Keuntungan yang 20% itu berlaku hanya untuk pedagang nyonya, lha kalau yang 
terjadi pada para koruptor itu sih pedagang musiman, menjual apa yang 
diamanahkan kepada mereka bukan sebagai barang dagangan. Tapi istilahnya nyuruh 
bawahan untuk membeli sesutu. Contohnya saya, menyuruh pembantu saya membeli 
gula di warung. gula yang harganya 6000 dia bilang 7000. Mulanya saya percaya 
tapi ketika suatu hari saya sendiri ke warung dan bertanya langsung ke penjual 
berapa harga gula dan ternyata 6000, ya saya pasti akan minta klarifikasi ke 
pembantu saya. Tapi saya nggak mungkin minta klarifikasi ke penjual toko berapa 
keuntungan yang dia ambil dari sekilo gula bukan? kecuali dia menjual gula 
dengan harga 15000 perkilo, itu baru saya akan bertanya-tanya.


--- On Sun, 8/24/08, Hafsah Salim <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: Hafsah Salim <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [zamanku] Dalam Islam Pahala, Tapi Adm Negara Menyebutnya KORUPSI
To: zamanku@yahoogroups.com
Date: Sunday, August 24, 2008, 9:20 PM










    
            Dalam Islam Pahala, Tapi Adm Negara Menyebutnya KORUPSI

                                 

Pahala dalam Islam tentunya halal dan meskipun halal tak perlu

dikeluarkan fatwa-nya karena banyak sekali macam2nya bentuk pahala

yang bisa membingungkan kalo semuanya harus difatwakan.



Contohlah, Berdagang dalam Islam itu halal dan beramal itu berpahala.

 Namun keuntungan dalam berdagang juga harus ada batasnya yaitu tidak

mencekik langganan dan tidak merugikan siapapun juga.



Padahal dalam berdagang itu sebenarnya murni merupakan aktivitas

management termasuk administrasi dalam hal yang menyangkut jual beli.



Demikian juga halnya menjadi pejabat apalagi dalam posisi pembelian

yang juga tugasnya melakukan jual beli, misalnya menjual servis dan

membeli produk kebutuhan negara.



Kalo kita berdagang usaha wiraswasta, maka bisa saja untung, dan bisa

juga rugi tergantung pengalaman kita dalam berjual beli.  Kalo untung

kita sendiri yang menikmatinya dan memilih siapa saja yang mau kita

ajak untuk menikmatinya.  Sebaliknya kalo kita rugi, maka kita sendiri

saja yang menderitanya tak perlu kita ajak siapapun untuk ikut menderita.



Ada sedikit perbedaan dengan menjadi pejabat negara misalnya dalam

posisi pembelian/keuangan/ accounting dimana juga terjadi aktivitas

jual beli yang kalo menguntungkan belum tentu bisa dinikmati, dan kalo

merugikan belum tentu menyebabkan kita menderita.  Untung atau rugi

bukan lagi ukuran karena yang mengukurnya cuma dari sudut posisi dan

kepentingan atasan.  Untung atau rugi sama2 bisa punya resiko dituduh

KORUPSI.  Dan untuk mencegah tuduhan korupsi tidak perlu keimanan dan

pengetahuan agama tapi dibutuhkan pengetahuan atau keahlian dibidang

managerial dan administrasi formal yang berlaku dalam institusi tempat

kita menduduki jabatan itu.



Itulah sebabnya, semua pejabat2 yang diangkat itu buta atau tuna

keahlian dibidang managerial dan administrasi karena persyaratan jadi

pejabat adalah beriman kepada Allah yang cuma mengharamkan "Mencuri"

tapi menghalalkan "Korupsi" sepanjang bermanfaat bagi keimanan.



> > > "mamatsuryanto" <mamatsuryanto@ > wrote:

> > > Dia bilang yang diatur didalam Alquran adalah

> > > mencuri sekali lagi mencuri katanya dan

> > > hukumannya sudah jelas diperintahkan Awloh,

> > > potong tangan. Ane kan pengurus mesjid, umat

> > > pade nyumbang untuk pembangunan mesjid, duit

> > > itu Ane gunakan sebaik mungkin untuk mesjid,

> > > engga ada yang Ane curi karena duit itu udah

> > > ada di tangan Ane, bukan di tangan orang lain.

> > > Jangan curigaan lah engga baik, katanya.



> "tawangalun" <tawangalun@ ...> wrote:

> Kalau yang ngeluarin Fatwa korupsi itu halal itu Genduk yo ora

> digugu,sebab genduk itu gur penjaga perpustakaan Binus,he he he.

> Jadi fatwa tsb seperti lazimnya harus dari MUI.



Korupsi itu Halal sudah merupakan kewajiban dan keimanan tak perlu

fatwa karena seperti yang anda baca dari tulisan uztad mamat suryanto

diatas bahwa korupsi memang bukan mencuri melainkan memanfaatkan hak2

yang sudah diberikan kepada kita.



Tanpa adanya hak yang diberikan kepada kita tentunya tidak mungkin

bisa korupsi.



Kalo mencuri itu merampas hak orang lain, sebaliknya korupsi itu

memanfaatkan hak yang diberikan kepada kita.



Biasanya, atasan memberi hak kepada kita untuk pengeluaran atau

pembelian.  Seringkali sang atasan mendadak naik pangkat dan atasan

kita berganti orang.  Akibatnya, mula2 kita diberi hak untuk membeli

oleh atasan sebelumnya, namun atasan yang baru mendadak mau mengganti

kedudukan kita sebagai bagian pembelian dengan cara menuduhnya sebagai

korupsi.  Tentu saja bukti2nya lengkap sehingga kita ditangkap karena

perdefinisi korupsi itu hanyalah kriteria dari atasannya.



Apakah ada ayat2 di Quran yang menyalahkan saya yang biasa membeli

barang seharga Rp100 juta dari toko A, kemudian untuk barang dengan

merek dan kualitas yang sama saya beli dari toko B seharga Rp99 juta

dengan komisi Rp5 juta ????  Padahal saya punya hak wewenang yang

sudah dipercayakan untuk membelinya dari kualitas barang yang terbaik

dan harga yang paling murah.



Padahal dalam Islam para pedagang dimuliakan professinya asal jangan

mengambil keuntungan lebih dari 20%, sedangkan saya ini cuma untungnya

5% saja.  Lebih dari itu, dari uang komisi 5% itu saya gunakan untuk

Amal semuanya antara lain juga untuk naik haji.



Begitulah kasusnya, Islam menghalalkan komisi 5%, tapi dalam ilmu

administrasi negara komisi ini dinamakan KORUPSI.



KARENA hampir semua pejabat Indonesia itu berkeimanan Islam, akibatnya

KORUPSI MERAJALELA karena sebagai umat Islam kita tunduk kepada wahyu

Allah bukan kepada Administrasi Negara.



Ny. Muslim binti Muskitawati.




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke