Catatan laluta: 
        Dalam pembangunan sistim ekonomi nasional seharusnya pembenahan masalah 
pangan dan sektor pertanian dijadikan landasan prioritas program Land Reform,  
diawali adanya perombakan dan penataan kembali struktur penguasaan tanah yang 
timpang. Lantaran masalah ketimpangan penguasaan tanah di sektor pertanian 
sudah lama terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Persoalan ini merupakan 
warisan kolonial Belanda yang belum pernah terselesaikan hingga kini. 
   
  Bahkan program Land Reform yang sempat dilaksanakan pertengahan tahun 1960-an 
akhirnya kandas di tengah jalan. Padahal untuk menuju suksesnya pembangunan 
pertanian tidaklah lepas dari persoalan keadilan agraria yang mencakup 
re-distribusi tanah kepada petani gurem dan buruh tani, penataan produksi 
melalui pembangunan infrastruktur pertanian, fasilitas permodalan dan teknologi 
tepat guna, penguatan kelembagaan/organisasi petani dalam bentuk koperasi atau 
asosiasi petani, dan proteksi terhadap produk-produk pertanian.

  Perubahan sistem politik dan ekonomi di bawah Orde Baru melaksanakan program 
pembangunan pertanian seiring perubahan pembangunan ekonomi kapitalistis, yang 
bertumpu pada penguasaan monopoli dan kepentingan modal asing. Sektor pertanian 
tidak lagi ditempatkan sebagai kerangka ekonomi nasional, tetapi dijadikan 
penyangga guna memacu industrialisasi kepentingan investasi modal Asing.
   
  ..." dalam hal ini konflik pertanahan telah menjadi issue strategis yang 
terbentuk secara sistematis, akibat kekuasaan negara (state) yang sangat 
dominan dengan melakukan hegemoni, eksploitasi dan politik agraria yang tidak 
berpihak kepada rakyat..." Uraian selanjutnya silahkan baca karya tulisan Ika 
Wahyu Priaryani berjudul "Tanah...? (Catatan Demokrasi). JUGA kulampirkan karya 
Refleksi diri dalam puisi oleh Fadjar Sitepu.
   
  La Luta Continua!
   
  ***
  PETANI MISKIN INDONESIA
.........................................................
Turun menurun mereka menggarap sawah
nenek moyang mereka dijaman penjajah
berlawan dengan arit dan celurit
ketika Daendles meratakan sawah
jadi jalan raya untuk pasukan kuda dan tentera
menundukkan raja raja yang melawan mereka
kini hak hak mereka dijamah
petani petani dirampas tanah
dipaksa lari kekota
dijadikan sampah masyarakat penindasan manusia
mereka tak gentar
mereka berlawan
seperti tradisi nenek moyang dua abad yang lampau
Berjuang, berjuang.
                                          
  Fadjar Sitepu, 17 maret 2006

  ***
    http://iika.blogspot.com/2005/07/tanah-catatan-demokrasi.html  Thursday, 
July 07, 2005    Tanah.....? (Catatan Demokrasi)       
  Oleh Ika Wahyu Priaryani 
  
... tanah mestinya dibagi-bagi / Jika cuma segelintir orang yang
menguasai / bagaimana hari esok kaum tani
... tanah mestinya ditanami / sebab hidup tidak hanya hari ini / jika
sawah diratakan / rimbun semak pohon dirubuhkan / apa yang kita harap
dari cerobong asap besi?
(Wiji Thukul; Puisi Tanah, 1989 Solo)

Tanah merupakan suatu sumber penghidupan bagi manusia, tanah juga merupakan 
syarat dasar atau factor pokok berdirinya suatu negara. Rakyat membutuhkan 
tanah-tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak 
lainnya pada umumnya memerlukan tanah-tanah tersebut untuk kegiatan usaha 
ekonomi mereka dalam skala besar.
   
  Konflik agraria, dalam hal ini konflik pertanahan telah menjadi issue 
strategis yang terbentuk secara sistematis, akibat kekuasaan negara (state) 
yang sangat dominan dengan melakukan hegemoni, eksploitasi dan politik agraria 
yang tidak berpihak kepada rakyat. Prinsip keadilan agraria yang menjadi sumber 
perjuangan rakyat petani, selalu saja dihadapkan dengan refresif negara yang 
menempatkan tanah serta sumber daya alam lainnya sebagai alat untuk 
mempertahankan kekuasaan. Sehingga adagium yang menyatakan "tanah untuk petani" 
hanyalah fatamorgana dalam sejarah panjang perjuangan petani.
   
  Sejak awal kemerdekaan yang merupakan awal berdirinya negara Indonesia yang 
berdaulat, karakter militer Indonesia nyata-nyata dibangun dari kepentingan 
modal yang menyertainya. Maka tak heran jika militer Indonesia hanya sekedar 
kesatuan pengaman modal belaka. Peran politik parlementer dari militer saat ini 
memang telah berkurang, namun peran ekonomi dan penguasaan teritorial yang 
sebenarnya menjadi inti kekuatan dari militerisme ini justru semakin menguat. 
Saat ini militer Indonesia tidak lagi berperan sebagai penjaga tanah negara 
namun lebih berfungsi sebagai penjaga tanah pemodal.
   
  Orde baru mengawali kekuasannya dengan merampas hak-hak tanah rakyat untuk 
kepentingan investasi asing. Hal ini terlihat dari; Pertama, Tidak mengaktifkan 
UUPA 1960. Program landreform – yang berupaya menata penguasaan tanah (termasuk 
pemilikan tanah) dan pokok-pokok bagi hasil–tidak dijalankan. Kedua. 
Menghapuskan panitia landreform – baik nasional maupun lokal – yang mengandung 
partisipasi organisasi petani. Sebagai gantinya, landreform, Ketiga, 
Diundangkannya UUPD (Undang-Undang Pemerintahan Desa) 1979. Inilah pangkal 
militerisme, terlibatnya unsur polisi dan militer dalam pengawasan kehidupan 
pedesaan. Pihak militer memegang peran utama dalam konsolidasi dan usaha 
mempertahankan kekuasaan Orde Baru, sekaligus mempunyai kepentingan bisnis 
dalam ekonomi bangsa, sehingga menimbulkan konflik kepentingan dalam sistem 
penegakan hukum yang seharusnya mengatur industri. Setidak-tidaknya di beberapa 
sektor, terdapat bukti bahwa tingkat keterlibatan pihak tentara dan polisi 
dalam bisnis
 belum berkurang secara nyata sejak Orde Baru berakhir.
   
  Berdasarkan inventarisasi kasus-kasus sengketa agraria yang dilakukan 
Resource Center KPA, di seluruh Indonesia sejak tahun 1970 telah terjadi tidak 
kurang dari 1.920 kasus sengketa yang struktural sifatnya, yang mencakup luasan 
tidak kurang dari 10.512.938,41 hektar dan mengakibatkan tidak kurang dari 
622.450 KK menjadi korban. Data juga menunjukkan, intensitas konflik yang 
tertinggi terjadi di propinsi Jawa Barat (506 kasus), DKI Jakarta (186 kasus), 
Sumatera Selatan (183 kasus), Jawa Timur (172 kasus) dan Sumatera Utara (169 
kasus). Sedangkan jenis sengketa yang paling tinggi intensitasnya adalah 
sengketa tanah di lahan perkebunan atau yang berhubungan dengan perkebunan 
besar (430 kasus), pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (260 kasus), 
pembangunan perumahan dan kota baru (240 kasus), dan kehutanan produksi (159 
kasus)[1].
  
Pembaruan Agraria seharusnya menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi dan 
sosial politik bangsa Indonesia. Tetapi, tantangan kolaborasi modal dan negara 
kian mengental yang ditandai penyusunan berbagai RUU sektoral. Gagasan awal 
sejumlah RUU ini didorong kepentingan kaum neo-liberal yang menghendaki 
privatisasi dan liberalisasi tanah dan kekayaan alam milik bangsa Indonesia 
guna kepentingan kapitalisme global. Sejumlah RUU kini tengah antre menunggu 
pembahasan dan pengesahan, seperti RUU Perkebunan, RUU Sumber Daya Air, RUU 
Sumber Daya Genetika, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 
RUU Pertambangan, RUU Perikanan, RUU Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan aneka 
rancangan perundang-undangan lainnya.
   
  Sementara itu, gerakan petani, sebagai bagian dari gerakan social telah 
mempunyai sejarah yang cukup panjang dalam perlawanannya untuk menuntut 
hak-haknya. Sejarah mencatat hampir semua kasus pertanahan selalu diatasi 
dengan cara-cara militeristik dengan menghadapkan kaum tani dengan kekuatan 
bersenjata. Yah..kaum tani Indonesia adalah bagian rakyat yang harus selalu 
berhadapan dengan kekuatan bersenjata yang menjadi penjaga dari pemilik tanah 
untuk memperjuangkan kepentingannya. Meskipun media melihat mahasiswa yang 
selalu bentrok dengan tentara namun sesungguhnya di desa-desa kaum tani-lah 
yang paling sering berhadapan dengan militer. Tidak heran ketika banyak anak 
kaum tani yang bercita-cita menjadi tentara. Namun harus disadari yang dilawan 
bukanlah tentara tapi watak militerisme, yang telah menjelma bukan hanya pada 
pada kekuatan bersenjata namun juga menjadi kekuatan ekonomi dan politk.
   
  Sidharta Chandra dan Douglas Kemen dalam tulisannya di jurnal World Politics 
(Oktober 2002) menyimpulkan bahwa posisi politik militer Indonesia saat ini 
justru lebih kuat dibandingkan dengan ketika militer berada di bawah Soeharto. 
Militer memperoleh kekuasaan politik yang penting dari perannya sebagai pembela 
hak milik atas pulau terpencil di Indonesia. Tidak heran sejak operasi militer 
di Aceh, belanja militer meningkat pesat, suara kritis politisi terhadap 
militer menghilang, agenda untuk memperkuat kontrol sipil atas militer 
terkatung-katung. Sebaliknya, tokoh-tokoh yang berlatar belakang militer 
bermunculan sebagai calon anggota legislatif dan calon presiden. Bahkan mereka 
yang pernah dituding harus bertanggung jawab dalam kekerasan dan pelanggaran 
hak asasi manusia di masa lalu.
   
  Kasus-kasus konflik agraria di Wonosobo, Garut, Cianjur, Ciamis, Tasikmalaya, 
Bulukumba, Muko-muko, Labuan Batu, Porsea, Sesepa Luwu, Manggarai, Lombok 
Tengah, Halmahera, dan Banyuwangi memperlihatkan pola-pola militeristiik yang 
digunakan untuk mejaga kepentingan pemodal. Penangkapan petani merupakan isu 
yang sudah sangat biasa terdengar (namun kurang diangkat oleh media) seperti 
yang terjadi di Subang dan Manggarai yang cukup menggema tahun ini.
  
Pada peringatan hari tani tanggal 24 September 2004 kemarin, kaum tani menuntut 
agar pemerintah menghentikan tindakan represif aparat dan menuntut 
dibebaskannya aktivis petani yang telah ditangkap dan dijerat hukum karena 
memperjuangkan kepentingan rakyat atas tanah dan kekayaan alam di Subang, 
Pangalengan, Banyumas.
   
  Konflik tanah tidak akan berhenti hingga kapanpun bila selalu digunakan 
pendekatan represif. Agrarian reform akan menghadapai berbagai macam 
penghalang. Militerism termasuk salah satu penghalangnya. Untuk itu, dibutuhkan 
kekuatan gerakan rakyat demi menumpas penghalang sekaligus mencapai keadilan 
agraria.
  
Kaum tani Indonesia : Sokoguru pembebasan !









Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 






                
---------------------------------
 Yahoo! Mail
 Use Photomail to share photos without annoying attachments.

[Non-text portions of this message have been removed]



 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Serikat-Kaum-Terkutuk/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke