He.......he.... tulisan-tulisan seperti ini sekarang sering bermunculan, dengan 
maksud untuk 'membelokkan" sejarah, seakan-akan PKI adalah Korban..........
 
Coba anda tanya kepada Sri Edi Swasono atau Sri BINTANG PAMUNGKAS, bagaimana 
nasibnya dia ketika menginjak remaja kesulitan ekonomi, gara-gara sanga AYAH 
dibunuh PKI di depan matanya...........
 
Tapi lagi-lagi Si Umar ini apa mau dia diskusi ??? paling-paling melempar ke 
beberapa milis dan kabur.........
 
Salam,

--- On Fri, 9/12/08, Umar Said <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Umar Said <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [zamanku] Kepala Ayah Dipenggal di Depan Mataku
To: "Zamanku" <zamanku@yahoogroups.com>
Date: Friday, September 12, 2008, 9:04 PM








Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak. club.fr/index. htm 
 

 

                        MENGENANG TRAGEDI 65
                        Kepala Ayah Dipenggal di Depan Mataku
 
Kisah yang disajikan oleh Sadewa di bawah ini adalah salah satu saja di antara 
beberapa ratusan ribu (bahkan, mungkin jutaan !) kisah nyata tentang berbagai 
kejadian yang menyedihkan atau mengharukan sekitar peristiwa 65. Sebenarnya, 
kisah yang kurang lebih sejenis atau serupa masih banyak sekali yang bisa 
ditemukan di seluruh Indonesia. Sejak Suharto turun dari kedudukannya sebagai 
presiden dan pimpinan tertinggi Orde Baru, sedikit demi sedikit mulai muncul 
terbuka kisah-kisah tentang kejadian-kejadian di sekitar peristiwa 65 ini. 
 
Tetapi, masih banyak sekali kisah-kisah tentang peristiwa 65 yang terpendam 
atau tersembunyi sampai sekarang. Padahal, munculnya kisah-kisah nyata itu 
sehingga diketahui oleh orang banyak adalah mutlak penting sekali, untuk 
menunjukkan watak sebenarnya atau sifat jahat Suharto beserta para pembangun 
Orde Baru lainnya. Mengangkat atau menyebarluaskan kisah-kisah nyata tentang 
kejahatan Orde Baru adalah bagian yang penting dari usaha untuk menjadikannya 
sebagai pendidikan bangsa.
 
Peristiwa 65 adalah gudang besar sejarah yang berisi berbagai kisah nyata 
tentang kebiadaban dan kekejaman yang mengerikan, menyedihkan, menakutkan, 
(atau juga memuakkan !) yang pernah dilakukan oleh Suharto dkk beserta 
pendukung-pendukung nya terhadap sejumlah besar sekali golongan kiri dan 
simpatisan-simpatis an Bung Karno. Sampai sekarang, masih terdapat banyak 
orang, dimana-mana,  yang bisa menceritakan dengan sejelas-jelasnya dan 
sejujur-jujurnya pengalaman mereka ini.
 
Sebagai contoh, wawancara  singkat Sumarsono (nama samaran) kepada Sadewa 
seperti yang ditulis di bawah ini merupakan bukti kuat tentang betapa 
sewenang-wenangnya serta betapa kejamnya aparat (baca : Angkatan Darat) waktu 
itu terhadap orang-orang yang dianggap kiri atau pengikut PKI. Dan seperti yang 
diketahui oleh banyak orang, kejadian semacam yang dialami ayah dan ibu 
Sumarsono di Pekalongan ini juga terjadi di banyak sekali daerah di seluruh 
Indonesia. Dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, 
sampai Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan 
tempat-tempat lainnya.
 
Jadi, sekarang ini masih banyak sekali saksi hidup dari kalangan eks-tapol dan 
para korban 65 beserta sanak saudaranya yang bisa menceritakan kembali apa yang 
sudah terjadi dengan sebenarnya sekitar peristiwa 65 itu. Sebagian kecil sekali 
di antara mereka sudah ada yang mau, dan sudah berani, berbicara tentang 
perlakuan sewenang-wenang dan tidak bermanusiawi yang mereka alami. Tetapi 
sebagian terbesar dari mereka masih belum bisa melakukannya, oleh karena  
berbagai faktor atau sebab.
 
Padahal, terungkapnya sebanyak-banyaknya berbagai kisah nyata tentang peristiwa 
65  itu adalah penting – dan berguna sekali !!! - bagi kehidupan bangsa dan 
generasi selanjutnya. Perbuatan kejam secara besar-besaran – dan biadab -  yang 
dilakukan terhadap jutaan orang tidak bersalah apa-apa itu adalah aib bangsa 
kita,  dan merupakan pelajaran berharga , yang tidak boleh terulang lagi di 
kemudian hari.Untuk tidak mengulangi lagi, perlulah kiranya diketahui dengan 
baik dan jelas apa-apa  saja dari kebiadaban yang sudah terjadi.
 
Dari segi ini kelihatanlah bahwa pengungkapan kisah-kisah mengenai peristiwa 65 
adalah tindakan yang mempunyai tujuan luhur bagi kehidupan bangsa, dalam rangka 
usaha bersama untuk benar-benar menjunjung tinggi-tinggi Pancasila (Pancasila 
menurut jiwa aslinya, yaitu jiwa Bung Karno, dan bukannya menurut “Pancasila” 
palsu yang  selama lebih dari 32 tahun dikoar-koarkan secara munafik oleh 
Suharto beserta para pendukungnya) . 
 
Menyebarluaskan  segala tindakan biadab dan tidak manusiawi oleh Suharto 
beserta para pendukung setia Orde Baru  - dan mengutuknya - adalah perlu sekali 
dalam usaha untuk  membersihkan bangsa kita dari penyakit jiwa yang parah atau 
iman yang sesat, yang bisa menyebabkan terjadinya kebiadaban-kebiadab an luar 
biasa di sekitar peristiwa 65 dan sesudahnya. Bangsa kita tidak bisa atau tidak 
pantas digolongkan sebagai bangsa terhormat selama masih mendiamkan (bahkan 
menyembunyikan) berbagai  kekejaman yang berkaitan dengan  peristiwa 65.
 

Umar Said   
Berikut adalah wawancara Sadewa (alamat E-mailnya :   [EMAIL PROTECTED] net.id) 
dengan saksi hidup Sumarsono (nama samaran) yang berasal dari daerah Pekalongan
 
 * * *
 
 
(Ringkasan transkrip wawancara dengan Sumarsono pada 4 Maret 2001 di Jakarta. 
Atas permintaan narasumber, semua nama orang diganti tetapi tiga huruf pertama 
tetap asli. Nama tempat semuanya asli.)
 
Aku lupa kapan presisnya. Tapi kira-kira dekat dengan akhir tahun  1965. Malam 
itu sebuah truk warna abu-abu gelap berhenti di rumah orangtuaku, Sukartono, 
yang tinggal di desa Kesesi tak jauh dari kota Kawedanan Kajen Kabupaten 
Pekalongan Jawa Tengah. Sebenarnya itu bukan rumah orangtuaku. Ayah, ibu dan 
aku (anak tunggal) mengungsi di rumah itu dari desa Sebedug. Desa ini terletak 
dekat jalan pertigaan. Kalau ke Utara sampai Wiradesa, kalau ke Timur sampai 
Kecamatan Karanganyar dan kalau ke Selatan sampai kota Kawedanan Kajen.
 
Kami mengungsi ke rumah saudara ayahku di Kesesi karena merasa tidak aman, 
sebab sejak pecah peristiwa 30 September 1965 itu, banyak anggota BTI (atau 
dituduh BTI) ditangkapi dan ditahan. Ada juga yang dari desa Sangangjaya, 
Watubelah, Tambor, Kemploko dan lain-lain.  
 
Malam itu, kami bertiga dinaikkan ke atas truk di mana sudah banyak orang lain 
di atasnya. Beberapa di antaranya saling kenal dengan ayah ibuku. Truk itu 
menuju ke kantor Kepolisian Kajen. Beberapa hari kami ditahan di tempat itu 
yang letaknya tak jauh dari sebuah sungai.
 
Selanjutnya kami bertiga kembali dinaikkan truk menuju ke Pekalongan. Seperti 
yang pertama, di atas truk sudah ada beberapa orang dengan tangan terikat. 
Sebelum masuk kota Pekalongan truk menuju ke arah timur, dan setelah sampai di 
luar kota membelok ke kiri menuju ke utara, lalu menyusuri jalan kecil ke 
timur. Semua penumpang diam membisu. Di atas truk ada "aparat" yang tak 
kuketahui jelas, polisi atau tentara, bercelana loreng tapi bajunya hitam sipil 
dan pakai ikat kepala merah.
 
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh di tempat sepi itu, si “aparat” 
berteriak pada sopir sambil memukul-mukul atap truk. "Ini sudah sampai Gamer. 
Ya, ini Gamer. Coba cari jalan ke utara arah pantai biar urusannya gampang, ha, 
ha!"
 
Tentu saja aku tak tahu apa maksud kata-kata itu. Rupanya Gamer nama desa yang 
terletak antara kota Pekalongan dan Batang, menyusuri daerah pantai. Sepi, 
gelap, tapi sayup-sayup aku mendengar suara debur ombak. Rupanya truk sudah 
mendekati pantai.
 
Truk berhenti, tapi hanya kami bertiga yang diturunkan. Yang lain dibiarkan di 
atas truk. Pak "aparat" ikut turun. Ada satu "aparat" lagi turun dari samping 
sopir. Dia membawa benda panjang yang dibungkus kain hitam. Di atas truk masih 
ada tiga "aparat" lagi yang semua memakai pakaian polisi dan tidak ikut turun. 
Mereka membawa senjata api. Kami digiring terus ke utara, dan suara debur ombak 
semakin terdengar nyata.
 
Kami disuruh berhenti. "Ayo jongkok" perintah Pak "aparat" yang membawa benda 
panjang dibungkus kain hitam itu. Kami bertiga jongkok. Tapi ayahku diseret 
untuk jongkok agak terpisah.  
 
"Kamu Sukartono sudah lama dicari-cari. Malam ini kamu harus mati" kata Pak 
"aparat" dengan kasar. Dia membuka kain yang membungkus benda panjang itu dan 
aku tahu ternyata benda itu sebuah golok atau pedang. Jantungku berdebar 
kencang dan ternyata aku terkencing-kencing di celana. Ketika itu usiaku baru 
13 tahunan karena baru lulus SD. Aku sadar, ayahku akan dibunuh.
 
"Hei, lihat sana!" Bentak Pak "aparat" satunya lagi memaksa ibuku dan aku 
memandangi ayahku yang sedang berjongkok menunggu maut. Ibuku menutupi wajah 
dengan tangannya, tapi langsung ditendang. Golok itu berkelebat. Dan ibuku 
jatuh menindih tubuhku yang ikut roboh. Aku masih sempat melihat bagaimana 
kepala ayahku lepas dari lehernya. Sementara ibuku pingsan. 
 
Peristiwa itu hanya berlangsung beberapa menit dan aku diseret dipaksa berjalan 
kembali ke atas truk. Tapi aku tak melihat ibuku lagi. Aku ditendang naik ke 
atas truk. Orang-orang yang tadi di atas truk masih utuh tak ada yang 
berkurang. Tapi kedua Pak "aparat" tidak ikut naik. Mataku mencari sosok ibuku 
di kegelapan malam namun tak terlihat. Apakah ikut dipenggal? Lalu di mana 
kedua mayat orangtuaku? Aku ingat kata-kata Pak "aparat" ketika mengajak si 
sopir truk mendekati pantai  "biar gampang urusannya". Apakah artinya ayahku 
(dan mungkin juga ibuku) dibuang ke laut sesudah dibunuh agar tanpa repot-repot 
menguburkan dan meninggalkan bekas?
 
Aku tak bisa berpikir. Truk berbelok ke arah Barat dan memasuki kota 
Pekalongan, berhenti di depan sebuah penjara yang terletak berseberangan dengan 
kali. Tengah malam itu semua penumpang disuruh turun dari truk, langsung 
digiring masuk ke penjara yang kemudian kuketahui namana Penjara Loji.
 
* * *
Mungkin ada duabelas tahunan aku menghuni penjara itu dan aku tetap tak 
mendapat berita di mana gerangan ibuku, yang bernama Sumiarti, kalau masih 
hidup, sampai saatnya aku dibebaskan. Yang aneh, di penjara itu namaku 
"disulap" menjadi Sutrisno, anggota Pemuda Rakjat pelarian dari Kediri. Itulah 
identitas yang harus kuakui setiap kali ada pemeriksaan. Padahal namaku 
Sumarsono. Aku tahu apa yang disebut Pemuda Rakyat tapi jelas aku tidak pernah 
menjadi anggotanya karena ketika masuk pejara itu aku baru menginjak usia 13 
tahunan. Kediri adalah nama kota di Jawa Timur yang hanya kukenal dalam 
pelajaran sekolah. Tapi itulah yang harus kuakui sebagai "kota kelahiranku" .
 
Karena "pelarian dari Kediri", maka saat pembebasan aku digabungkan dengan para 
tahanan yang akan dipulangkan ke Semarang. Mereka kelihatan gembira akan 
kembali ke kampung halamannya. Kecuali aku yang  justru bingung. Dalam 
perjalanan salah seorang teman berbisik: "Kalau kau memang bukan asal Kediri, 
nanti ikut turun saja di Semarang, kita coba bertani di kampungku. Aku orang 
Boja".
 
Ringkas kata, aku mengikuti ajakannya. Mungkin ada empat tahunan aku di Boja, 
untuk kemudian kami berdua sepakat untuk sama-sama mengadu nasib ke Jakarta 
sebagai kuli bangunan. Semula kami tetap berdua tinggal di bedeng, sampai bisa 
mengontrak kamar dan setelah cukup mapan kami berpisahan untuk membangun 
rumahtangga sendiri.
 
Kini kami berkeluarga dengan tiga anak. Usiaku (2001) 49 tahunan, tapi  aku tak 
putus harapan, kiranya pada suatu saat masih bisa bertemu dengan ibuku, 
Sumiarti yang tentunya sudah berusia lebih dari 75 tahunan dengan ciri-ciri ada 
bekas luka di kaki kanannya.
 
Pewawancara: Sadewa48
 
* * * 














      

Kirim email ke