Precedence: bulk Dini S. Setyowati: Surat Tahun Baru Hari ini hari pertama tahun 1999. Tahun Baru. Selamat Tahun Baru! Tahun Baru? Akan adakah kiranya tuah kata "selamat" pada sepanjang 365 hari hari mendatang? Kita hanya bisa mengucapkan sepatah kata harapan: "semoga". Karena kerja masih jauh belum selesai, dan lebih dari itu - khususnya selama sekitar enam bulan menjelang pemilu yang akan datang - juga masih cukup besar dan berat. Setidak-tidaknya jika dibandingkan dengan pekerjaan dan pengurbanan yang telah kita tunaikan sepanjang tahun 1998. Tahun yang lalu, seperti kita semua tahu dan rasakan bersama, kita telah memetik satu kemenangan besar dan penting. Tapi bukan yang terbesar dan terpenting, dan sama sekali pula bukan kemenangan akhir. Kemenangan itu ialah berupa "lengsernya" diktatur Suharto. Sekedar "lengser" alias "mundur". Bukan jatuh! Apalagi tumbang berikut seluruh akar- akarnya. Karena itulah tahun 1999 datang di depan kita bukan ibarat hamparan "jalan bertabur bunga". Tahun 1998 telah meninggali kita dengan 1001 "pé-èr" keprihatinan: krismon, krisis moneter, yang telah berkembang menjadi kristal, krisis total; puluhan juta orang tiba tiba menjadi penganggur; berbagai bentuk kerusuhan sosial yang sengaja direkayasa untuk menahan dan menakut-nakuti gelombang arus reformasi. Sementara itu ratusan tumbal gerakan pembaha- ruan telah tewas dan luka luka berjatuhan. Sebelum diktatur Suharto pada 21 Mei 1998 "lengser", kita semua bulat sepakat: Suharto ialah biang masalah, bukan kunci masalah. Maka semboyan utama dan pertama kita ketika itu ialah "Turunkan Harga!" - Harto dan Keluarga. Sepatah semboyan yang ibarat sebilah pisau bermata dua: mata yang satu, "harga" sebagai akronim "suharto dan keluarga", dan mata yang lain harga sembako dalam arti kata yang sebenarnya. Satu hal yang tidak boleh kita lupakan, bahwa Suharto lengser bukanlah "demi perkenan" sendiri. Tapi karena telah "dilengserkan" oleh gerakan reformasi, yang didukung oleh masyarakat luas, dengan kaum muda dan mahasiswa sebagai ujung tombaknya. Suharto, ibarat sumbat botol, telah copot. Sekarang segolongan sangat kecil masyarakat, yaitu kroni-kroninya - anak cucunya terutama -, masih terus dalam usaha mengembalikan sumbat pada botolnya. Segolongan kecil masyarakat lagi, yaitu Habibie-Wiranto dan pengikutnya, memang tidak ingin mengembalikan sumbat yang lama itu. Karena mereka sendiri lah telah merebut peluang untuk menggantikannya sebagai penyumbat yang baru. Mereka itulah yang disebut golongan "status quo", kelompok elite yang mempunyai kepentingan yang sama dengan "Suharto & Co.", yaitu: tidak akan membiarkan isi botol tumpah, dan digantikan dengan isi yang jernih! Itu artinya, Indonesia kita sekarang ini masih tetap di tangan satu rezim yang, mati-matian, ingin mempertahankan sistem dan struktur kekuasaan Orde Suharto, yang selama 32 tahun telah mengubah Republik Indonesia dari suatu negara hukum menjadi negara kekuasaan. Itu artinya, tugas kita adalah jelas. Tumpahkan sama sekali isi botol Orde Baru Babak I, Babak Suharto, dan Babak II, Babak Habibie-Wiranto! Itulah tugas pokok reformasi total yang harus kita rampungkan. Meneruskan aksi untuk membongkar negara kekuasaan, dan mengembalikannya menjadi negara hukum sesuai dengan amanat UUD 45. Tugas pokok reformasi total itu tentu saja bukan hanya menjadi "pé-èrnya" para pemuda, mahasiswa dan massa rakyat. Tapi juga bagi mereka yang disebut, atau yang minta diaku, sebagai para pemimpin bangsa. Pemimpin sejati jangan hanya sibuk menyusun deklarasi dan pernyataan konsep-konsep "cari selamat" dan "cari aman" dari perbenturan dua pihak yang berhadapan. Pemimpin sejati ialah dia atau mereka yang pandai menangkap pertanda zaman, dan kemudian bergerak sesuai dengan amanat zaman itu. Pemimpin sejati bukanlah dia atau mereka yang sibuk mencari legitimasi dari rakyat, sambil memamerkan kelihaian melobi dan berdiplomasi dengan kekuasaan. Pemimpin sejati ialah dia atau mereka, seperti kita lihat pada tauladan Bung Karno, yang jika membuka suara demi "penyambung lidah rakyat", dan jika mengayun langkah demi "amanat penderitaan rakyat". Perkembangan terakhir sekarang ini - kebimbangan, kebingungan dan ketakutan para pemimpin bangsa -, hendaknya merupakan peringatan bagi kaum muda dan mahasiswa sebagai ujung tombak gerakan pembaharuan. Peringatan untuk tidak menggantungkan harapan dan kepemimpinan pada beberapa gelintir tokoh pemimpin, melainkan mempertebal kepercayaan pada kekuatan sendiri sambil disertai usaha penggalangan "people power" yang sejati. Itu artinya, sudah tiba saatnya bagi kaum muda dan mahasiswa sekarang, untuk mencari akar kekuatannya di tengah massa rakyat yang seluas-luasnya. Marilah kita belajar dari sejarah perjuangan rakyat kita sendiri tahun 1948/49, bagaimana Republik Proklamasi yang telah kehilangan segala- galanya itu bisa direbut dan ditegakkan kembali. Marilah kita buang jauh jauh cara berpikir kaum elitis, bahwa massa rakyat ialah kebodohan dan amok. Massa rakyat ialah tulang punggung yang sesungguhnya, apabila kita peka menangkap amanat mereka, pandai merumuskannya menjadi program dan semboyan yang tepat, serta tangkas mengorganisasinya dalam satu arus gerakan bersama. Sesungguhnya hanya massa rakyat itulah sekutu yang terpercaya, justru karena mereka selamanya berada "di luar sistem". Sesungguhnya justru massa rakyat itulah pula tumpuan sejati tuntutan reformasi total dan demokratisasi, oleh karena merekalah yang paling bersih dari "KKN" dan paling mengerti apa arti penindasan dan penderitaan. Sudah tiba saatnya gerakan reformasi total, agar supaya benar benar bisa menjadi total, tidak hanya merupakan gerakan kampus, kampung dan jalanan kota. Tetapi meluas keluar, masuk ke pabrik pabrik dan gubuk gubuk petani di desa desa. Hayo! Amsterdam, 1 Januari 1999. ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html