Ada tulisan menarik di Kompas pagi ini, mungkin bermanfaat bagi Anda sekalian:
------------------------
Akta Kelahiran dan Hak Anak

Kompas, Kamis, 23 Juli 2009 | 04:58 WIB

Yulia H Coleman

Setiap tahun diperingati Hari Anak Nasional. Ini menyiratkan, negara ini 
memiliki perhatian besar kepada anak.

Di tengah semangat berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas kehidupan anak, 
masih banyak hak anak yang belum terpenuhi, di antaranya hak untuk dicatatkan 
kelahirannya.

Hak pertama anak setelah dilahirkan yang seharusnya diberikan negara adalah 
dicatatkan kelahirannya dan mendapat akta kelahiran, sebagaimana dinyatakan 
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 1990.

UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak juga 
menyebutkan, identitas anak harus diberikan oleh negara sejak anak dilahirkan, 
dituangkan dalam akta kelahiran. Kewajiban negara menyediakan akta kelahiran 
juga ditegaskan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan dan UU No 23/2006 tentang 
Administrasi Kependudukan (Adminduk).

Kurang dari separuh

Namun, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 menunjukkan, hanya 42 
persenâ€"kurang dari separuhâ€" anak usia balita di Indonesia yang memiliki 
akta kelahiran.

Persentase itu lebih kecil lagi untuk keseluruhan anak (0-18 tahun). Padahal, 
dokumen ini amat penting. Berbagai instansi pemerintah maupun nonpemerintah 
meminta warga menunjukkan akta kelahiran sebelum memberi layanan kepada mereka. 
Akta kelahiran menjadi salah satu syarat untuk mendaftar sekolah, melamar 
pekerjaan, membuat KTP, SIM, dan sebagainya.

Data Susenas 2007 menemukan tiga penyebab utama anak tidak memiliki akta 
kelahiran, yaitu biaya pengurusan mahal, tidak tahu pentingnya akta kelahiran, 
dan prosedur pencatatan kelahiran yang dianggap rumit.

Pertama, biaya masih menjadi penghambat orangtua mencatatkan kelahiran anaknya. 
Padahal, Penjelasan UU Adminduk Pasal 27 Ayat 2 menyebutkan, penerbitan kutipan 
akta kelahiran tanpa dipungut biaya. Besarnya pungutan pencatatan kelahiran 
sebenarnya tidak berpengaruh signifikan bagi pendapatan daerah. Namun, banyak 
pemerintah daerah memungut biaya pencatatan kelahiran. Otonomi daerah 
seharusnya mempercepat pembebasan biaya penerbitan akta kelahiran, bukan 
menjadikan lahan menambah pendapatan.

Kedua, ketidaktahuan warga akan pentingnya akta kelahiran perlu direspons 
pemerintah dengan sosialisasi. Banyak warga kurang memahami prosedur pencatatan 
kelahiran. Padahal, keterlambatan pencatatan kelahiran bagi anak di atas usia 
satu tahun memerlukan prosedur lebih panjang dan denda hingga Rp 1 juta. 
Sosialisasi prosedur dan kebijakan pencatatan kelahiran amat diperlukan; tidak 
hanya bagi warga, tetapi juga petugas terkait. Apalagi pemerintah memiliki 
rencana strategis (renstra) semua anak Indonesia memiliki akta kelahiran pada 
tahun 2011 (Surat Edaran Mendagri Nomor 474.1/2218/SJ tahun 2008).

Ketiga, prosedur pencatatan kelahiran yang dianggap rumit perlu disederhanakan. 
Perpres No 25/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan 
Pencatatan Sipil menyebutkan syarat pencatatan kelahiran meliputi surat 
kelahiran dari dokter/bidan/penolong kelahiran, nama dan identitas saksi 
kelahiran, kartu keluarga orangtua, KTP orangtua, dan kutipan akta nikah 
orangtua.

Sejumlah pemda, di antaranya Papua, Sulteng, Maluku Utara, dan Kalbar, telah 
membuat beragam program untuk mencapai target renstra 2011 di wilayahnya 
melalui pembebasan biaya, penyederhanaan mekanisme pencatatan, dan pelatihan 
petugas.

Pemprov DKI Jakarta, misalnya, mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI 
Jakarta No 15/2008 dan 19/2009 untuk meningkatkan kepemilikan warga atas akta 
kelahiran. Pergub ini memberi dispensasi pengurusan akta kelahiran gratis 
hingga Februari 2010 bagi warga atau anak mereka yang lahir sebelum UU Adminduk 
diterbitkan.

Tertib administrasi

Akta kelahiran merupakan bagian dari pencatatan sipil yang seharusnya mendasari 
perencanaan program pembangunan. Jika pencatatan sipil dan administrasi 
kependudukan dapat diperbaiki, masalah DPT dalam pemilu diharapkan tidak 
terjadi.

Tertib administrasi kependudukan memerlukan sistem legislasi yang baik. John 
Kingdon dalam Agendas, Alternatives and Public Policies menjelaskan, kebijakan 
publik akan efektif jika dapat diimplementasikan, biayanya ditolerir, diterima 
masyarakat, dan memiliki dukungan politis. Agar UU Adminduk berfungsi baik, 
juga diperlukan dukungan aturan pelaksanaan, anggaran, dan petugas yang 
terlatih, khususnya di tingkat pemda.

Negara-negara tetangga bisa menjadi contoh tertib administrasi kependudukan dan 
memudahkan pemetaan warganya. Australia langsung memberi akta kelahiran kepada 
setiap anak saat dilahirkan; Malaysia memberlakukan single identity card guna 
mencegah kepemilikan kartu identitas lebih dari satu.

Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, termasuk pencatatan kelahiran, 
perlu dibenahi agar renstra 2011 tercapai serta tidak ada lagi pemborosan uang 
rakyat akibat kesalahan data kependudukan. Dengan demikian, anggaran negara 
dapat digunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat, terutama 
anak-anak. Selamat Hari Anak Nasional!

Yulia H Coleman Analis Kebijakan Publik World Vision International Indonesia

Kirim email ke