Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia, PGI, meminta presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk menangani sejumlah peristiwa penyerangan terhadap gereja.

Sekretaris Jendral PGI Gomar Gultom mengatakan telah melaporkan sejumlah
kasus mulai dari pengajuan ijin peribadatan sampai pada serangan terhadap
gereja kepada polisi namun belum ada tanggapan.

"Kita lihat hak beribadah orang semakin sulit dijamin oleh negara. Misalnya,
ada serangkaian peraturan untuk ijin membangun rumah ibadah. Tapi banyak
warga yang mengikuti peraturan ini dipersulit," kata Gomar Gulton kepada BBC
Indonesia.

"Ada pula sejumlah peristiwa, termasuk dua unit gereja yang dibakar di
Tapanuli selatan dan bangunan milik yayasan Kristen di Cisarua, Bogor,
dirobohkan. Peristiwa ini disaksikan oleh aparat, tetapi tidak ada tindakan
yang diambil," tambah Gomar.

Gomar mengatakan PGI telah mengajukan keluhan ini ke Komnas HAM, kepolisian,
mentri agama dan mentri dalam negeri, tetapi belum ada tanggapan kongkrit.

"Sekarang, kita ajukan surat ke pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
meminta perhatian lebih serius tentang hal ini."

Sementara itu, juru bicara presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan belum
menerima surat dari PGI namun menekankan presiden sangat memperhatikan
hal-hal yang menyangkut pelanggaran hukum.

"Sikap presiden adalah tidak membiarkan hal-hal yang tidak toleran, karena
kita hidup berdampingan antara satu agama dan agama lainnya," kata Julian.

Belum ditanggapi

Wakil ketua internal Komnas HAM, Yosep Adi Prasetyo mengatakan telah
mengajukan sejumlah rekomendasi kepada kepolisian setelah PGI melaporkan
berbagai pelanggaran hak beribadah ini pada tahun 2008.

"Saat itu ada 172 kasus penyerangan perobohan tempat ibadah terutama di
Jabotabek, kalau diakumulasi kasus-kasus sampai tahun 2010, akan lebih
banyak lagi," kata Yosep.

"Kami sudah kirim surat kepada Kapolri agar bertindak tegas terhadap pelaku,
karena perusakan tempat-tempat ibadah merupakan tindak pidana," tambahnya.

Yosep juga mengangkat soal hak ibadah jamaah Ahmadyah yang tinggal di
Lombok, namun terpaksa tinggal di Bali.

"Mereka tidak bisa pulang ke Lombok, karena tanah mereka diduduki, rumah
mereka dibakar, dan mereka terpaksa hidup sebagai pengungsi di Bali," kata
Yosep.

Ia juga mengatakan Komnas HAM tengah menyusun memorandum saling pengertian
dengan pihak kepolisian agar langkah menangani pelanggaran hak beribadah
lebih mudah.

Sebelumnya, satu LSM, Institut Setara untuk Demokrasi dan Perdamaian juga
mendesak pemerintah menangani berbagai penyerangan terhadap gereja, yang
menurut mereka semakin meningkat.

Dari bulan Januari sampai Juni tahun ini saja, menurut Setara, terdapat 28
kasus menyangkut pelanggaran kebebasan agama oleh sejumlah kelompok yang
mencari sasaran umat Kristiani.

"Insiden seperti ini adalah pelanggaran hukum dan hak asasi, dan pemerintah
sejauh ini belum memberikan tanggapan," kata wakil ketua Setara, Bonar Tigor
Naipospos.

Kirim email ke