, tapi ia punya keresahannya sendiri. 

Pada suatu malam, ketika ia berumur 21 tahun, setelah seharian merasa murung, 
ia terbangun dari tidur. "Pikiran persis pertama: aku tahu kenapa aku murung," 
demikianlah tulisnya, mengenang. "Tak ada yang bersemangat yang terjadi-nothing 
inspired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat tiap saat. 
Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah mendapatkan percakapan yang 
bersemangat tiap saat. Keempat: kebanyakan orang tak bisa jauh dalam 
percakapan.." 

Akhirnya kelima: "Kalau aku punya sebuah majalah, aku akan dapat mengisi waktu 
dengan percakapan yang terbagus yang bisa disajikan dunia.." 

Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dikenal sebagai penulis 
resensi buku di beberapa media, di Chicago, Margaret menerbitkan majalah The 
Little Review. "Omong-omong tentang seni", itulah semboyannya. 

Tapi tentu saja tak sembarang omong-omong. Nomor pertama majalah kecil itu 
berbicara soal Nietzsche, feminisme, dan psikoanalisis-hal-hal yang bisa 
menyentakkan orang Amerika dari tidur borjuis mereka yang tertib dan taklid. 

Seperti lazimnya majalah seni dan sastra, The Little Review tak laku. Juga 
sulit mendapat sponsor. Margaret kehabisan uang, diusir dari rumah sewaannya, 
dan harus menutup kantor majalahnya. Tapi ia tetap menginginkan percakapan yang 
bersemangat, dan ketika ia ketemu Jane Heap, seorang seniman yang aktif dalam 
gerakan seni rupa baru Chicago, cita-citanya bangkit lagi. Kedua perempuan itu, 
yang kemudian berpacaran, meneruskan The Little Review dengan memindahkannya ke 
New York. Seraya membuka toko buku di Washington Square, di sudut kota tempat 
inspirasi tak mudah mati itu, kedua perempuan itu membuat sejarah. 

The Little Review memuat karya para sastrawan yang kemudian jadi percakapan 
seluruh dunia: T.S. Eliot, Hemingway, Amy Lowell, Francis Picabia, Sandburg, 
Gertrude Stein.. Sejak awal, Ezra Pound jadi penasihat dan koresponden majalah 
itu di London, dan dari Eropa André Breton dan Jean Cocteau mengirimkan tulisan 
mereka. 

Juga: James Joyce, dengan Ulysses-nya. 

Tapi sejarah sastra tak pernah mudah, terutama di masa ketika modernisme 
bersedia membenturkan diri menghadapi apa yang "normal"-yakni segala hal yang 
ukurannya dibentuk oleh tata sosial yang ada, oleh bahasa yang diwariskan, dan 
oleh ketakutan terhadap yang tak pasti, yang tak jelas, yang beda. Sejarah 
sastra memang jadi berarti ketika sastrawan dan karyanya tak memilih kenyamanan 
yang ditentukan oleh kelaziman sosial. 

Margaret membuktikan itu dengan dirinya-sejak ia, dalam ketiadaan uang, berani 
hidup di bawah tenda yang didirikannya sendiri di tepi Danau Michigan, sampai 
dengan ketika ia berani menerbitkan Ulysses, dalam bentuk cerita bersambung 
sejak 1918. 

Joyce baru merampungkan karya besarnya yang setebal 732 halaman ini pada akhir 
Oktober 1921. Sengaja disandingkan dengan epos Yunani kuno karya Homeros, 
Ulysses tak berkisah tentang para pahlawan, melainkan tentang kehidupan 
sehari-hari Kota Dublin, Irlandia, dengan dua tokoh yang berbeda, Stephen 
Daedalus dan Leopold Bloom. 

Novel yang terdiri atas tiga bagian besar dengan 18 episode ini tak mudah 
dibaca, meskipun tiap bagian memukau, liris, juga ketika "arus kesadaran" sang 
tokoh merasuk ke dalam paragraf seakan-akan puisi yang meracau. Joyce sendiri 
mengatakan-mungkin serius, mungkin main-main-bahwa ke dalam Ulysses ia 
memasukkan "begitu banyak teka-teki dan enigma hingga para profesor akan 
berabad-abad sibuk berdebat tentang apa yang saya maksud". 

Tapi di dunia ini ada para profesor, atau para peminat sastra yang 
bersungguh-sungguh yang menemukan kenikmatan dan kearifan dalam percakapan 
("percakapan yang bersemangat," kata Margaret Anderson), dan ada orang yang tak 
begitu berminat meskipun teramat bersungguh-sungguh: para sensor. 

Dalam Ulysses sang sensor merasa menemukan "pornografi". Pada 1920, orang-orang 
yang merasa diri bermoral dan saleh yang bergabung dalam "The New York Society 
for the Suppression of Vice" berhasil memenangkan dakwaannya di pengadilan, dan 
hakim menyetop The Little Review memuat novel itu. 

Majalah itu disita. Margaret Anderson dan Jane Heap dihukum sebagai penyebar 
kecabulan. Masing-masing didenda $ 100. The Little Review yang miskin dana itu 
pun kehilangan masa depan. Akhirnya kedua perempuan itu memutuskan untuk 
meninggalkan Amerika-di mana kekuasaan uang dan "moralitas" dipergunakan untuk 
mengimpit mereka yang berbeda-dan melanjutkan The Little Review di Eropa.  
Ulysses juga telantar. Tak ada penerbit baik di Amerika maupun di Inggris yang 
mau mencetak dan menyebarkan novel itu. Baru pada 1931, di Paris, seorang 
perempuan lain, Sylvia Beach, berani melakukannya, diam-diam dari toko bukunya 
yang sampai kini tak mentereng di tepi Sungai Seine, "Shakespeare and Co". 

Sejak itu, zaman berubah, juga "moralitas" dan kecemasan. Pada 1933, hakim John 
M. Woolsey mengizinkan novel itu beredar. Porno? Merangsang? Hakim itu telah 
membacanya dan ia mengatakan bahwa ia, bersama dua orang temannya, tak bangkit 
syahwatnya karena Ulysses. 

Pada akhirnya seorang lelaki bisa mengerti kearifan yang dibawa Margaret 
Anderson, Jane Heap, dan Sylvia Beach: "moralitas" itu hanya bangunan kekuasaan 
mereka yang waswas akan libido diri sendiri. 

Goenawan Mohamad

Majalah Tempo - 29 September 2008

Kirim email ke