Martin Aleida: "Perang Di Jero Tempo"
 
Teman-teman tercinta,
 
Beberapa hari lalu rekan Martin Aleida yang mantan wartawan Majalah Tempo 
mengirim naskah resensi buku Wars Within karya Janet Steele di milis Mediacare. 
Karena dikirim dalam bentuk fail lampiran, para anggota milis yang berstatus 
digest dan nomail tak dapat ikut 
membacanya.
 
Untuk itu saya kirim ulang naskah tersebut secara utuh pada postingan
ini. Naskah ini saya posting ke beberapa milis lainnya.
 
Selamat menikmati, semoga tercerahkan. Silakan kalau ingin memberi 
komentar......

Salam,

Radityo Djadjoeri
e: [EMAIL PROTECTED]
 
PERANG DI JERO TEMPO
WARS WITHIN 
Penulis: Janet Steele, @2005
Penerbit: EQUINOX dan ISEAS
xxxiv, 328 halaman
 
Oleh Martin Aleida
 
Jarang ada penulis Barat yang berhati sarat dengan
empati ketika menyentuh Indonesia. Kecuali manakala
terjadi pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi
manusia, yang buat mereka merupakan kejahatan tiada
berampun. Apa misalnya? Pembungkaman pers. Kalau sudah
begini, buat mereka masalahnya jadi hitam-putih.
Karena itulah, dalam menghadapi keadaan semacam itu,
tak aneh, kalau mereka malahan datang dengan sikap
yang kental memihak, partisan. 
 
      Inilah kesan terpenting setelah membaca WARS
WITHIN, sebuah babad tentang peperangan intern yang
terjadi di dalam salah satu penerbitan yang penting
dan berpengaruh di negeri ini: majalah berita mingguan
TEMPO, ditulis oleh Janet Steele dari George
Washington University, Amerikat Serikat. Sarjana
wanita yang bertubuh langsing dan murah senyum ini
terpesona dengan majalah tersebut setelah terjadinya
pembreidelan terhadap trio-media non-harian, TEMPO,
Detik, dan Editor Juni 1994. Tak dia jelaskan mengapa
dia hanya jatuh hati pada TEMPO dan tidak pada yang
lain. Barangkali karena sejarah TEMPO yang jauh lebih
panjang, lebih terkemuka. Lagipula, majalah inilah
yang pertama kali memperkenalkan jenis pelaporan
berita secara mendalam, in-depth news reporting, di
negeri ini dengan bahasa Indonesia yang terjaga.
 
      Dari Amerika, wanita yang semampai, berambut
pirang, itu lantas terbang ke sini dengan keyakinan
bahwa dia telah menemukan “satu cerita yang hebat”
tentang satu “majalah independen” yang jatuh-bangun di
zaman rezim militeristis Soeharto. Untuk menggali
bahan, dia tidak hanya berkenalan dengan pemimpin
redaksi, tetapi juga dengan para petugas cleaning
service. Selama enam tahun dia menelusuk di dalam
dapur majalah tersebut, seperti ayam yang mau mengeram
dengan tekun dia meneliti di perpustakaan, ikut rapat
perencanaan, juga turut mengerubungi gorengan di sore
hari, ketika para waratwan sedang menikmati saat-saat
mengendurkan ketegangan. Begitu rapatnya dia bergaul,
sampai-sampai dia pun bisa berbahasa Indonesia dengan
cukup lancar.
 
      Tak pelak lagi, Janet telah menemukan dan
menuliskan cerita yang menarik. Namun, sayang, kalau
ditilik dari mata pers zaman sekarang, dia telah
membuat kealpaan yang mendasar. Janet (demikian dia
sering disapa oleh para narasumbernya), baik di dalam
Prologue maupun Epilogue, tidak mengisyaratkan kepada
para pembaca untuk tidak mencerna WARS WITHIN dengan
perspektif masa kini. Tanpa isyarat seperti itu, akan
muncul kesimpulan yang gelap, bahwa TEMPO telah
menjual harga diri kebebasan pers kepada penguasa, dan
mendurhakai kepentingan publik akan informasi, hanya
untuk mempertahankan kemakmuran hidupnya.
 
      Kalau ditelisik seluruh halaman buku ini, maka
kelihatanlah bahwa batang tubuh majalah tersebut pekat
berbalur kompromi, untuk tidak mengatakan berserah
diri kepada kekuasaan. Ketika akan menurunkan laporan
mengenai peristiwa berdarah Tanjung Priok, awal
September 1984, misalnya, penulis masalah nasional,
Susanto Pudjomartono (kini Duta Besar untuk Rusia),
yang punya hubungan erat dengan L.B. Moerdani, sebelum
duduk dan memulai tulisannya, ternyata lebih dulu
meminta izin kepada Panglima Angkatan Bersenjata itu,
apakah TEMPO boleh “melaporkan investigasi kami
sendiri?” Penyerahan diri kepada kanjeng pangeran itu
tentu disambut dengan senyuman oleh Benny Moerdani,
seraya berucap: “Tentu! Anda punya kebebasan untuk
menulis apa saja yang Anda pikirkan!” (h.135).
 
      Kedekatan seseorang wartawan dengan penguasa
bisa menimbulkan polarisasi sikap politik di kandang
wartawan sendiri, sebagai akibat dari beragamnya latar
belakang kecenderungan politik mereka masing-masing.
Tak heran, semacam “perang” kepentingan juga muncul
dalam episode “Tanjung Priok.” Wartawan Bambang
Harymurti, yang ketika itu memiliki rekaman pidato
Amir Biki, yang menjadi tenaga pemicu demonstrasi yang
berbuntut pertumpahan darah selepas salat subuh itu,
tidak serta-merta menyerahkan tape kepada Susanto,
melainkan kepada redaktur agama, Syu’bah Asa. Sebab
ada kecemasan kalau rekaman itu diberikan kepada
Susanto, “kemungkinan (dia) akan menunjukkannya kepada
Benny Moerdani.” (h.126). 
 
      Susanto begitu intimnya dengan Benny, sehingga
setelah membina hubungan selama beberapa tahun, dia
pun bisa berbicara secara akrab dengan Sang Jenderal
dalam Bahasa Jawa biasa. 
 
      Sikap kompromistis, penuh pertimbangan, supaya
bisa bertahan hidup, yang dipaparkam dalam kisah
panjang majalah ini, pada akhirnya menjadikan klaim
Janet bahwa TEMPO adalah “an independent magazine in
Soeharto’s Indonesia,” sebagaimana yang tersurat dalam
subjudul buku yang dia tulis, ternyata tak lebih dari
sekedar sinisme yang tidak disengaja.
 
      Seruan “Tiarap …!”
 
      Tanpa mengetahui gejolak politik di dalam kancah
kekuasaan, media massa pemberitaan semasa Orde Baru
seperti berlayar dalam gelap, tanpa kompas tiada peta,
dengan lambung perahu bisa menabrak karang kematian
setiap saat. Setelah menikmati suasana kehidupan pers
yang relatif bebas sejak terbit awal Maret 1971 sampai
tahun 1982, ketika pertama kali TEMPO dibreidel, maka
untuk menjaga agar perahu jangan sampai tenggelam lagi
di bawah tekanan gelombang kekuasaan politik yang
zalim ketika itu, majalah berita tersebut memasang
kemudi strategi yang bernama lobby untuk menakar ke
mana arus politik bergerak, supaya bisa mengelak. 
 
      Segera setelah perintah pembreidelan dikeluarkan
Pemerintah tahun 1982, Pemimpin Redaksi Goenawan
Mohamad, dalam rapat yang diliputi suasana resah,
dengan raut muka yang tegang, menyerukan “Tiarap…!”
Strategi kelangsungan hidup mulai dirancang dan
dioperasikan. Sejak saat itu majalah tersebut tampil
dengan hati-hati. Lobi sebagai piranti politik dalam
mejajagi posisi lawan, mulai masuk ke dalam gaya kerja
TEMPO. Para wartawan dianjurkan untuk melobi para
pejabat Pemerintah. Ditariklah garis siapa melobi
siapa. Goenawan Mohamad sendiri, bagaikan seorang
penyair-pertapa yang harus turun dari gunung, mulai
mendekati Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Mereka
acapkali terlihat bermain tenis bersama.
 
      Tak bisa lain, di balik strategi itu adalah
kepentingan umum yang diterlantarkan. Dengan kedekatan
pada penguasa, menjaga jangan sampai kepentingan
kekuasaan politik terganggu, yang bisa mengancam
kelangsungan hidup TEMPO, maka majalah tersebut dengan
sengaja telah menutup muka pada kenyataan bahwa
pembacalah yang selama ini telah membesarkannya. Apa
boleh buat, setengah-pendurhakaan terhadap pers yang
bebas, yang dianut majalah tersebut selama ini, sudah
dimulai ketika strategi lobi dipancangkan. 
 
      Sikap memilah-milah apa yang kalau diberitakan
tidak melukai penguasa, menyebabkan tak terhitung
banyaknya berita yang diketahui wartawannya yang harus
dibuang demi kelangsungan hidup. Termasuk
menyembunyikan nama Benny Moerdani, Panglima Angkatan
Bersenjata ketika itu, sebagai orang yang berada di
belakang penembakan misterius di berbagai tempat untuk
memantapkan keamanan kekuasaan Soeharto. Dengan
kampanye kekerasan yang brutal itu, dia coba merebut
simpati publik dengan jalan menghabisi nyawa mereka
yang diduga sebagai penjahat. Kepentingan publik
(pembaca dan pembeli) diabaikan. “Begitu banyak
informasi yang masuk yang tak dapat kami laporkan,”
ucap Susanto Pudjomartono. “Haya lima atau sepuluh
persen saja yang bisa kami laporkan. Memantau berita
(jadi) lebih penting dibandingkan menulis,” katanya
menguraikan. (h. 135).
 
      Mengagumkan, sekaligus juga membikin tercengang,
bagaimana TEMPO telah membiarkan para wartawannya
menerima berita-berita yang tak bisa dimuat dari orang
di lingkaran dalam kekuasaan, seperti Benny Moerdani,
Prabowo Subianto, atau Harmoko. Untuk apa dan
dikemanakan berita-berita yang diperoleh Susanto
Pudjomartono Cs ketika itu kalau memang tak bisa
dimuat? Disimpan di dalam file? Dioper ke
wartawan-wartawan asing yang beroperasi di sini?
Dijadikan bahan tawar-menawar? Atau mau ditulis kelak
di suatu masa? Tak ada jawaban. Karena Janet yang
sedang jatuh hati rupanya tidak tergoda untuk bertanya
mengenai cacat yang satu ini. Namun, agaknya terlalu
salahkah kalau ada yang sampai pada dugaan kuat bahwa
para wartawan seperti Amran Nasution, Herry Komar,
Karni Ilyas, Susanto Pudjomartono, untuk menyebutkan
beberapa nama saja, telah menuai dari lobi-lobi mereka
selama ini, terutama ketika mereka akan meniti karier
setelah meninggalkan rumah besar mereka yang bernama
TEMPO?
 
      Tanpa pesaing yang berarti, TEMPO bergelimang
kemakmuran. Namun, tak selamanya biduk berlayar dengan
tenang. Guncangnya perimbangan kubu-kubu kepentingan
politik di dalam pemerintahan, juga di dalam batang
tubuh TEMPO sendiri, membuat penjagalan kedua terhadap
majalah tersebut tinggal menunggu waktu. Cuaca tambah
memburuk, badai kian bergalau, ketika pada tahun 1993,
Goenawan Mohamad mengumumkan niatnya untuk
mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi, dan
melimpahkan tanggungjawab sehari-harinya kepada orang
nomor dua, wartawan flamboyan Fikri Jufri. Dia ingin
memusatkan perhatian sebagai penulis saja, dan kalau
ada kesempatan, sesekali terbang ke luar negeri
memberi kuliah atau ceramah. 
 
      Memang, sejak saat-saat awal majalah tersebut
berdiri, Goenawan sudah mengisyaratkan wasiat bahwa
dia takkan selamanya akan berada di atas, dan bahwa
dia tidak ingin bercokol terus di kursinya. Dia bagai
dewa yang menggeliat ingin mendobrak kekuasaan mutlak
yang berada di genggamannya sendiri. Berbeda dengan
sikap tokoh pers lain, yang terus berupaya
mengelus-ngelus kursi jabatan dengan harga berapa pun,
maka sikap sang penyair memang tiada duanya dalam
sejarah pers nasional.
 
      Buat wartawan-wartawan muda yang bergabung
dengan TEMPO pada awal 1971, (bahkan sebelumnya,
ketika Goenawan Mohamad masih memimpin majalah berita
Ekspres) seperti Harun Musawa, Yusril Djalinus, Herry
Komar, sosok Goenawan dipuja seperti “setengah Nabi”
dalam pembicaraan santai mereka di belakang sang
tokoh. Apa yang dikatakannya – dan dia memang selalu
berkata jujur dan benar – amatlah sulit untuk
ditampik. Dia adalah personifikasi jurnalisme yang
netral. Dengan kepribadian yang terkadang mengesankan
angkuh, sulit ditebak. Dan jelas tak mudah untuk
dibujuk. 
 
      Karena itulah niat Mas Goen (demikian dia selalu
dipanggil dengan akrab) untuk “lengser” telah
menimbulkan guncangan terhadap biduk yang sedang
berlayar laju. Keseimbangan mulai terbuai. Di kalangan
para wartawan timbul semacam suasana keputusasaan,
karena orang yang begitu mengilhami akan pergi
meninggalkan kemudi. “Kalau ini adalah bagian dari
strategi, maka orang yang berada di atas seharusnya
tidak berdiri di pihak siapa pun. Goenawan adalah
orang yang semacam itu. Tetapi, Fikri tidak. Jadi,
inilah yang telah menggoyang keseimbangan,” kata
Bambang Harymurti. (h. 236). 
 
      Bambang, yang sekarang menjadi Pemimpin Redaksi,
bergabung dengan majalah tersebut awal 1980-an,
sebagai koresponden di Bandung. Dia dikenang bukanlah
sebagai wartawan dan penulis yang handal, sekalipun
dia selalu punya gagasan berita yang baik. Cerdas,
pandai bergaul, dan punya kemampuan manajerial yang
memadai, barangkali. Mungkin juga dia dianggap sebagai
wartawan muda yang loyal. Walaupun dia sempat bersikap
“mendua” ketika 32 wartawan bergabung dalam eksodus
besar-besaran untuk mendirikan Editor tahun 1987,
dengan tujuan terang-terangan untuk “membunuh” tuannya
sendiri: TEMPO. Sikap pemodal yang memang tak pernah
adil, ditambah polarisasi kecenderungan politik para
wartawannya, telah memicu begitu banyaknya staf
majalah tersebut yang mengundurkan diri. Tigapuluh-dua
wartawan sekaligus! Belum termasuk staf perusahaan.
Mungkin, inilah pengunduran diri paling besar dalam
dunia pers nasional, barangkali juga internasional.
 
      Fikri Jufri, seorang penulis masalah ekonomi dan
bisnis yang tajam dan memikat, dengan penciuman
politik yang peka, adalah kutub yang lain. Dia tak
punya pengikut, apalagi pengagum sebagaimana Goenawan
Mohamad. Kata-kata bersayap Mas Goen tentang
“cita-cita kita yang sama mengenai jurnalistik,” yang
dia ucapkan dalam rapat persiapan 15 Januari 1971,
kurang dari dua bulan sebelum TEMPO terbit (6 Maret
1971), telah terbang disapu angin lalu. Para wartawan
yang dianjurkan melobi kanan-kiri, ternyata telah lupa
pulang ke rumah mereka sendiri. Yang menuntun mereka
bukan lagi “cita-cita kita yang sama mengenai
jurnalistik,” tetapi Paduka Tuan yang menjadi teman
dekat sekaligus sumber berita dan gantungan hidup di
masa depan yang tidak pasti. Para wartawan
terperangkap dalam kutub-kutub lobi mereka sendiri.
Keputusasaan berbaur dengan bau ketidakpercayaan
antara klik yang satu dengan klik yang lain.
Masing-masing wartawan tambah merapat dengan lobi dan
tambah mendurhakai tuan mereka sendiri. Fikri Jufri
tinggal sendirian di kemudi.
 
Kapal perang rongsokan 
 
      Adapun di luar, laut gonjang-ganjing. Tahun
1988, Soeharto mengganti Jenderal Benny Moerdani
sebagai Panglima Angkatan Bersenjata, dan memberinya
kedudukan yang kurang berkuasa, sebagai Menteri
Pertahanan dan Keamanan. Tahun 1993 jabatan yang
kurang penting itu pun malahan dicopot pula dari
pundaknya. Walaupun tak terbuka, Benny dikabarkan
telah memihak pada suara publik yang berada “di bawah
tanah” dan bersikap kritis terhadap Soeharto, dalam
kaitannya dengan tingkah-laku semua anak-anak “Bapak
Pembangunan” itu dalam praktik bisnis yang kotor. 
 
      “Pembangkangan” tokoh militer itu mendorong
Soeharto mencari dukungan dari kalangan Muslim, dengan
Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), B.J.
Habibie, sebagai perlambang. Karena kedekatan TEMPO
dengan Benny Moerdani, maka bagi banyak pendukung
ICMI, majalah berita tersebut dimasukkan ke dalam
kelompok yang anti terhadap organisasi besar dari kaum
terpelajar yang membawa bendera Islam tersebut. Dan
buat mereka, membela majalah itu merupakan sikap yang
tak terpuji, naif. (h. 238).
 
      Pada tanggal 11 Juni 1994, TEMPO menurunkan
laporan utama mengenai pertikaian di dalam
pemerintahan seputar pembelian 39 kapal parang bekas
dulunya milik Jerman Timur. Laporan berkisar pada
harga beli yang dianggap tidak pantas serta konflik
antara Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie dengan
Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad. Beberapa perwira
tinggi, terutama dari Angkatan Laut, tidak menyetujui
pembelian armada kapal bekas itu, dan mereka
menganggap B.J. Habibie telah menggerogoti wewenang
mereka.
 
      Menurut Fikri Jufri kepada penulis resensi buku
ini, TEMPO memutuskan laporan itu karena “uang rakyat
yang tidak kecil jumlahnya yang telah disalahgunakan.”
Semata-mata itulah, katanya, pertimbangan rapat
redaksi dalam memilih topik itu, dan bukan karena
kemauannya sendiri. Karena apa yang menjadi berita
ditentukan secara kolektif, bukan oleh seseorang,
sekalipun dia Pemimpin Redaksi. Tetapi, wartawan TEMPO
Agus Basri, yang menulis laporan utama mengenai
Habibie dan ICMI, beberapa pekan sebelumnya, kepada
Janet Steele, menyebutkan dipilihnya laporan tentang
kapal perang rongsokan dari Jerman Timur tersebut
“punya maksud tertentu.” (h. 240). Agus bahkan menuduh
Fikri “bias terhadap Habibie.” Menurut Agus lagi,
ketika tersiar kabar salah satu dari kapal perang
butut dari Jerman Timur itu tenggelam dalam pelayaran
menuju Indonesia, saking senangnya, Fikri Jufri
mencak-mencak bersyukur dan berteriak dengan sinis,
“Alhamdulillah!” Isma Sawitri, yang sedang mengedit
laporan itu, terpengaruh oleh Fikri, dan menjadi salah
seorang dalam barisan pembenci Habibie.
 
      Agus Basri, sebagaimana yang lebih lanjut
dikutip Janet, memoleskan warna yang buruk pada wajah
teman sejawatnya sendiri, dengan menceritakan bahwa
Max Wangkar, yang menulis laporan utama, “punya
masalah dengan Habibie.” Karena Max, katanya, seorang
pemeluk agama Kristen, lulusan sekolah teologi lagi.
Dengan “analisa” pandir seperti yang dilansir Agus
Basri itu, menurut Janet, “jelaslah bahwa suasana di
dalam majalah tersebut” sungguh telah dipenuhi racun
dan bisa. (h. 241).
 
      Sebagaimana yang tercatat dengan tinta merah
dalam sejarah pers, TEMPO ditutup untuk kedua kalinya
di zaman rezim Soeharto tanggal 21 Juni 1994, dan
hanya bisa merangkak kembali setelah banjir reformasi,
yang dihumbalangkan para mahasiswa dan rakyat
dibarengi tekanan internasional, yang melanda negeri
ini.
 
      Sebagai penanggungjawab, Fikri Jufri dengan
tegas menampik tuduhan bahwa penyebab pemberangusan
adalah sikapnya yang bias terhadap putra mahkota
Soeharto, Habibie, dan “ada mainnya” dengan Benny
Moerdani, sebagaimana yang dituduhkan oleh Agus Basri.
(Jauh sebelum pembreidelan, Susanto Pudjomartono
sebagai pelobi Benny sudah menjabat sebagai Pemimpin
Redaksi The Jakarta Post, harian berbahasa Inggris di
mana TEMPO punya andil.) Menurut Fikri, ada rencana
jahat di belakang itu semua. “Habibie mendatangi
Soeharto,” katanya, sebagai bagian dari rencana busuk
untuk membunuh majalah yang dia pimpin. “Karena TEMPO
adalah musuh.” (h. 239). Ya, musuh kekuasaan yang
harus disingkirkan. 
 
      Sebagai seorang profesional, kelihatannya tak
ada lagi yang lebih menyakitkan hati Fikri Jufri
daripada tuduhan kedekatannya pada Benny Moerdani
sebagai penyebab bencana pembreidelan. Menjelang akhir
Orde Baru, boleh dikatakan tak ada pejabat pemerintah
yang suka pada sosok Fikri, terutama Menteri
Penerangan Harmoko, yang terus-menerus menunda
pengesahan Fikri Jufri sebagai pemimpin redaksi secara
resmi. Di dapur sendiri juga begitu. Teman-teman
sejawatnya sudah lupa pada jerih-payah anak Gang Haji
Murtado ini ketika mengejar Ali Moertopo sampai ke
“ujung dunia” (Bali) untuk mendapatkan nafas TEMPO
kembali setelah pemberangusan di tahun 1982. 
 
      Penulis yang dia kagumi, kawan seperjuangannya
sendiri, Goenawan Mohamad, ikut meningkahi suara
gendang yang menggiring Fikri hingga terpojok. Kata
Mas Goen, sama seperti Susanto Pudjomartono, Fikri
juga tergoda (seduced) oleh Benny, yang digambarkan
olehnya sebagai perwira tinggi yang sulit dicari
tandingannya. Cerdas. Tangkas. Sangat bersahabat. Tahu
segala. Berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih.
Apalagi. “Dia (bersikap) sangat bersahabat terhadap
saya setiap kali kami bertemu. Dan Anda bisa tergoda,”
ucap Goenawan kepada Janet. (h. 137)
 
      Goenawan dengan bertalu-talu dikutip oleh Janet
Steele, dan dia kelihatannya hanyut oleh sumber cerita
utamanya ini, sehingga agaknya lupa bersikap berimbang
ketika menyangkut keterangan yang mungkin bisa
memberikan citra buruk tentang seseorang. Terutama
ketika uraiannya menyangkut hubungan Fikri dan Benny.
“Semua halaman berisi hasil wawancara dengan Goenawan.
Sedangkan saya, yang dituduh macam-macam, cuman sekali
diwawancarai. Hah…, ini benar-benar bias,” kata Fikri
kepada penulis artikel ini.
 
      Katanya, ini bukan pertama kali dia diperlakukan
secara tidak adil oleh seorang penulis. Majalah
PANTAU, yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus
Informasi (ISAI) dan justeru punya kedekatan dengan
Goenawan Mohamad, juga memperlakukannya seperti itu.
Dia dicap sebagai orangnya Benny Moerdani. Tanpa
sepatah kata tanggapan pun yang dikutip dari dia.
 
      Episode Pramoedya 
 
      Dalam WARS WITHIN Mas Goen keluar tanpa cacat.
Dan dia barangkali memang tidak pantas untuk setoreh
cacat sekalipun. Seorang pemimpin dikagumi bukan
bagaimana dia berpesta-pora dengan pasukannya dalam
merayakan kemenangan, tetapi bagaimana dia memberikan
martabat kepada musuh yang telah dibikinnya bertekuk
lutut. Dan Mas Goenawan punya bakat menerima titisan
kebijaksanaan seperti itu. 
 
      Begini. Ketika Pramoedya Ananta Toer baru saja
dibebaskan dari pulau pembuangan Buru akhir 1970-an,
Mas Goen menulis satu artikel yang kritis terhadap
pengarang paling terkemuka yang berahang liat itu.
Goenawan memanggil saya (penulis artikel ini), yang
duduk tak jauh dari meja-tulisnya. Disuruhnya saya
membaca ulang rancangan tulisan itu. (Seingat saya,
ini untuk ketiga kalinya dia menunjukkan tulisannya
kepada saya, sebelum diturunkan, mungkin sekedar untuk
menguji data yang terkandung di dalam tulisan itu. Dan
saya, sampai kini mengenang dengan rasa hormat yang
tinggi pada sikapnya yang rendah hati seperti itu.) 
 
      Waktu itu, saya usulkan kepadanya untuk meminta
Pram membaca tulisan itu lebih dulu. Agak marah, nada
suaranya meninggi: “Mengapa harus dia baca dulu…?”
Saya jawab dengan spontan, walau sedikit gugup: “Untuk
mencek kebenaran fakta, dan memberikan kesempatan
kepadanya untuk menjawab. Kalau ditunggu reaksinya
setelah terbit, ‘kan dia dilarang menulis?!” Mas Goen
diam. Kemudian, dia menyelipkan tulisannya itu ke
dalam laci, dan di situ tulisan tadi hanya tinggal
menjadi milik waktu untuk selama-lamanya. Begitulah
rupanya cara Sang Pemimpin menghargai martabat seorang
bekas pesakitan yang dia anggap pernah berperangai
sewenang-wenang ketika suatu waktu dulu sempat berada
di puncak kejayaan. 
 
      Episode itu tak muncul dalam WARS WITHIN. Karena
Janet kelihatannya hanya terpikat pada penggalan kedua
dan terakhir dari sejarah perjalanan TEMPO. Lagipula,
sumbernya, selain Goenawan Mohamad, terlalu terpusat
pada Bambang Harymurti, yang sebenarnya baru tampil di
babak kedua dari penggalan perjalanan hidup majalah
tersebut. Memang, sebelum 1980-an benturan dengan
kekuasaan tidak begitu sengit, karena suasana
kebebasan pers yang relatif longgar. Tetapi,
peperangan melawan birokrasi intern majalah itu
sendiri, tak kalah sengit. Raksasa-raksasa seperti
Christianto Wibisono dan Usamah (karena manipulasi
yang berkaitan dengan pemberitaan dan keuangan) sampai
terjungkal. Dan di atas segalanya, orang setangguh
sastrawan-wartawan Bur Rasuanto pun tak cukup kuat
untuk bertahan.
 
      Edisi pertama majalah tersebut dicetak 12.500.
Terjual habis. Terbitan kedua dilipat-duakan. Habis!
Pada awal 1980-an tiras majalah tersebut sudah
berkisar di angka 160.000. Kemajuan pesat. Tetapi,
tidak diikuti dengan manajemen yang baik. Jam
terbitnya selalu terlambat. Bur Rasuanto, yang
berambisi untuk memimpin majalah tersebut ke dalam,
sedangkan Goenawan hanya bertanggungjawab keluar,
kelimpungan menghadapi batas waktu cetak yang selalu
molor. Berbagai kiat dia lakukan untuk mengatasi
keadaan. Pernah disediakan “pool” uang sebesar sebulan
gaji. Yang paling produktif menggondol uang itu. Tapi,
karena protes dari wartawan yang kalah, maka “pool”
itu dianggap “tak aci” dan langsung distop. 
 
      Singkat cerita, Bur, yang berdarah Komering itu,
sudah tak tahan lagi melihat naskah-naskah yang tetap
saja menumpuk tidak dikerjakan tepat waktunya oleh
para redaktur dan menjadi biang-keladi keterlambatan.
Di kantor cikal-bakal TEMPO, yang terletak di Jalan
Senen Raya, di seberang kantor pegadaian sekarang,
pada suatu hari yang naas, Bur menyambar naskah yang
menganggur belum tersentuh juga di meja seorang
redaktur. Dia memang penulis yang cepat. Tulisan yang
sudah dia rampungkan sendiri itu lantas dia turunkan.
Tak ayal, redaktur yang bersangkutan melapor kepada
Mas Goen, bahwa Bur telah menabrak prosedur. Goenawan
membenarkan protes itu. Bur jadi naik darah. “Ah, kau
juga …,” katanya berang, seraya melayangkan secangkir
kopi ke muka Goenawan. Luput, dan cangkir itu pecah
membentur dinding. Goenawan tak terpercik barang
setetes kopi pun. Ketika berjalan melewati ruangan
reporter, entah mau pergi ke mana, Goenawan masih bisa
senyum bercanda dan berkata, “Kalian lihat tadi tenaga
dalam saya…?” Kelakar itu membuat kami, para reporter,
tersenyum getir.
 
      Seminggu setelah peristiwa “secangkir kopi” itu,
rapat besar digelar di Gedung Pembangunan Jaya, di
Jalan Thamrin, Jakarta. Eric Samola, sebagai Pemimpin
Umum menegaskan “tak ada harta milik perusahaan,
sekecil apa pun, yang boleh dirusak.” Esoknya, dan
untuk selamanya, Bur Rasuanto sudah tidak bersama kami
lagi. Tamatlah riwayat dua-serangkai yang sesungguhnya
amat ideal itu. Goenawan yang bijak dan Bur yang
pekerja keras. 
 
      Bendera yang tumbang 
 
      Sebagai orang pertama yang diwawancarai Janet
Steele, penulis resensi ini, sebagai mantan wartawan
TEMPO, mengatakan kepadanya bahwa saya keluar tahun
1984 (bukan 1985 seperti yang dia tulis) karena
majalah itu “telah kehilangan idealisme” dan “telah
menyimpang dari misi semula.” (h.208). 
 
      Ketika itu, Janet datang dengan sikap yang
berapi-api memuja Goenawan Mohamad dan timnya.
Sekalipun majalah yang dipimpinnya sudah diberangus,
katanya, orang tetap mengenangnya, dan malah ikut
berjuang untuk mengembalikan hak hidup kepada media
berita yang dia kelola. Saya tidak bermaksud
mengecilkan peran Goenawan, tetapi kepada Janet, yang
datang bersama Melani Budianta ketika itu, saya
katakan: “Jangan melupakan faktor lain. Ketika tim
Goenawan, yang malahan diperkuat oleh Arief Budiman
dan Taufiq Ismail, bekerjasama dengan B.M. Diah,
membangun majalah berita Ekspres, namun tim itu tidak
berhasil. Jadi Ciputra dan Ali Sadikin, yang kemudian
menjadi kawan seperjalanan TEMPO, seharusnya
diletakkan juga di meja catur.” 
 
      “Idealisme” yang saya katakan telah
dipertentangkan secara bertolakbelakang oleh Janet
dengan “kemakmuran” material yang sudah diraih majalah
itu. Yang saya maksudkan “meninggalkan idealisme,” tak
lain adalah bahwa TEMPO sudah meninggalkan “bendera”
yang dia kibarkan selama lebih dari satu dasawarsa
sebagai majalah berita yang dinanti-nanti publik.

Karena laporan-laporannya sering tidak ditemukan di
surat-surat kabar atau media lain. Dia malah sering
menjadi sumber berita bagi koran-koran terpandang
seperti KOMPAS, Sinar Harapan, The Straits Times
Singapura dan lain-lain, juga kantor berita AFP dan
Reuters. Puncaknya adalah laporan pembongkaran
kebobrokan perusahaan minyak negara Pertamina di bawah
pimpinan Ibnu Sutowo, dengan Fikri Jufri sebagai ujung
tombak penulisnya. Majalah tersebut juga membuat scoop
yang membuat iri para pemburu berita, ketika dia
memuat wawancara khusus dengan kroni paling top
Soeharto, raja semen dan raja segala raja, Liem Swie
Liong.
 
      Melalui satu rapat yang menentukan di Wisma
TEMPO di Sirnagalih, dekat Puncak Pass, “bendera”
kebanggaan itu diturunkan. Tak sebagaimana biasa,
Goenawan membuka rapat dengan naskah di tangan.
Intinya, perubahan orientasi, dari majalah yang
dinanti karena beritanya yang eksklusif, menjadi
majalah yang “mengekor” pada kehangatan berita yang
dibawakan media harian.
 
      Fikri Jufri, Lukman Setiawan, dan saya,
menentang pembalikan haluan itu. Goenawan
berargumentasi dengan mengatakan, “eksklusif” tidak
hanya berarti media lain tidak memilikinya.
“Eksklusif” juga berarti media lain, katanya, bisa
saja memilikinya, tapi TEMPO “eksklusif” karena lebih
mendalam. Saya langsung angkat tangan, menolak, dengan
mengatakan “kedalaman” takkan bisa dicapai, karena
wartawan TEMPO dilarang “mangkal” sebagai bagian dari
perang sucinya memberantas “wartawan amplop.”
Bagaimana mungkin mendapatkan kedalaman, atau
kutipan-kutipan yang spontan, khas, menarik, kalau
narasumber tidak mengenal wartawan yang
mewawancarainya. 
 
      Saya tak habis pikir, mengapa Goenawan tidak mau
berterus-terang saja bahwa majalah yang dipimpinnya
tidak bisa lagi mengandalkan diri pada
individu-individu wartawannya yang memang tangguh,
seperti George Aditjondro dan lain-lain. Tapi, harus
tunduk pada satu sistem. Untuk mempertahankan
kemakmuran, yang diperlukan adalah kesetiaan pada
sistem, dan bukan pada kehebatan orang-perorang. Tiga
suara menentang, melawan seluruh floor yang mengamini
Goenawan, maka tumbanglah sudah “bendera” TEMPO yang
berkibar selama ini. Jadinya dia tinggal hanya sedikit
lebih berharga dari kliping-kliping koran. Pelanggan
memang tak bergeser. Cuma, dalam satu dasawarsa,
sampai dia dibungkam tahun 1994, tirasnya hanya naik
sekitar 20.000 eksemplar.
 
      Setelah rapat itu, perubahan besar pun terjadi
di dalam dapur. Para wartawan tidak lagi
mengejar-ngejar berita, sliweran di jalan-jalan,
menggali di sana-sini. Ruangan perpustakaan, tempat
koran menumpuk, jadi banjir wartawan. Maka, yang
diperlukan tidak lagi ketajaman pena, tetapi berapa
panjang dan berapa kasatnya lidah untuk berdebat di
dalam rapat untuk menentukan berita hangat yang mana
yang harus di-follow-up-i. Episode penting ini juga
tak terungkap dalam WARS WITHIN.
 
      Sebagai seorang perantau di negeri orang, Janet
Steele terkesan kurang ketat dalam memverifikasi
keterangan narasumbernya. Mungkin, memang ada yang
sudah lupa pada peristiwa yang terjadi lebih 30 tahun
lalu. Seperti Salim Said, yang mengaku ketika majalah
tersebut baru berumur sejagung, dialah katanya yang
bertanggungjawab dalam program pendidikan dan
pelatihan untuk tenaga wartawan baru. Jabatan yang dia
pegang itu bukan di TEMPO, tapi barangkali di Angkatan
Bersenjata, di mana dia pernah bekerja. Sejawatnya
juga kemungkinan bisa ternganga ketika dia mengaku
bahwa dialah yang berkeliling dengan mengendarai
scooter bersama Syahrir Wahab mencari surat izin
terbit untuk TEMPO, dan bukan Fikri Jufri! Mungkin
Salim Said tidak lupa. Melainkan Janet yang salah
salin dari catatannya. Nama redaktur internasional itu
tumpang tindih dengan nama Nadjib Salim, reporter yang
kemudian dipindahkan ke bagian pendidikan.
 
      Janet juga kurang awas dengan tabiat sehari-hari
narasumbernya. Dia tak tahu bahwa di Deli, misalnya,
“membual” bukanlah perbuatan dosa. Dia justeru dicari
sebagai hiburan, malah. Karena, tujuannya bukan untuk
mencari keuntungan materiil, tetapi untuk mencari efek
lucu, yang kalau diceritakan kembali di kedai kopi,
siapa-siapa saja yang jadi “korban” penipuan dalam
gaya ini, maka orang se-kedai pun akan tertawa,
terhibur.
 
      Maka, adalah orang Medan, Amarzan namanya. Nasib
yang buruk telah menyebabkannya terbuang ke Buru.
Menurut kisah Janet Steele, Amarzan yang baru pulang
sebagai “orang rantai” pada tahun 1979, mendatangi
Susanto Pudjomartono, dan menawarkan laporan tentang
suasana gelombang pembebasan terakhir dari pulau
pembuangan itu. Sedapnya pula adalah bahwa Susanto
tidak punya kesempatan membantah bualan itu. Karena
dia tentu tahu, Amarzan berkenalan dengan TEMPO,
karena majalah itu akan menulis satu laporan utama
untuk menyambut pembebasan Tapol yang sangat
bersejarah tersebut. Di dalam rapat, muncul
pertanyaan, bagaimana menceritakan keadaan Buru ketika
akan dikosongkan? Seorang peserta rapat perencanaan
menjanjikan bahwa bakal ada seorang penulis yang
memang berbakat, yang jadi Tapol dan dibuang ke Buru,
yang boleh jadi bersedia menuliskan catatan. Maka,
Amarzan pun dicarilah. Dan dia bersedia menuliskan
satu laporan. 
 
      Menurut cerita Janet, “Tak lama kemudian,
Amarzan menemukan surat di bawah pintunya. Surat itu
berasal dari Susanto yang menyatakan keinginan untuk
mengajaknya bergabung dalam proyek ‘Apa & Siapa’
TEMPO.” Wah! Menemukan surat di bawah pintu, tak tahu
siapa yang membawanya? Amboi makjang…! Ini adalah gaya
Medan, bagaimana membuat diri supaya kelihatan “tinggi
sebenang.” Dan setelah membaca “bual” yang dia
letupkan itu, tentulah Amarzan tersipu-sipu, terhibur…
Dasar!
 
      Mungkin masih ada saja kesalahan-kesalahan yang
kurang berarti dalam satu kisah tentang satu
penerbitan pers yang begitu penting dan sudah berusia
30 tahun lebih. Seperti menyebutkan Zulkifly Lubis
sebagai salah seorang pendiri TEMPO, mentang-mentang
anak Medan yang “luwes” ini sekarang duduk sebagi
salah seorang direktur. Bagaimanapun, Janet Steele
telah menyelesaikan pekerjaan besar dalam menyusun
satu dokumen penting tentang sepenggal sejarah pers
dari satu negeri yang jauh, di mana kebebasan pers
masih merupakan angan-angan yang musykil. Dan dia
telah menulisnya dengan empati dari hati wanitanya
yang dalam, sebelum orang lokal, terutama orang TEMPO
sendiri, belum sempat berpikir untuk menuliskan
riwayatnya sendiri yang begitu kaya. ***
 
Martin Aleida
Sastrawan, mantan wartawan TEMPO 
 

                        
---------------------------------
Yahoo! Shopping
 Find Great Deals on Holiday Gifts at Yahoo! Shopping 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
AIDS in India: A "lurking bomb." Click and help stop AIDS now.
http://us.click.yahoo.com/VpTY2A/lzNLAA/yQLSAA/MtTslB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Serikat-Kaum-Terkutuk/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke