Selasa, 01 Juli 2008 00:01 WIB
Upaya Melepaskan Diri dari Kemiskinan

Mungkin hampir tidak ada satu pun negara di dunia ini yang akan bisa
terlepas sepenuhnya dari persolan kemiskinan. Satu hal yang paling mungkin
dilakukan tentunya adalah bagaimana menciptakan agar kesenjangan antara
kelompok kaya dan miskin tidak terlalu jauh. Namun untuk mencapainya
diperlukan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih komprehensif.

*Kebutuhan dasar*
Perubahan paradigma pembangunan dunia sejak awal dekade 1990-an, memang
telah memaknai pembangunan lebih dari sekadar tingkat pertumbuhan ekonomi.
Sebab pada kenyataannya pembangunan yang semata didasarkan pada berbagai
indikator ekonomi (*economic development*) justru lebih sering menimbulkan
banyak distorsi.
Begitu pula dengan perhitungan laju pertumbuhan ekonomi yang sering kali
tidak cukup mampu menunjukkan pembangunan kondisi sosial ekonomi secara
lebih riil. Akibatnya, di tengah tingginya pertumbuhan ekonomi, persoalan
kemiskinan lebih sering menjadi persoalan yang bersifat laten. Terutama bagi
negara-negara berkembang.
Menilik kembali pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia, kondisi yang
terjadi selama Orde Baru telah memberikan pelajaran yang sangat berharga.
Ketika itu semua orang tahu bahwa pada puncaknya di tahun 1995-1996
pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7% per tahun.
Dengan melalui tingkat pertumbuhan tersebut, jumlah orang miskin di
Indonesia dapat ditekan menjadi 34 juta atau 17,7% dari total penduduk. Jika
dibandingkan pada 1976, kondisi tersebut jelas jauh lebih baik. Sebab dengan
jumlah mencapai 54 juta, persentase orang miskin terhadap jumlah penduduk
saat itu sebesar 40%.
Namun demikian, data Human Development Report pada 1998 menunjukkan bahwa
untuk kondisi pada 1995, dengan tingkat pendapatan per kapita (PPP) yang
mencapai hampir US$4.000, nilai HDI Indonesia justru hanya 0,679. Laporan
HDR 2007/2008 menunjukkan bahwa untuk tahun 2005 HDI Indonesia adalah 0,728
dengan tingkat pendapatan per kapita (PPP) US$3843 (lihat tabel).
Apabila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya yaitu Singapura,
Malaysia, Filipina, dan Thailand, posisi HDI mereka berada di atas
Indonesia. Hal itu mengartikan pula bahwa pembangunan yang sekedar
menekankan kepada pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat.
Jika mencermati berbagai indikator yang menjadi penilaian HDI, satu aspek
yang patut menjadi perhatian adalah soal pemenuhan kebutuhan dasar (*basic
needs*). Jika mau kembali kepada definisi kemiskinan, ketidakmampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar ini biasa disebut dengan kemiskinan
absolut.
Jeffrey D Sachs dalam bukunya, *The End of Poverty* (2005) mengistilahkan
bentuk kemiskinan ini sebagai *the extreme poverty*. Menurutnya, bentuk
kemiskinan dalam konteks ini merupakan ketidakmampuan seseorang, suatu
keluarga, atau sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Baik
itu dalam soal pangan maupun nonpangan.
Dalam soal non pangan, ini menyangkut pula di dalamnya adalah pendidikan
dasar, kesehatan, perumahan, serta kebutuhan transportasi. Pertanyaannya
sekarang ialah bagaimana sebenarnya upaya pemenuhan kebutuhan dasar ini
selama ini di Indonesia?

*Kemiskinan relatif*
Pascakrisis ekonomi, persoalan kebutuhan dasar tersebut memang banyak
kembali mengemuka. Terlepas dari ketertutupan informasi selama Orde Baru,
fakta yang ada akhir-akhir ini menunjukkan masih terjadi kasus-kasus seperti
kekurangan gizi di beberapa daerah dan tingginya angka putus sekolah.
Munculnya masalah-masalah seperti ini memang tidaklah terlalu mengejutkan.
Karena seperti telah banyak diduga sebelumnya, ancaman paling menakutkan
dari krisis ekonomi adalah terjadinya generasi yang hilang (*the lost
generation*).
Begitu pula ketika seperti saat ini ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan
pemberian bantuan langsung tunai (BLT) atau penyaluran raskin. Banyak
perdebatan muncul ketika pemerintah dalam pencairan BLT tahap pertama 2008
masih memanfaatkan data kemiskinan pada 2005. Akibatnya, beberapa kepala
desa dari berbagai daerah di Indonesia kemudian berbondong-bondong melakukan
protes. Meski mengaku tidak menolak pengucuran dana BLT, namun mereka
menilai bahwa bentuk bantuan seperti itu bukan sebuah hal yang mendidik
masyarakat.
Munculnya perdebatan seperti tersebut di atas, pada dasarnya adalah adanya
penggunaan berbagai ukuran atau indikator yang lebih menunjukkan kemiskinan
relatif. Kemiskinan relatif ini diukur dari berbagai indikator seperti
ketimpangan tingkat pendapatan, bentuk rumah atau hal-hal yang lebih
bersifat fisik lainnya.
Jika kemudian hal tersebut hendak dikaitkan dengan keberagaman sosial budaya
yang ada di Indonesia. Tentunya dalam menentukan standar kemiskinan fisik di
tiap daerah menjadi berbeda-beda. Oleh karenanya jika mau mengukur
kemiskinan relatif tersebut, maka tiap daerah harus bisa menentukan berbagai
indikator khusus yang memang menjadi spesifikasi daerahnya.
Indikator-indikator inilah yang nantinya menjadi ukuran-ukuran tambahan atau
pelengkap dalam menilai apakah seseorang atau keluarga masuk ke dalam
kelompok miskin di suatu daerah.
Di satu sisi disadari bahwa berbagai indikator fisik yang selama ini
digunakan merupakan indikator yang relatif paling mudah terlacak dan dapat
dibuktikan secara kasatmata. Tapi di sisi lain, juga semakin disadari bahwa
apa yang ditunjukkan secara fisik tersebut hanyalah merupakan representasi
atau penggambaran atas kegagalan pembangunan kualitas manusia itu sendiri.
Artinya, kemiskinan relatif yang ditunjukkan oleh berbagai indikator fisik
tersebut hanyalah hasil akhir ketika sebuah seseorang atau keluarga tidak
lagi mampu memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar
dan kesehariannya. Tapi hal itu tidak cukup mampu menunjukkan sejauh mana
seseorang atau keluarga terjebak dalam kemiskinan dan apakah mereka mampu
keluar dari kemiskinan itu sendiri.
*Keluar dari kemiskinan
Terkait dengan hal tersebut, Sachs kemudian dalam buku terbarunya, Common
Wealth: Economics for a Crowded Planet (2008) mencoba menyampaikan empat
tipe invetasi dasar sebagai upaya untuk keluar dari kemiskinan tersebut (escape
from extreme poverty).
Pertama adalah dorongan untuk peningkatan produktivitas pendapatan/mata
pencaharian di sektor pertanian. Argumentasi ini tentunya menjadi sangat
relevan dalam kasus Indonesia. Sebab seperti pernah disampaikan dalam
analisis Media Indonesia (26/5), mengutip data BPS nampak bahwa sebagian
besar penduduk miskin di Indonesia memang tinggal di pedesaan dengan
pekerjaan utama di sektor pertanian.
Meski selama periode Maret 2006-Maret 2007, penduduk miskin di daerah
perdesaan berkurang 1,20 juta dan di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta
orang, pada dasarnya persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan
perdesaan tidak banyak berubah. Sampai Maret 2007, sekitar 63,52% penduduk
miskin berada di daerah pedesaan.
Kedua, adalah peningkatan taraf kesehatan termasuk pengendalian terhadap
berbagai penyakit pembunuh utama. Ketiga, ialah peningkatan pendidikan
sebagai upaya untuk meningkatkan dan memastikan bahwa setiap penduduk atau
keluarga yang ada memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankan dan
mengembangkan perekonomian lokal. Keempat adalah, peningkatan sarana dan
prasarana infrastruktur seperti jalan, sanitasi, listrik hingga air minum
yang layak dan bahkan internet.
Persoalannya, seperti juga terjadi di sebagian besar negara berkembang
persoalan keterbatasan anggaran menjadi hambatan utama. Di satu sisi di
sinilah sebenarnya letak pentingnya aktualisasi sebuah data statistik
sebagai upaya agar pemerintah dapat benar-benar menggunakan dana secara
lebih terarah sesuai dengan prioritas.
Di sisi lain, fakta yang terjadi menunjukkan bahwa ada beberapa daerah yang
sudah mampu memberikan pelayanan sekolah gratis terutama pada tingkatan SD.
Kondisi ini sekaligus memberikan sebuah kenyataan yang menunjukkan bahwa
sebenarnya ada kemampuan untuk mampu melaksanakan pembangunan manusia.
Begitu pula dengan pelayanan kesehatan gratis pada kelas tiga di rumah
sakit. Artinya, meski masih dalam bentuk-bentuk yang terbatas, pemenuhan
kebutuhan dasar secara gratis sebagai bagian dari pembangunan manusia masih
dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini tentunya dengan berbagai prasyarat
adanya keinginan politik serta koordinasi kerja dengan diikuti penegakan
hukum yang lebih baik dari pemerintah di pusat dan daerah.
Terkait dengan konteks inilah, maka alokasi anggaran menjadi faktor kunci
yang harus menjadi perhatian. Pemberian subsidi secara tidak terarah untuk
sektor-sektor di luar kebutuhan dasar (termasuk BBM) adalah sebuah kesalahan
besar dalam sebuah program pembangunan manusia.
Sebaliknya, dengan melakukan efisiensi anggaran, pemerintah bisa menghindari
dari apa yang oleh Sach disebut dengan jebakan fiskal (fiscal trap), yaitu
salah satu aspek yang menjadi penyebab kegagalan pemerintah untuk bisa
meningkatkan pelayanan barang dan jasa publik.
Sayangnya hal inilah yang seharusnya lebih bisa dipahami masyarakat dalam
menilai kebijakan kenaikan harga BBM bulan Mei 2008. Realokasi anggaran
subsidi BBM sebagai upaya untuk tetap menjaga pemenuhan kebutuhan dasar
memang menyeret perekonomian dan masyarakat kepada lonjakan harga-harga
untuk sementara waktu. Tapi untuk sementara waktu pula, BLT berfungsi
sebagai mendorong kembali tingkat permintaan hingga tercapai keseimbangan
harga baru.
Meski pada beberapa waktu tersebut juga tidak mudah menghitung harga ekonomi
dan sosial yang ditimbulkannya, tapi inilah yang sebenarnya sering kali
dikatakan pemerintah sebagai penyelamatan anggaran. Sebuah penggunaan
instrumen fiskal sebagai cara agar kebutuhan dasar (pendidikan dan
kesehatan) masyarakat tetap terpenuhi.
Sesuai dengan namanya, maka segala sesuatu yang terkait di dalamnya jelas
merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Terpenuhinya kebutuhan dasar
bagaimanapun juga akan membawa efek multiplier yang lebih luas. Melalui
pendidikan yang baik misalnya, diharapkan setiap orang akan dapat lebih
mudah memperoleh akses kepada pekerjaan dan tingkat pendapatan yang lebih
baik pula.
Dengan demikian, mungkin 'tidak terlalu relevan' lagi apakah masih banyak
orang yang tinggal di rumah dengan dinding bambu serta berlantaikan tanah.
Bahkan lebih luas lagi ada berapakah sebenarnya jumlah penduduk miskin di
suatu daerah serta peningkatannya sebagai akibat penerapan sebuah kebijakan.
Sebab pada akhirnya selama pemerintah baik pusat dan daerah belum bisa
memberikan akses pemenuhan kebutuhan dasar kepada setiap anggota masyarakat,
itu artinya dalam konteks pembangunan manusia persoalan kemiskinan masih
akan terus membayangi.

(Nugroho Pratomo/Peneliti Litbang Media Group)*

sumber L media indonesia


-- 
**********************************
Memberitakan Informasi terupdate untuk Rekan Milist dari sumber terpercaya
http://reportermilist.multiply.com/
************************************

Kirim email ke