(Tulisan ini juga disajikan dalam website
http://perso.club-internet.fr/kontak)




            Masalah keadilan dan kemanusiawian

                        dan ma’af bagi Suharto



Akhir-akhir ini ada banyak orang-orang yang mengusulkan direhabilitasinya
Suharto, diampuninya dari segala dosa-dosanya, dan dihentikannya proses
pemeriksaan dan pengadilan terhadapnya. Di antara berbagai alasan atau
pertimbangan mereka  adalah berdasarkan keadilan dan kemanusiawian karena
Suharto sudah lanjut usia (84 tahun), dan sakit parah sehingga tidak bisa
diajukan di depan pengadilan.  Ada juga orang-orang yang mengusulkan
pengampunan kesalahan Suharto mengingat jasa-jasanya terhadap negara dan
bangsa sebagai presiden dan bapak pembangunan. Bahkan, ada orang-orang yang
menganjurkan dihargainya atau dihormatinya sebagai pahlawan, karena ia
“telah menyelamatkan bangsa dari bahaya PKI dan telah menghancurkan
kediktatoran Bung Karno”. Dan, keluarga Suharto, lewat pernyataan anaknya
Siti Hediati Haryadi (Titik) juga menyampaikan permintaan ma’af kepada
rakyat Indonesia atas kesalahan yang telah dibuat ayahnya.



Menghadapi suara-suara atau usul-usul yang seperti itu, seyogianya kita
semua merenungkan sedalam-dalamnya dan seluas mungkin, persoalan Suharto ini
dari banyak segi. Segala usaha perlu sama-sama kita tempuh, untuk mencari
cara atau jalan yang sebaik-baiknya, atau setepat-tepatnya, untuk
menyelesaikan persoalan Suharto ini berdasarkan keadilan dan  kemanusiawian.
Keadilan dan kemanusiawian baginya, tetapi juga keadilan dan kemanusiawian
bagi orang banyak, bagi bangsa atau rakyat. Sebab, persoalan Suharto
bukanlah hanya persoalan pribadinya saja, dan bukan pula terbatas urusan
keluarganya saja. Persoalan Suharto mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan berbagai masalah besar bangsa dan negara kita.



Apa yang tercantum berikut ini adalah hanya sebagian kecil saja dari
bahan-bahan renungan yang bisa sama-sama kita telaah. Bahan-bahan lainnya
untuk menjadi pemikiran bersama terdapat dalam kumpulan berita dan tulisan
yang terdapat dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak)   baik
yang dalam rubrik “Kasus pemeriksaan dan pengadilan Suharto” atau rubrik
“Harta haram Suharto” atau dalam tulisan  yang sinis “Jasa-jasa besar
Suharto”.





Perbuatan  Suharto selama 32 tahun


Untuk bisa secara jujur, atau secara objektif, atau secara adil -  dan
dengan fikiran yang jernih atau nalar yang sehat pula ! – menilai
kepemimpinan Suharto selama 32 tahun mengendalikan rejim militer Orde Baru,
maka kita perlu menelaah kembali apa yang telah dilakukannya di  bidang
politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan juga di bidang moral dan  hak-hak
manusia,  bagi negara dan bangsa. Dengan menelaah dengan baik-baik dan agak
menyeluruh bidang-bidang itu, kita akan secara gamblang, atau jujur dan
adil,  memberi penilaian yang tepat kepada persoalan Suharto. Namun, karena
luasnya persoalan di tiap bidang, maka tulisan yang kali ini hanya membatasi
diri dalam rangka masalah keadilan dan kemanusiawian, yang dihubungkan
dengan masalah Suharto dan rakyat atau bangsa.



Sebab, akhir-akhir ini, dalam pembicaraan yang ramai sekitar masalah Suharto
sering disebut-sebut soal keadilan dan kemanusiawian. Ada orang-orang yang
mengangkat soal keadilan dan kemanusiawian (atau perikemanusiaan)  ini
dengan maksud yang baik atau tujuan yang luhur, namun kita sama-sama lihat
juga adanya mereka yang bicara soal keadilan dan perikemanusiaan ini hanya
untuk membela kepentingan Suharto. Dan mereka membela kepentingan Suharto
ini adalah sebagian besar dengan tujuan untuk membela kepentingan mereka
sendiri. Bukan untuk kepentingan rakyat banyak.





Ketidak-adilan di bidang politik.



Kiranya, kita semua perlu ingat bahwa selama 32 tahun Suharto telah banyak
melanggar atau merusak keadilan di bidang politik. Entah berapa banyak orang
dari berbagai kalangan yang telah menjadi korban dari ketidak-adilan Suharto
di bidang politik ini. Rejim militer Orde Baru yang telah mencekik kehidupan
demokratis selama puluhan tahun telah menimbulkan banyak ketidak-adilan di
bidang politik.



Pemilu yang diadakan berkali-kali, yang pernah disebut dengan gagah sebagai
“pesta demokrasi”, merupakan tontonan dari puncaknya ketidak-adilan politik
ini. Dalam pemilu yang berulangkali itu, kekuasaan militer telah memainkan
peran yang besar sekali (dan kotor sekali !!!), sehingga Golkar selalu
menang dengan angka sekitar 70% suara. Sebagai akibatnya, DPR yang
dihasilkan oleh pemilu yang berkali-kali itu, tidaklah lebih dari perwakilan
dari ketidak-adilan ini. Selama Orde Baru berkuasa sepanjang 32 tahun,
pemerintahan di bawah Suharto tidak hanya mencerminkan ketidak-adilan dalam
politik, melainkan juga kekuasaan yang otoriter atau despotik.



Bung Karno beserta para pendukungnya, yang berjumlah puluhan juta,
diperlakukan tidak adil secara besar-besaran, dan dalam bentuknya yang
macam-macam pula. Dalam rangka politik “de-Sukarnoisasi” maka yang berbau
Sukarno,disingkirkan atau dikucilkan. Keadilan dalam politik tidak berlaku
bagi para pendukung setia Bung Karno.



Seperti yang masih kita saksikan akibatnya sampai sekarang di mana-mana di
Indonesia, ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian yang paling menyolok
adalah tindakan Suharto dengan rejim militernya Orde Baru terhadap
orang-orang yang anggota PKI atau yang dituduh sebagai komunis atau golongan
kiri. Para penguasa rejim militer mengetahui Mereka yang jadi korban
ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian selama puluhan tahun ini tidak
bersalah apa-apa sama sekali. Dan jumlahnya banyak sekali di seluruh negeri.





Ketidak-adilan di bidang ekonomi


Ketidak-adilan di bidang  ekonomi adalah ciri pemerintahan di bawah Suharto
yang sangat menyolok secara gamblang. Boleh dikatakan bahwa rejim militer
Orde Baru adalah pada hakekatnya manifestasi yang gamblang atau perwujudan
yang kongkrit tentang ketidak-adilan di bidang ekonomi ini. Sebagian kecil
sekali dari masyarakat, yang terdiri dari pejabat-pejabat negara,
jenderal-jenderal, konglomerat-konglomerat hitam, dan “tokoh-tokoh” berbagai
kalangan, menikmati kekayaan-kekayaan (yang haram !!!) secara
berlimpah-limpah. Sedangkan sebagian terbesar dari rakyat hidup dalam
kemiskinan yang akut sekali.



Dalam rangka ketidak-adilan di bidang ekonomi ini, Suharto beserta
keluarganya merupakan kasus yang istimewa. Melalui penyalahgunaan kekuasaan
yang luar bisa besarnya sebagai penguasa tertinggi (untuk tidak mengatakan
sebagai diktator) rejim militer, Suharto telah menjalankan KKN yang paling
besar dan paling luas, yang memungkinkannya menumpuk kekayaan melalui
cara-cara haram dan bathil.  Suharto (dan keluarganya) adalah bukan saja
simbul yang “gemilang” ketidak-adilan di bidang ekonomi, melainkan juga
simbul yang gamblang dari kejahatan ekonomi.



Suharto bukan saja merupakan koruptor yang paling besar (dan paling lihay)
di Indonesia, melainkan juga koruptor nomor satu di dunia (menurut
Transparency International, lihat rubrik “Harta haram Suharto” di website).



“Jalur-jalur pemerataan kesejahteraan” yang pernah digembar-gemborkan
bertahun-tahun oleh rejim militer Suharto ternyata sekarang bahwa bukan saja
slogan yang palsu, melainkan juga topeng untuk menutupi kejahatan-kejahatan
dan ketidak-adilan di bidang ekonomi yang dilakukan olehnya beserta
pendukung-pendukung setianya, baik dari kalangan militer, maupun dari
kalangan sipil dan pengusaha besar.





Ketidak-adilan di bidang sosial


Dalam sejarah Republik Indonesia, kesenjangan sosial dalam masyarakat
Indonesia menjadi tidak pernah selebar atau separah ketika di bawah
pemerintahan Suharto. Jurang antara si kaya dan si miskin makin kelihatan
menganga lebar sekali. “Masyarakat adil dan makmur” yang pernah jadi slogan
dan idam-idaman banyak orang ketika pemerintahan ada di bawah Bung Karno
telah semakin menjauh ketika zaman Suharto. Jiwa “gotong-royong” pun
dicampakkan oleh rejim militer Suharto. Keadilan sosial malah menjadi suatu
hal yang menjijikkan bagi para penguasa Orde Baru beserta
pendukung-pendukung setianya.



Kebudayaan dan kebiasaan feodal yang sudah diperangi secara besar-besaran di
era Sukarno telah dihidupkan kembali dan dipupuk secara keterlaluan oleh
Suharto beserta keluarga dan pendukung-pendukungnya.



Ketidak-adilan di bidang sosial juga tercermin dalam berbagai bidang
lainnya, yang merupakan jurang pemisah yang makin menajam antara kelompok
atau golongan. Jumlah pengangguran yang sekarang 40 juta orang sekarang ini
adalah akibat buruk dari sistem politik, ekonomi dan sosial pemerintahan
Suharto, yang terpaksa diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah Suharto
dapat dijatuhkan oleh gerakan mahsiswa dalam tahun 1998.

Singkatnya, Suharto selama 32 tahun tidak peduli terhadap keadilan sosial.





Ketidak-adilan dalam bidang HAM dan moral


Perlu kiranya terus-menerus diingat oleh bangsa kita bahwa rejim militer
Suharto dkk dibangun atas tumpukan mayat berjuta-juta orang tidak bersalah
yang dibantai dengan sewenang-wenang oleh aparat militer di bawah perintah
Suharto. Kebiadaban ini perlu sekali dicatat dengan jelas  - dan dengan hruf
tebal - dalam sejarah bangsa kita, sehingga anak cucu kita bisa menarik
pelajaran dari kesalahan dan dosa besar Suharto dan pendukung-pendukungnya
ini.



Pembunuhan  begitu banyak warganegara sesama bangsa ini, yang ditambah lagi
dengan pemenjaraan atau penahanan ratusan ribu orang tidak bersalah lainnya
dalam jangka waktu yang lama sekali (belasan tahun) tanpa proses pengadilan
adalah bukti yang tidak dapat disangkal lagi oleh siapa pun bahwa
pelanggaran hak-hak manusia telah dilakukan oleh Suharto dan
pendukung-pendukungnya. Saksinya atau buktinya masih dapat dijumpai di
banyak tempat di seluruh negeri, sampai dewasa ini. Di antara mereka
terdapat para eks-tapol yang meringkuk di Pulau Buru, dan banyak penjara
lainnya.



Ketidak-adilan di bidang HAM ini juga dihadapi oleh puluhan juta orang
keluarga (anak, istri, suami, bapak ibu atau saudara-saudara dekat) para
korban pembantaian tahun 65 dan keluarga para eks-tapol, yang sampai
sekarang --- harap catat : sesudah 40 tahun !!! – masih menghadapi berbagai
penderitaan akibat adanya peraturan-peraturan yang “gila”.  Jelaslah,
kiranya, bahwa Suharto (dan pendukung-pendukungnya) tahu tentang penderitaan
begitu banyak orang akibat tindakannya itu, tetapi ia toh masih meneruskan
ketidak-adilan yang sudah berlangsung begitu lama itu. Ketidak-adilan ini
juga dihadapi oleh banyak sekali orang-orang Indonesia yang terpaksa
bermukim di negara-negara di berbagai benua, karena dicabut paspor mereka
atau mendapat perlakuan-perlakuan buruk lainnya.



Kejahatan besar terhadap HAM adalah ciri utama rejim militer Orde Baru.
Peristiwa terbunuhnya sejumlah mahasiswa di Semanggi, dan hilangnya
anak-anak muda PRD, dan dibunuhnya pejoang HAM yang terkenal Munir, adalah
bagian dari rentetan panjang kejahatan di bidang HAM. Namun, tidak bisanya
diambil tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan-kejahatan ini adalah
bukti bahwa memang ada banyak ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian di
bidang hukum selama ini.  Dan, karenanya,  ketidak-adilan dalam bidang HAM
terhadap puluhan juta orang tidak bersalah ini adalah juga aib besar atau
dosa yang berat Suharto, yang kemudian diwariskan kepada penerus-penerusnya.



* * *

Apa yang disajikan di atas adalah sekadar garis besar atau secara
pokok-pokok sejumlah kecil masalah kejahatan terhadap keadilan dan
kemanusiawian yang telah dilakukan oleh Suharto lewat kekuasaasannya selama
memimpin rejim militer Orde Baru. Semuanya ini sudah diketahui oleh banyak
orang – termasuk di luar negeri – dan sudah sejak lama pula.



Dari sedikit bahan renungan ini saja sudah cukup kiranya bagi setiap nalar
yang waras, atau setiap hati yang bersih, untuk menilai  Suharto dalam
masalah keadilan dan kemanusiawian.

Dari apa yang telah dilakukannya selama 32 tahun Orde Baru tidaklah bisa
dikatakan bahwa ia berjasa besar terhadap negara dan bangsa. Bahkan
sebaliknya, ia telah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang besar dan
pembusukan yang parah di berbagai bidang kehidupan bangsa. Karena itu,
Suharto tidak patut  sama sekali dianggap sebagai pahlawan bangsa.



Mengingat itu semuanya, pantaslah kiranya kalau ada orang yang  mengatakan
bahwa kehadiran Suharto dalam sejarah bangsa Indonesia merupakan halaman
hitam yang penuh dengan noda, dosa  dan aib. Dari banyak dosa dan aib ini di
antaranya berupa pengkhianatan terhadap Bung Karno dan rakyat Indonesia, dan
pelanggaran HAM secara besar-besaran terhadap puluhan juta orang tidak
bersalah, serta juga penumpukan harta kekayaan lewat penyalahgunaan
kekuasaan dan korupsi.



Apakah semua ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian Suharto yang begitu
besar dan parah itu dapat dima’afkan begitu saja, tanpa ada proses hukum
sama sekali? Sudah jelaslah kiranya bahwa bagi mereka yang berhati-nurani
yang bersih  - dan peduli dengan rasa keadilan serta rasa kemanusiawian  -
jawabannya adalah : TIDAK !





Paris, 23 Mei  2006













































































            Masalah keadilan dan kemanusiawian

                        dan ma’af bagi Suharto



Akhir-akhir ini ada banyak orang-orang yang mengusulkan direhabilitasinya
Suharto, diampuninya dari segala dosa-dosanya, dan dihentikannya proses
pemeriksaan dan pengadilan terhadapnya. Di antara berbagai alasan atau
pertimbangan mereka  adalah berdasarkan keadilan dan kemanusiawian karena
Suharto sudah lanjut usia (84 tahun), dan sakit parah sehingga tidak bisa
diajukan di depan pengadilan.  Ada juga orang-orang yang mengusulkan
pengampunan kesalahan Suharto mengingat jasa-jasanya terhadap negara dan
bangsa sebagai presiden dan bapak pembangunan. Bahkan, ada orang-orang yang
menganjurkan dihargainya atau dihormatinya sebagai pahlawan, karena ia
“telah menyelamatkan bangsa dari bahaya PKI dan telah menghancurkan
kediktatoran Bung Karno”. Dan, keluarga Suharto, lewat pernyataan anaknya
Siti Hediati Haryadi (Titik) juga menyampaikan permintaan ma’af kepada
rakyat Indonesia atas kesalahan yang telah dibuat ayahnya.



Menghadapi suara-suara atau usul-usul yang seperti itu, seyogianya kita
semua merenungkan sedalam-dalamnya dan seluas mungkin, persoalan Suharto ini
dari banyak segi. Segala usaha perlu sama-sama kita tempuh, untuk mencari
cara atau jalan yang sebaik-baiknya, atau setepat-tepatnya, untuk
menyelesaikan persoalan Suharto ini berdasarkan keadilan dan  kemanusiawian.
Keadilan dan kemanusiawian baginya, tetapi juga keadilan dan kemanusiawian
bagi orang banyak, bagi bangsa atau rakyat. Sebab, persoalan Suharto
bukanlah hanya persoalan pribadinya saja, dan bukan pula terbatas urusan
keluarganya saja. Persoalan Suharto mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan berbagai masalah besar bangsa dan negara kita.



Apa yang tercantum berikut ini adalah hanya sebagian kecil saja dari
bahan-bahan renungan yang bisa sama-sama kita telaah. Bahan-bahan lainnya
untuk menjadi pemikiran bersama terdapat dalam kumpulan berita dan tulisan
yang terdapat dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak)   baik
yang dalam rubrik “Kasus pemeriksaan dan pengadilan Suharto” atau rubrik
“Harta haram Suharto” atau dalam tulisan  yang sinis “Jasa-jasa besar
Suharto”.





Perbuatan  Suharto selama 32 tahun


Untuk bisa secara jujur, atau secara objektif, atau secara adil -  dan
dengan fikiran yang jernih atau nalar yang sehat pula ! – menilai
kepemimpinan Suharto selama 32 tahun mengendalikan rejim militer Orde Baru,
maka kita perlu menelaah kembali apa yang telah dilakukannya di  bidang
politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan juga di bidang moral dan  hak-hak
manusia,  bagi negara dan bangsa. Dengan menelaah dengan baik-baik dan agak
menyeluruh bidang-bidang itu, kita akan secara gamblang, atau jujur dan
adil,  memberi penilaian yang tepat kepada persoalan Suharto. Namun, karena
luasnya persoalan di tiap bidang, maka tulisan yang kali ini hanya membatasi
diri dalam rangka masalah keadilan dan kemanusiawian, yang dihubungkan
dengan masalah Suharto dan rakyat atau bangsa.



Sebab, akhir-akhir ini, dalam pembicaraan yang ramai sekitar masalah Suharto
sering disebut-sebut soal keadilan dan kemanusiawian. Ada orang-orang yang
mengangkat soal keadilan dan kemanusiawian (atau perikemanusiaan)  ini
dengan maksud yang baik atau tujuan yang luhur, namun kita sama-sama lihat
juga adanya mereka yang bicara soal keadilan dan perikemanusiaan ini hanya
untuk membela kepentingan Suharto. Dan mereka membela kepentingan Suharto
ini adalah sebagian besar dengan tujuan untuk membela kepentingan mereka
sendiri. Bukan untuk kepentingan rakyat banyak.





Ketidak-adilan di bidang politik.



Kiranya, kita semua perlu ingat bahwa selama 32 tahun Suharto telah banyak
melanggar atau merusak keadilan di bidang politik. Entah berapa banyak orang
dari berbagai kalangan yang telah menjadi korban dari ketidak-adilan Suharto
di bidang politik ini. Rejim militer Orde Baru yang telah mencekik kehidupan
demokratis selama puluhan tahun telah menimbulkan banyak ketidak-adilan di
bidang politik.



Pemilu yang diadakan berkali-kali, yang pernah disebut dengan gagah sebagai
“pesta demokrasi”, merupakan tontonan dari puncaknya ketidak-adilan politik
ini. Dalam pemilu yang berulangkali itu, kekuasaan militer telah memainkan
peran yang besar sekali (dan kotor sekali !!!), sehingga Golkar selalu
menang dengan angka sekitar 70% suara. Sebagai akibatnya, DPR yang
dihasilkan oleh pemilu yang berkali-kali itu, tidaklah lebih dari perwakilan
dari ketidak-adilan ini. Selama Orde Baru berkuasa sepanjang 32 tahun,
pemerintahan di bawah Suharto tidak hanya mencerminkan ketidak-adilan dalam
politik, melainkan juga kekuasaan yang otoriter atau despotik.



Bung Karno beserta para pendukungnya, yang berjumlah puluhan juta,
diperlakukan tidak adil secara besar-besaran, dan dalam bentuknya yang
macam-macam pula. Dalam rangka politik “de-Sukarnoisasi” maka yang berbau
Sukarno,disingkirkan atau dikucilkan. Keadilan dalam politik tidak berlaku
bagi para pendukung setia Bung Karno.



Seperti yang masih kita saksikan akibatnya sampai sekarang di mana-mana di
Indonesia, ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian yang paling menyolok
adalah tindakan Suharto dengan rejim militernya Orde Baru terhadap
orang-orang yang anggota PKI atau yang dituduh sebagai komunis atau golongan
kiri. Para penguasa rejim militer mengetahui Mereka yang jadi korban
ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian selama puluhan tahun ini tidak
bersalah apa-apa sama sekali. Dan jumlahnya banyak sekali di seluruh negeri.





Ketidak-adilan di bidang ekonomi


Ketidak-adilan di bidang  ekonomi adalah ciri pemerintahan di bawah Suharto
yang sangat menyolok secara gamblang. Boleh dikatakan bahwa rejim militer
Orde Baru adalah pada hakekatnya manifestasi yang gamblang atau perwujudan
yang kongkrit tentang ketidak-adilan di bidang ekonomi ini. Sebagian kecil
sekali dari masyarakat, yang terdiri dari pejabat-pejabat negara,
jenderal-jenderal, konglomerat-konglomerat hitam, dan “tokoh-tokoh” berbagai
kalangan, menikmati kekayaan-kekayaan (yang haram !!!) secara
berlimpah-limpah. Sedangkan sebagian terbesar dari rakyat hidup dalam
kemiskinan yang akut sekali.



Dalam rangka ketidak-adilan di bidang ekonomi ini, Suharto beserta
keluarganya merupakan kasus yang istimewa. Melalui penyalahgunaan kekuasaan
yang luar bisa besarnya sebagai penguasa tertinggi (untuk tidak mengatakan
sebagai diktator) rejim militer, Suharto telah menjalankan KKN yang paling
besar dan paling luas, yang memungkinkannya menumpuk kekayaan melalui
cara-cara haram dan bathil.  Suharto (dan keluarganya) adalah bukan saja
simbul yang “gemilang” ketidak-adilan di bidang ekonomi, melainkan juga
simbul yang gamblang dari kejahatan ekonomi.



Suharto bukan saja merupakan koruptor yang paling besar (dan paling lihay)
di Indonesia, melainkan juga koruptor nomor satu di dunia (menurut
Transparency International, lihat rubrik “Harta haram Suharto” di website).



“Jalur-jalur pemerataan kesejahteraan” yang pernah digembar-gemborkan
bertahun-tahun oleh rejim militer Suharto ternyata sekarang bahwa bukan saja
slogan yang palsu, melainkan juga topeng untuk menutupi kejahatan-kejahatan
dan ketidak-adilan di bidang ekonomi yang dilakukan olehnya beserta
pendukung-pendukung setianya, baik dari kalangan militer, maupun dari
kalangan sipil dan pengusaha besar.





Ketidak-adilan di bidang sosial


Dalam sejarah Republik Indonesia, kesenjangan sosial dalam masyarakat
Indonesia menjadi tidak pernah selebar atau separah ketika di bawah
pemerintahan Suharto. Jurang antara si kaya dan si miskin makin kelihatan
menganga lebar sekali. “Masyarakat adil dan makmur” yang pernah jadi slogan
dan idam-idaman banyak orang ketika pemerintahan ada di bawah Bung Karno
telah semakin menjauh ketika zaman Suharto. Jiwa “gotong-royong” pun
dicampakkan oleh rejim militer Suharto. Keadilan sosial malah menjadi suatu
hal yang menjijikkan bagi para penguasa Orde Baru beserta
pendukung-pendukung setianya.



Kebudayaan dan kebiasaan feodal yang sudah diperangi secara besar-besaran di
era Sukarno telah dihidupkan kembali dan dipupuk secara keterlaluan oleh
Suharto beserta keluarga dan pendukung-pendukungnya.



Ketidak-adilan di bidang sosial juga tercermin dalam berbagai bidang
lainnya, yang merupakan jurang pemisah yang makin menajam antara kelompok
atau golongan. Jumlah pengangguran yang sekarang 40 juta orang sekarang ini
adalah akibat buruk dari sistem politik, ekonomi dan sosial pemerintahan
Suharto, yang terpaksa diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah Suharto
dapat dijatuhkan oleh gerakan mahsiswa dalam tahun 1998.

Singkatnya, Suharto selama 32 tahun tidak peduli terhadap keadilan sosial.





Ketidak-adilan dalam bidang HAM dan moral


Perlu kiranya terus-menerus diingat oleh bangsa kita bahwa rejim militer
Suharto dkk dibangun atas tumpukan mayat berjuta-juta orang tidak bersalah
yang dibantai dengan sewenang-wenang oleh aparat militer di bawah perintah
Suharto. Kebiadaban ini perlu sekali dicatat dengan jelas  - dan dengan hruf
tebal - dalam sejarah bangsa kita, sehingga anak cucu kita bisa menarik
pelajaran dari kesalahan dan dosa besar Suharto dan pendukung-pendukungnya
ini.



Pembunuhan  begitu banyak warganegara sesama bangsa ini, yang ditambah lagi
dengan pemenjaraan atau penahanan ratusan ribu orang tidak bersalah lainnya
dalam jangka waktu yang lama sekali (belasan tahun) tanpa proses pengadilan
adalah bukti yang tidak dapat disangkal lagi oleh siapa pun bahwa
pelanggaran hak-hak manusia telah dilakukan oleh Suharto dan
pendukung-pendukungnya. Saksinya atau buktinya masih dapat dijumpai di
banyak tempat di seluruh negeri, sampai dewasa ini. Di antara mereka
terdapat para eks-tapol yang meringkuk di Pulau Buru, dan banyak penjara
lainnya.



Ketidak-adilan di bidang HAM ini juga dihadapi oleh puluhan juta orang
keluarga (anak, istri, suami, bapak ibu atau saudara-saudara dekat) para
korban pembantaian tahun 65 dan keluarga para eks-tapol, yang sampai
sekarang --- harap catat : sesudah 40 tahun !!! – masih menghadapi berbagai
penderitaan akibat adanya peraturan-peraturan yang “gila”.  Jelaslah,
kiranya, bahwa Suharto (dan pendukung-pendukungnya) tahu tentang penderitaan
begitu banyak orang akibat tindakannya itu, tetapi ia toh masih meneruskan
ketidak-adilan yang sudah berlangsung begitu lama itu. Ketidak-adilan ini
juga dihadapi oleh banyak sekali orang-orang Indonesia yang terpaksa
bermukim di negara-negara di berbagai benua, karena dicabut paspor mereka
atau mendapat perlakuan-perlakuan buruk lainnya.



Kejahatan besar terhadap HAM adalah ciri utama rejim militer Orde Baru.
Peristiwa terbunuhnya sejumlah mahasiswa di Semanggi, dan hilangnya
anak-anak muda PRD, dan dibunuhnya pejoang HAM yang terkenal Munir, adalah
bagian dari rentetan panjang kejahatan di bidang HAM. Namun, tidak bisanya
diambil tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan-kejahatan ini adalah
bukti bahwa memang ada banyak ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian di
bidang hukum selama ini.  Dan, karenanya,  ketidak-adilan dalam bidang HAM
terhadap puluhan juta orang tidak bersalah ini adalah juga aib besar atau
dosa yang berat Suharto, yang kemudian diwariskan kepada penerus-penerusnya.



* * *

Apa yang disajikan di atas adalah sekadar garis besar atau secara
pokok-pokok sejumlah kecil masalah kejahatan terhadap keadilan dan
kemanusiawian yang telah dilakukan oleh Suharto lewat kekuasaasannya selama
memimpin rejim militer Orde Baru. Semuanya ini sudah diketahui oleh banyak
orang – termasuk di luar negeri – dan sudah sejak lama pula.



Dari sedikit bahan renungan ini saja sudah cukup kiranya bagi setiap nalar
yang waras, atau setiap hati yang bersih, untuk menilai  Suharto dalam
masalah keadilan dan kemanusiawian.

Dari apa yang telah dilakukannya selama 32 tahun Orde Baru tidaklah bisa
dikatakan bahwa ia berjasa besar terhadap negara dan bangsa. Bahkan
sebaliknya, ia telah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang besar dan
pembusukan yang parah di berbagai bidang kehidupan bangsa. Karena itu,
Suharto tidak patut  sama sekali dianggap sebagai pahlawan bangsa.



Mengingat itu semuanya, pantaslah kiranya kalau ada orang yang  mengatakan
bahwa kehadiran Suharto dalam sejarah bangsa Indonesia merupakan halaman
hitam yang penuh dengan noda, dosa  dan aib. Dari banyak dosa dan aib ini di
antaranya berupa pengkhianatan terhadap Bung Karno dan rakyat Indonesia, dan
pelanggaran HAM secara besar-besaran terhadap puluhan juta orang tidak
bersalah, serta juga penumpukan harta kekayaan lewat penyalahgunaan
kekuasaan dan korupsi.



Apakah semua ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian Suharto yang begitu
besar dan parah itu dapat dima’afkan begitu saja, tanpa ada proses hukum
sama sekali? Sudah jelaslah kiranya bahwa bagi mereka yang berhati-nurani
yang bersih  - dan peduli dengan rasa keadilan serta rasa kemanusiawian  -
jawabannya adalah : TIDAK !





Paris, 23 Mei  2006











































































--
No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.1.392 / Virus Database: 268.7.0/345 - Release Date: 22/05/2006


[Non-text portions of this message have been removed]



SPONSORED LINKS
Humanism Spiritual humanism


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke