Precedence: bulk PEMBANGUNANISME, EKONOMI RAKYAT DAN KASUS INDORAYON Oleh: Martin Manurung Porsea, kota kelahiran ayah saya, tiba-tiba saja mencuat menjadi headline berita di media massa nasional. Bahkan, bukan hanya media nasional, sampai media internasional yang ternama pun meliput kota kecil itu. Padahal, letaknya saja cukup terpencil, sekitar 400 kilometer dari Medan, ibukota Sumatera Utara. Apakah gerangan yang membuatnya menjadi begitu terkenal? Untuk menjawab pertanyaan diatas, dibuatlah tulisan ini. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, patut diberi catatan, bahwa tulisan ini tidak disusun untuk memberikan analisis teknis tentang lingkungan hidup. Tulisan ini disusun untuk memberikan kerangka pemikiran makro-ekonomi pembangunan (macroeconomic development) dan ekonomi politik (political economy) yang berkaitan dengan kasus Indorayon dan bagaimana solusi yang harus dilakukan. Arogansi Pembangunanisme Saya sungguh bahagia bahwa keterkenalan Porsea itu bukan karena terjadinya kerusuhan berlatar belakang agama sebagaimana yang sering terjadi akhir-akhir ini. Popularitas Porsea adalah karena begitu militannya rakyat Porsea untuk menentang suatu pabrik yang dianggap telah merusakkan alam lingkungannya selama lebih dari satu dasawarsa. Untuk itu, bahkan saya bukan hanya bahagia, tetapi saya bangga untuk menjadi manusia yang dialiri darah orang-orang Porsea, yang militan menentang perusakan lingkungan hidup. Mengapa Indorayon (nama pabrik itu) harus menjadi masalah? Ada tiga persoalan, yang bisa saya catat sebagai hasil dari arogansi pembangunanisme Orde Baru. Persoalan pertama adalah bahwa Indorayon termasuk dalam grand strategy pembangunanisme Orde Baru. Patut diperhatikan, bahwa saya menggunakan kata "pembangunanisme" dan bukan pembangunan. Sebab, ada perbedaan yang besar antara pembangunanisme dan pembangunan. Pembangunanisme adalah suatu politik ekonomi yang mengagung-agungkan pertumbuhan ekonomi sebagai parameter pembangunan. Karena itu, lantas segala sesuatu dinilai dari apakah dalam suatu proses pembangunan, outputnya dapat memberikan sumbangan pada lajunya angka pertumbuhan ekonomi. Tak peduli apakah proses pembangunan ini dalam praktiknya menyusahkan rakyat atau tidak, selama proses itu bisa menopang laju pertumbuhan ekonomi, maka bisa dilegalisir. Pengorbanan rakyat dianggap sebagai suatu hal yang "wajar" dengan excuse "demi pembangunan", meskipun sebenarnya proses pembangunan itu tidak banyak faedahnya bagi rakyat yang berkorban untuknya. Pembangunanisme juga tidak peduli, apakah proses pembangunan itu akan merusakkan ekosistem dan lingkungan hidup. Pokoknya, proses itu dilihat hanya dari "berapa sumbangannya terhadap pendapatan nasional". Pembangunan, pada sisi lain, sangat berbeda. Sebab, pembangunan memiliki tiga inti, yaitu : 1) Sustanance: The ability to meet basic needs. Pembangunan harus mampu meningkatkan kemampuan setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs), yakni makanan, naungan (shelter), kesehatan dan perlindungan. 2) Self-esteem: to be a person. Pembangunan harus memberikan penghargaan diri sebagai manusia dan tidak digunakan sebagai alat dari orang lain. 3) Freedom from servitude: To be able to choose. Pembangunan harus membebaskan manusia dari perhambaan dan ketergantungan akan alam, kebodohan dan kemelaratan. Kembali pada kasus Indorayon. Ketika ia didirikan, rakyat tak pernah ditanya apakah berkenan di daerahnya didirikan pabrik itu. Dan kalaupun pernah, mungkin hanya "tokoh-tokoh" atau elite masyarakat saja yang diajak "berunding" (dengan tanda kutip). Rakyat tidak pernah tahu, bahwa pabrik yang akan didirikan di daerahnya itu adalah pabrik yang memakai bahan-bahan baku kimiawi yang beracun (seperti chlorine), sehingga bila tanpa diolah dengan baik akan sangat merugikan ekosistem dan masyarakat itu sendiri. Pendeknya, pendapat rakyat tak perlu didengar, sebab mereka hanya menjadi figuran dalam pembangunanisme Orde Baru. Persoalan kedua adalah Indorayon dalam praktik bisnisnya selama ini ternyata menimbulkan masalah terhadap ekosistem dan masyarakat. Berbagai indikasi yang terlihat adalah udara Porsea berbau busuk karena gas buangan H2S menyebar sampai radius 50 km, sejumlah spesies tumbuh-tumbuhan, hewan darat dan air mati. Pertanian gagal. Hutan pohon Pinus dibabat dan ditanami dengan pohon eucalyptus yang rakus air. Air tanah, sungai dan sumur pun mengering sehingga permukaan air Danau Toba menurun +/- 4 meter. Limbah pabrik dibuang ke sungai, sehingga airnya berwarna coklat dan kadar keasaman (pH) naik mencapai 10 (air normal, pH-nya 7). Persoalan ketiga adalah Indorayon dengan praktik bisnisnya seperti disebutkan di atas, tidak memberikan tambahan kesejahteraan yang berarti untuk masyarakat setempat dan tidak mempunyai hubungan dan komunikasi yang harmonis. Fakta yang terlihat adalah bahwa kota Porsea, secara fisik tidak ada perubahan yang berarti. Tapanuli Utara yang pada tahun 1980-an itu (Indorayon didirikan tahun 1983) disebut sebagai "peta kemiskinan", ternyata sampai saat ini masih tergolong pada daerah tingkat II termiskin di Indonesia. "Hubungan baik" yang dijalin Indorayon terhadap tokoh atau elite masyarakat, terutama putra daerah yang telah menjadi pejabat di pusat, ternyata tidak diikuti dengan komunikasi yang harmonis dengan masyarakat setempat. Bahkan, seringkali dalam berbagai kasus, praktik represi dijadikan jalan untuk menyelesaikan masalah. Hal itu, menimbulkan luka sosial yang tereksplosi dalam berbagai gejolak di masyarakat. Memperhatikan arogansi pembangunanisme Orde Baru itu, maka tak mengherankan bila apologi yang dikemukakan untuk mempertahankan eksistensi Indorayon adalah "sumbangannya terhadap pendapatan nasional" (lagi-lagi merupakan bahasa pembangunanisme). Padahal, "sumbangan terhadap pendapatan nasional" bila diperhatikan definisi pembangunan sebagaimana disebutkan diatas, bukanlah segala-galanya. Harus pula diperhatikan, apakah sumbangan Indorayon terhadap peningkatan martabat dan kemanusiaan masyarakat setempat. Ekonomi Rakyat dan Solusi Kasus Indorayon Masih berkaitan dengan pembangunanisme sebagaimana diuraikan diatas, kini kita fokuskan pada analisis ekonomi rakyat. Sebagai suatu paradigma, ekonomi rakyat adalah proses dan praktik ekonomi yang berorientasi pada pembangunan manusia/rakyat. Dalam istilah ekonomi sering disebut dengan people-centered development. Dengan demikian, dimaksudkan bahwa dengan melakukan pembangunan maka manusia dapat diberdayakan, ditingkatkan kesejahteraannya, pendidikannya, kesehatannya dan rasa amannya. Paradigma ekonomi rakyat juga mengamanatkan bahwa dalam setiap proses pembangunan, hendaknya berbasis pada sumber-sumber daya yang menjadi keunggulan komparatif daerah tersebut. Karena itu, pembangunan suatu industri haruslah dilihat dari dua sisi; apakah industri tersebut sesuai dengan karakteristik sumber daya daerah itu dan apakah industri itu dapat meningkatkan martabat, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan dan rasa aman masyarakat tempat industri itu berada. Bila dua hal itu tidak dapat dipenuhi, maka industri itu tidak dapat dibenarkan untuk didirikan di daerah itu. Dalam kasus Indorayon, melalui analisis di atas, tampaknya kurang memenuhi dua sisi itu. Lalu, apakah Indorayon harus ditutup? Inilah pertanyaan yang sekarang populer. Memandang dari berbagai analisis yang dikemukakan diatas, jawabannya akan condong kepada kata "ya". Tapi, yang lebih penting, keputusan itu harus datang dari rakyat sendiri sebagai pihak yang selama ini mengalami kerugian, gangguan dan ketidaknyamanan akibat berdirinya Indorayon. Jawaban harus berpulang pada masyarakat setempat, bukan dari tokoh-tokoh atau elite yang selama ini telah "berhubungan baik" dengan Indorayon. Kini, saatnya suara rakyatlah yang harus didengarkan oleh Indorayon dan kita semua. Tapi, akan rugikah negara, banyakkah pengangguran akibat penutupan Indorayon? Dengan tegas dan pasti dapat saya katakan: Tidak! Sebab, dengan nilai investasi yang sama, dapat dibuat industri lain yang lebih sesuai dengan dua sisi yang saya kemukakan diatas, yaitu agro-industri. Sekitar 70% penduduk Tapanuli Utara adalah petani. Karena itu, bila didirikan suatu industri pertanian yang modern, tentu akan lebih dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat secara lebih merata (traditional sectors enrichment effect on distribution of income). Pekerja yang semula dipekerjakan di Indorayon, dapat pindah dalam industri pertanian. Sebab, penduduk setempat yang bekerja di Indorayon umumnya adalah buruh (unskilled), sehingga tidak ada hambatan untuk shift ke bidang pekerjaannya yang baru. Industri pertanian juga relatif tidak menghasilkan limbah beracun seperti industri pulp dan rayon, sehingga lebih ramah lingkungan Jadi, sekali lagi, rugikah negara dan banyakkah pengangguran jika Indorayon ditutup dan diganti dengan industri yang berbasis pada pertanian? Jawabnya, Tidak! Siapakah yang rugi? Mungkin, hanya konglomerat yang mempunyai Indorayon itu sendiri. Martin Manurung Mahasiswa FEUI, dan Koordinator Pemuda dan Mahasiswa "Forum Bona Pasogit". Referensi: Arief, Sritua. Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia. (Jakarta: CPSM, 1998). Siahaan, Ashoka. Bencana di Lingkungan Toba. (Siborong-borong: KSPPM, 1993) Swasono, Sri-Edi. "Benhilisme", Suara Pembaruan, Sabtu 22 Oktober 1994. Todaro, Michael P. Economic Development. (NY: Addisson-Wesley Publishing Company, 1997). ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html