Tempo
37/XXXVII 03 November 2008

Undang-undang yang Dipaksakan
Sejumlah pasal Undang-Undang Pornografi tetap bermasalah. Peraturan pemerintah 
bisa meredam konflik.
LANGIT tak akan runtuh kalau Indonesia tak mempunyai Undang-Undang Pornografi. 
Ratusan orang pernah berdemo di Yogya dan Solo. Lebih dari seribu orang di Bali 
dulu turun ke jalan. Provinsi Bali secara resmi menolak. Meski ramai ditentang, 
sukar dipahami tindakan Dewan Perwakilan Rakyat yang ngotot mengesahkan 
undang-undang itu pekan lalu. Sepertinya mereka di Senayan-yang setuju aturan 
ini-percaya ada aib besar yang segera menimpa bangsa, sehingga "jimat 
penyelamat akhlak" perlu cepat dipancangkan. 

Karena buru-buru, alasan yang terdengar kurang bermutu. Argumen bahwa 
rancangannya sudah terlalu lama dibahas atau karena maraknya pornografi saat 
ini mudah dipatahkan. Alasan pornografi membahayakan anak-anak bisa diterima, 
tapi sudah banyak disarankan untuk dimasukkan saja dalam Undang-Undang 
Perlindungan Anak. Rupanya saran dianggap tak penting didengar. Belajar dari 
pengalaman, pemaksaan hanya menghasilkan aturan "setengah matang", menimbulkan 
pro-kontra, dan menjadi buah mulut rakyat. 

Buktinya, baru sehari disahkan, satu provinsi telah menentang. Barisan 
penentang diduga akan semakin panjang, karena sejak awal ada provinsi lain yang 
menentang keras, misalnya Sulawesi Utara dan Papua. Ini tentu menyulitkan 
pemerintah. Jika pemerintah menerima penolakan tersebut, pemerintah akan 
dituduh memperlakukan daerah itu secara istimewa. Sebaliknya, jika pemerintah 
memaksa Bali menerima, umpamanya, perlawanan lebih keras bisa jadi muncul dari 
daerah itu. 

Kemungkinan seperti ini, entah kenapa, tak diperhitungkan para wakil rakyat 
yang menggotong aturan itu. Mereka seperti tidak paham tentang Indonesia. 
Mereka seakan lupa bangsa ini terdiri atas ratusan etnis, beragam budaya, yang 
bisa dianggap porno oleh orang lain, tapi sakral bagi yang meyakini. Karena 
itu, wajar jika seniman Bali dan penari tayub di Jawa Tengah bereaksi saat 
rancangan undang-undang ini dibahas Dewan tahun silam. Mereka waswas tarian 
atau karya patung mereka dianggap porno. 

Memang setelah itu ada revisi. Judul "Antipornografi dan Pornoaksi" diubah 
menjadi "Pornografi", sejumlah pasal yang dianggap bermasalah disetip. Pasal 
juga mengempis, dari 93 tinggal 45 pasal. 

Sudah diduga, revisi tak menyelesaikan masalah, karena hal-hal mendasar tak 
terpecahkan. Definisi pornografi tetap mengandung kontroversi. Tidak mudah 
menetapkan "gerak tubuh" dan "pertunjukan di muka umum" yang masuk klasifikasi 
pornografi, contohnya. Menyadari banyaknya kelemahan, patut dipuji tindakan 
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menentang undang-undang ini. Kita 
patut bertanya ke mana para nasionalis yang lain di Senayan berpihak? 

Pertanyaan itu sudah terlambat. Undang-undang sudah disahkan walau berlumur 
cacat. Bukan mustahil suatu ketika, misalnya, ada penari yang ditangkap 
lantaran lenggak-lenggoknya dianggap mengandung kecabulan dan membangkitkan 
syahwat. 

Yang juga berbahaya adalah munculnya pasal-pasal yang membolehkan masyarakat 
berperan mencegah pembuatan atau penyebaran pornografi. Satu potensi kekerasan 
sudah disahkan lewat sebuah undang-undang. Atas nama undang-undang ini, 
sekelompok warga bisa merasa diberi hak oleh negara untuk melakukan tindakan 
hukum sendiri. 

Agar tidak terjadi kekacauan, pemerintah wajib bergegas menerbitkan peraturan 
untuk "mengunci" pasal-pasal bolong. Mengenai peran aktif masyarakat itu, 
umpamanya, perlu dibuat aturan agar tidak muncul "polisi moral" yang main hakim 
sendiri. 

Mereka yang tidak puas terhadap undang-undang ini bisa secepatnya mengajukan 
uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Siapa tahu di sana akal sehat lebih diterima

Kirim email ke