Kesatuan Wujud ini telah dicapai oleh para Nabi dan Rasul.
Dan yang terungkap dengan jelas kesatuan Wujud ini diungkapkan dengan jelas 
oleh NABI ISA.
 
Aku didalam TUHAN dan TUHAN di dalam aku.....................
 
Salam,


--- On Tue, 9/2/08, Verri DJ <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Verri DJ <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [zamanku] Kesatuan Wujud, Seri 24 Belajar Tasawuf
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Tuesday, September 2, 2008, 3:39 AM







Kesatuan Wujud
Seri ke 24 Belajar Tasawuf
Oleh : Ferry Djajaprana


Dalam perjalanan spiritual para salik biasanya akan berakhir pada kesatuan 
mistik (the mystical union) dengan Tuhannya. “Banyak jalan menuju Roma”, 
demikian kata pepatah, yang artinya untuk mencapai kesatuan wujud banyak pula 
jalannya. Ada banyak tokoh Sufi yang telah mencapai kesatuan wujud, tetapi 
caranya antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Sebenarnya persatuan mistik yang dialami oleh para Sufi hakikatnya sama,  hanya 
saja karena dialami oleh orang per orang, dengan tingkat pengetahuan yang 
berbeda , maka konsep-konsep yang muncul dari  merekapun seolah-olah berbeda. 
Perbedaan yang mereka rasakan adalah fenomena saja bukan esensial. 

Contoh Sufi yang popular memiliki paham Kesatuan Wujud (wahdat al Wujud) adalah 
Al Hallaj. Seorang guru Sufi abad sembilan, Al Hallaj pernah mengalami kondisi 
penyatuan wujud dengan Tuhan-nya, dengan mengaku bahwa dirinya adalah 
“Kebenaran” atau lebih popular disebut dalam Bahasa Arab “Ana Al Haqq”. Klaim 
ini merupakan hasil proses perjalanan spiritualnya menuju Tuhan akan tetapio 
klaimnya dianggap sesat pada abad 11 sehingga akhirnya dihukum mati. Walaupun 
Al Hallaj dianggap sesat, tetapi Rumi membela Al Hallaj dalam bukunya yang 
berjudul “Fihi Ma Fihi”, yang menurutnya ungkapan Ana Al Haqq adalah  merupakan 
ungkapan seorang muslim sejati.

Orang yang telah secara tulus menyatakan klaim bahwa dirinya adalah Kebenaran 
dipandang telah mencapai kedekatan dengan Tuhan. Ia telah menghilangkan 
dualitas dan jarak antara Tuhan dengan dirinya. Sedangkan pengakuan bahwa “aku 
adalah Hamba Allah”  merupakan tahapan iman yang rendah, karena sebutan hamba 
masih mengandung dualitas dan terasa adanya jarak antara salik dengan 
Tuhan-nya. Pengakuan ini melambangkan  manusia yang “belum dewasa”, sementara 
Al Hallaj telah memaksimalkan potensial kesadarannya. Dalam persatuan antara 
manusia dengan Tuhannya Al Hallaj mengalami fana dan baqa dalam Tuhan. Maka 
terjadilah keseluruhan manusia dalam Tuhan, sebagaimana tetes air yang bersatu 
dalam lautan. Tidak ada perbedaan antara seorang Hamba dengan Tuhannya. Jadi, 
menurut Rumi “Bukan  Abu Manshur yang menyatakan “Aku Adalah Tuhan” di tiang 
gantungan, tetapi Allah.

Kesatuan wujud atau kesatuan mistik yang dialami oleh Al Hallaj ini biasa 
disebut doktrin Al Hullul.

Doktrin yang kedua adalah doktrin  Ittihad,  konsep Ittihad popular dibawakan 
oleh Abu Yazid Al Bisthami. Ittihad dalam persatuan mistik ini mengandaikan 
adanya perpisahan pada awalnya, dengan alasan tidak mungkin adanya persatuan 
tanpa perpisahan. Jadi, dalam konsep ittihad ada dua wujud yang mulanya 
berpisah, kemudian bersatu dalam sebuah peleburan. 
Pernyataan Abu Yazid  :

“Engkaulah yang kuinginkan,
Karena Engkau lebih dari kelimpahan,
Lebih dari kemurahan
Dan melalui Engkau, telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau.
Karena Engkau adalah milikku,
Telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan.

Janganlah Engkau jauhkan aku dari Mu,
Dan janganlah Engkau berikan aku yang lebih rendah dari-Mu”.

Setelah perjumpaan dengan Tuhannya, maka Abu Yazidpun kehilangan dirinya. Dalam 
keadaan hilang dan fana seperti itu, maka syahadatnya yang terkenal “Maha Suci 
Aku”, atau “Tidak ada Tuhan selain Aku”, terungkap dari mulutnya. Ketika Abu 
Yazid mengungkapkan seperti ini , ia tidak bisa dibedakan lagi dengan Tuhan-nya.

Konsep hullul Al Hallaj adalah mirip konsep inkarnasi di dalam Agama Hindu. 
Persamaan kedua konsep ini adalah  mengandaikan adanya dua entitas yang yang 
terpisah dan berbeda pada awalnya, tetapi pada saat perpaduan mistik, keduanya  
melebur dalam kesatuan tunggal (wahdat al Wujud), sehingga tidak dapat 
dibedakan keduanya.

Perbedaan  kedua konsep ini, pada ajaran ittihad, kita bias  membayangkan 
seorang hamba yang menuju Pencipta dari dunia rendah menuju langit, dalam 
konsep Hullul, Sang Khalik yang turun  menemui atau mengisi hati hamba-Nya. 

Rumi memiliki pandangan lain, baginya konsep peleburan itu tidak seperti ”tetes 
air yang melebur kepada samudera”, dimana esensi seorang hamba larut pada 
Tuhannya. Menurut Rumi, esensi sang hamba tidak musnah, sekalipun sangat tidak 
efektif, dan hanya sifat-sifatnya saja yang lebur pada sifat-sifat Tuhannya. 
Lihat bait puisi Rumi berikut :

”Tidak ada Darwisy di dunia, seandainya ada seorang Darwisy,
Darwisy tersebut sebenarnya  tidak ada.

Ia hanya ada dalam keagungan esensinya, 
tetapi sifat-sifatnya telah lebur dalam esensi-esensinya.

Ia hanya ada dalam kelangsungan esensinya,
Tetapi sifat-sifatnya telah  menjadi tiada dala sifat-sifat Tuhan.

Seperti nyala lilin ketika dating matahari, ia sebenarnya tidak ada,
Sekalipun ada  dalam perhitungan formalnya.

Esensi nyalanya ada,
Sehingga jika engkau menyalakan kapas diatasnya, kapas tersebut akan terbakar 
oleh percikan apinya.
Tetapi pada hakikatnya ia tiada, karena lilin-lilin itu tidak memberimu cahaya:
Sang mentari telah membuatnya tiada”.

Jakarta, Akhir Agustus 2008
http://ferrydjajapr ana.multiply. com
http://tasawuf. multiply. com

Penulis bisa dihubungi melalui email : [EMAIL PROTECTED] com
 














      

Kirim email ke