Ralat dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
   
  Semalam saya terima email dari Bung Fauzan dari MMI. Ia ingin meralat artikel 
di Pikiran Rakyat tentang PKS. Menurutnya, yang "menyemprot" PKS adalah MMI 
(Majelis Mujahidin Indonesia) bukan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Pasalnya, Y. 
Herman Ibrahim adalah ketua litbang MMI, bukan HTI.
   
  Jadi subyek di email lalu mohon dibaca sebagai berikut:
   
  MMI "menyemprot" PKS: "Fa-aina Tadzhabun" PKS?
   
  Berikut artikel lengkapnya:
   
  "Fa-aina Tadzhabun" PKS?
Oleh Y. HERMAN IBRAHIM
   
  Demokrasi dianggap sebagai sistem yang terbaik dibandingkan dengan
berbagai sistem pemerintahan lain. Bahkan ada fatwa ulama besar yang merestui 
kelompok Islam masuk ke dalam sistem tersebut. Meski dengan embel-embel 
"darurat" masuknya Islam dalam sistem demokrasi seakan-akan membenarkan sistem 
itu di atas sistem Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
   
  Konsep musyawarah lantas dijadikan rujukan bahwa ajaran demokrasi
tidak bertentangan dengan Islam. Padahal ada tokoh ulama yang menolak 
demokrasi, seperti Syaikh Abu Muhammad 'Ashim Al Maqdisiy, Muhammad Abu Nashr 
yang mensinyalir paling tidak ada 13 hal kesyirikan demokrasi.
   
  Salah satu ciri kemusyrikan demokrasi adalah seakan-akan rakyat atau
suara mayoritas mereka yang diwakili di parlemen memiliki hak untuk
menentukan hukum dan perundang-undangan di luar aturan hidup dan
hukum Allah yang ditetapkan dalam Al Quran dan As Sunnah.
   
  Sangat penting untuk dikatakan bahwa keterlibatan Islam dalam partai
politik harus tetap memperjuangkan tegaknya syariat. Itulah sebabnya
banyak orang menaruh harapan besar tatkala kelompok tarbiyah
(Ikhwanul Muslimin Indonesia) membentuk partai politik yang bernama
Partai Keadilan. Harapan itu tidak mengada-ada karena obrolan pertama penulis 
dengan Nur Mahmudi, Presiden PK yang pertama, tampak sekali keinginan untuk 
menegakkan syariat Islam. Tema-tema kampanye PK-pun mengangkat isu 
tathbiqussyariah dan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Disertai dengan 
komitmen yang kuat dari para pendukungnya kita saksikan PK tampil di Pemilu 
1999 dengan raihan suara yang cukup banyak walaupun tidak mencapai electoral 
threshold.
   
  Pada Pemilu 2004, PK yang berganti nama menjadi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) meraih 45 kursi di parlemen. Ini merupakan lonjakan
yang sangat dahsyat karena pada Pemilu 1999 PK hanya mendapat tujuh kursi. 
Kemenangan PKS membangkitkan harapan bahwa gema tentang tegaknya syariat Islam 
melalui produk perundang-undangan akan semakin menggaung. Tatkala terjadi 
perebutan posisi ketua MPR, DPR, komisi-komisi dan lain-lain, PKS memperoleh 
posisi terhormat dengan terpilihnya Hidayat Nur Wahid sebagai ketua MPR. 
Beberapa menit setelah pelantikan, tiba-tiba harapan dan cita-cita yang sudah 
lama terobsesi tentang tegaknya syariat Islam menjadi buyar tatkala
Hidayat Nur Wahid secara eksplisit mengatakan tidak ada niat untuk
menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara.
   
  Tentu saja, penulis melakukan klarifikasi. Beberapa teman yang
memiliki posisi penting di PKS pusat maupun daerah mengatakan bahwa apa yang 
dikatakan Hidayat Nur Wahid tidak bertentangan dengan misi partai. PKS tetap 
bercita-cita menegakkan syariat Islam dengan catatan partai ini harus meraih 
suara.
   
  Bagi PKS kemenangan pada pemilu dengan raihan suara terbanyak adalah 
persyaratan utama karena dalam sistem demokrasi sebuah kemenangan akan 
ditentukan oleh jumlah suara. Oleh karena itu pernyataan Hidayat wajar dan 
taktis karena bukankah PKS belum memperoleh kursi mayoritas di parlemen. Suatu 
hal yang prematur jika Hidayat mengeluarkan pernyataan tentang penegakan 
syariat Islam di saat partai ini tidak menjadi mayoritas. Namun beberapa 
kelompok Islam ideologis menilai PKS telah keluar dari janji dan tema-tema 
kampanyenya. Logika yang dibangun PKS tampaknya sangat rasional. 
   
  Demokrasi tanpa raihan suara terbanyak hanyalah sebuah kerja bakti. Dia tidak 
menentukan dan hanya menjadi kelompok pengekor dari sistem kekuasaan yang 
dibangun oleh partai mayoritas. Maka PKS harus menang pemilu terlebih dahulu, 
baru menjalankan cita-cita yang terkandung dalam AD/ART-nya. Inilah hal yang 
berbeda untuk tidak dikatakan bertentangan dengan kelompok Islam yang memilih 
berjuang di luar sistem. Tetapi logika demokrasi tampaknya akan tetap menjadi 
pilihan sebuah partai politik tidak terkecuali PKS.
   
  Pertanyaannya adalah apakah benar PKS akan memenangkan pemilu 2009? Apakah 
dengan demikian PKS akan menjadi kekuatan Islam dominan penentu tegaknya 
syariat Islam? Apakah PKS akan berhasil meraih suara dari kalangan nasionalis 
yang saat ini berada dalam tubuh Golkar dan PDIP? Bukankah jika ingin menjadi 
pemenang pemilu haruslah menarik para pemilih yang selama ini berada di 
kelompok mayoritas? Dan apakah PKS akan menjadi partai mayoritas tunggal? 
Bukankah hanya partai mayoritas tunggal yang bisa menentukan arah negeri ini 
mau dibawa seperti halnya Golkar di era Orba?
   
  Dalam pandangan penulis cita-cita PKS seperti itu hanyalah ilusi.
Beberapa gejala menunjukkan bahwa PKS tidak pada posisi yang akan
memenangkan Pemilu 2009 bahkan pemilu-pemilu selanjutnya, karena
dalam beberapa segi PKS tidak menunjukkan karakter yang istimewa
dibanding dengan partai-partai lainnya. Meskipun kader PKS relatif
lebih bersih, itu tidak cukup untuk menjadikan PKS sebagai leading
party. PKS sadar benar bahwa kekuasaan uang menjadi faktor yang
menentukan kemenangan dalam demokrasi sekuler. PKS juga tahu bahwa uang itu 
menumpuk di birokrasi pemerintahan, maka sebagaimana partai-partai lainnya 
PKS-pun terlibat secara intens dalam perebutan kekuasaan di pusat maupun di 
daerah. PKS melakukan tawar-menawar politik dengan penguasa dan seperti partai 
lainnya berupaya merebut jabatan gubernur, bupati dan walikota dalam setiap 
pilkada di seluruh Indonesia.
   
  Pragmatisme PKS sangat tampak pada proses Pilpres. Konon beberapa
kader PKS pada tingkat sekjen dan Dewan Syuro tanpa rasa sungkan dan risih 
menemui salah seorang calon presiden, dalam hal ini perlu
tabayyun apakah mereka sengaja mendatangi atau diundang. Meski perlu pembuktian 
tetapi beberapa sumber menyebutkan telah terjadi
kesepakatan dukung mendukung dengan calon presiden tersebut, dan
kesepakatan itu berarti sebuah transaksi yang bermuara di angka.
Tentu kelihatannya hal itu seperti sesuatu yang wajar, tetapi untuk
sebuah partai yang berbasiskan Islam transaksi semacam itu -dalam
pandangan penulis- tidaklah pantas untuk dilakukan. Fakta selanjutnya
menunjukkan bahwa walaupun konon pula PKS telah menerima dana namun dukungannya 
ternyata dialihkan kepada calon presiden yang lain.

  Dengan cara ini PKS telah melakukan tindakan wanprestasi politik
kepada seseorang karena di satu sisi dia memperoleh sejumlah dana,
tapi di sisi lain tidak ingin kehilangan citranya untuk tetap
mendukung calon presiden dari kalangan Islam.
   
  Pada pilpres putaran kedua PKS tidak melakukan langkah netral,
kendati calon yang didukungnya kalah dalam pemilu. Tidak seperti
halnya PPP dan PAN yang membebaskan pilihan kepada konstituennya, PKS melakukan 
kontrak politik dengan pasangan SBY-JK. Atas dukungannya itulah maka PKS 
memperoleh posisi di kabinet dengan tiga menteri, antara lain menteri 
pertanian, menteri Pemuda dan Olah raga dan menteri Perumahan Rakyat. Gejala 
ini menunjukkan bahwa PKS sebenarnya tidak berbeda dengan partai-partai lainnya.
   
  Di dalam proses pilkada, PKS melakukan gerakan all out untuk
memperoleh kekuasaan di daerah. Tekanannya kepada SBY untuk
memenangkan Nurmahmudi di tingkat MA sangat tampak. Meski tuntutan tersebut 
memperoleh dukungan masyarakat, tetapi erangan elite PKS sangat berlebihan di 
media masa. Ambisi seorang bekas menteri untuk tetap berkuasa kendatipun di 
tingkat kota, tampak sekali dalam perjuangan PKS yang sekarang ini tengah 
memperjuangkan calon-calonnya untuk memenangkan pilkada di berbagai daerah. 
Yang mengherankan adalah sebagaimana halnya partai-partai lain, pragmatisme 
politik dipertontonkan oleh PKS secara telanjang. PKS bersedia berkoalisi 
dengan partai manapun meskipun secara ideologis sangat tidak kimiawi.
  
Hal ini ditunjukkan tatkala PKS mendukung calon bupati Cianjur dan
bersedia berkoalisi dengan partai Demokrat. Yang mengherankan,
sebagai partai Islam PKS tidak mendukung konsep Gerbang Marhamah yang dipandang 
sebagai upaya penegakan syariat Islam di kabupaten tersebut.
   
  Fakta sejarah juga menampakkan bahwa apa yang diangan-angankan oleh PKS untuk 
memperjuangkan Islam lewat demokrasi dan parlemen adalah sebuah absurditas 
belaka. Demokrasi yang dibelakangnya bersembunyi ideologi neoliberal sebenarnya 
tidak akan pernah mengizinkan Islam untuk memenangkan pemilu di negeri mana 
pun. Pada Pemilu 1955 di Indonesia sebuah penyusupan ke dalam tubuh Masyumi 
telah membuat NU keluar dan Islam kalah oleh PNI. Di Aljazair, partai Islam FIS 
memenangkan pemilu dengan raihan suara 83%, tetapi dianulir oleh dan dikalahkan 
pada pemilu berikutnya atas pesanan Amerika. Partai Islam Rafah pimpinan 
Necmetin Erbakan di Turki yang memenangi pemilu, bahkan diintervensi langsung 
oleh CIA untuk dibatalkan dan kemudian dibubarkan. Tidak ada sejarahnya Islam 
menang dengan mengikuti proses demokrasi.
   
  Koalisi, aliansi, kolaborasi atau apa pun namanya bentuk dari
penggabungan Islam dengan non-Islam hasil akhirnya adalah kemenangan bagi pihak 
non-Islam. Tengok saja sejarah gentleman agreement di tubuh PPKI yang telah 
mensyahkan tujuh kata dalam Mukadimah UUD 45 bisa hapus begitu saja tatkala 
kelompok minoritas dari Indonesia Bagian Timur melakukan penolakan. Semua 
produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh sebuah parlemen yang mayoritas 
beragama Islam pun bisa dipastikan tidak akan berwarna Islam karena alasan 
toleransi dan heterogenitas. Maka gejala PKS yang bersedia berkolaborasi dengan 
partai mana pun tanpa didasari ideologi Islam menunjukkan bahwa PKS telah 
menyimpang dari cita-cita awalnya. Maka pertanyaan sesuai dengan judul tulisan 
ini perlu diulang .... Mau ke mana PKS? Wallahu a'lam.
   
  Penulis, pengamat politik, purnawirawan TNI AD
   
   
  PKSwatch.blogspot 'diulas' di detikinet 
  
silakan klik link ini kalau mau kasih  komentar:
  
http://detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/01/time/174817/idnews/530407/idkanal/405



Reja Pahlawan Kusuma Bangsa

E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Weblog: http://indonebia.blogspot.com
                
---------------------------------
Apakah Anda Yahoo!?
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!

[Non-text portions of this message have been removed]





 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Serikat-Kaum-Terkutuk/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke