Precedence: bulk


SUARA SOEHARTO LEWAT "GARDA" TENTANG REFORMASI 

Oleh: Sulangkang Suwalu
        
        GARDA, sebuah majalah berita dwimingguan, Volume 1/03-18-31 Januari
l999, isinya sungguh menarik. Betapa tidak! GARDA memberi peluang kepada
Suharto 
untuk mengemukakan sikapnya membela sistem fasisme yang berlaku selama 32 
tahun dibawah kekuasaannya, dan sekaligus menentang reformasi total yang 
dilancarkan mahasiswa dan rakyat Indonesia.
        Bukan itu saja. Malah GARDA edisi kedua menceritakan bagaimana Pak Harto 
dengan Bung Karno. Ada kisah bahwa Bung Karno sudah lama menyiapkan Pak 
Harto. Pada 1963 di Istana Merdeka, Bung Karno menanyakan Achmadi. "Tahu kah 
kamu siapa yang akan menggantikan Bapak?" Achmadi menjawab, "Jenderal Achmad 
Yani." Bung Karno bilang, "Itu yang pakai celana gombrong." Waktu itu Bung 
Karno menunjukan Pak Harto" (hal: 16).
        Apa kah cerita Garda ini sungguh-sungguh terjadi, karena tidak bisa 
dikonfirmasi baik kepada Bung Karno maupun Achmadi (karena keduanya sudah 
almarhum), ataukah rekayasa politik saja dari orang yang mengkultuskan 
Soeharto, entahlah. Hanya yang pasti Presiden Soekarno menilai Suharto itu 
koppeg (keras kepala).
        Tentang kekoppegannya itu, menurut GARDA: pasalnya, dia menolak perintah 
lisan langsung dari Bung Karno untuk melucuti komandannya sendiri, Mayor 
Jenderal Sudarsono. "Waktu itu dikenal dengan peristiwa 3 Juli 1946. 
Sudarsono ikut bersama pimpinan Murba Sukarni mendongkel Bung Karno. Pak 
Harto meminta supaya perintah diberikan secara tertulis. Ketika itu Pak 
Harto masih berusia 25 tahun dengan pangkat Letnan Kolonel. Bagi Letkol 
Suharto tentu sangat sulit melucuti komandannya sendiri, Panglima Divisi 
Yogyakarta.
        Dia satu-satunya prajurit yang berani membantah perintah Bung Karno.
Itulah awalnya kenapa dia disebut perwira muda yang koppeg (hal: 3).
        Sukar untuk bisa diterima oleh akal yang sehat, bila pada 1946 saja, 
Bung Karno sudah menilai Soeharto perwira muda yang koppeg, kemudian pada 
1963 menyatakan "Soeharto lah yang akan menggantikannya". Juga mustahil 
rasanya Bung Karno sebagai seorang demokrat, akan bertindak sebagai seorang 
raja untuk menunjuk penggantinya. Penggantinya semestinya tergantung kepada 
kemauan rakyat Indonesia.
        Kenyataan ini menunjukkan nampaknya GARDA diterbitkan memang untuk
memuja Soeharto dan memberikan peluang baginya untuk membela politik fasismenya 
selama berkuasa 32 tahun. Mari kita ikuti wawancara GARDA dengan Soeharto, 
di antaranya sebagai berikut:

DEMOKRASI YANG SESUAI JATIDIRI?

        Menanggapi pertanyaan wartawan GARDA, Soeharto diantaranya mengatakan,
"Jadi selama 32 tahun ini bukannya kita tidak mengenal demokrasi, tapi
demokrasi 
yang sesuai dengan jatidiri kita sebagai bangsa Indonesia. Jadi kita 
penting memberikan pengorbanan kepada hak-hak individu kita untuk 
kepentingan yang lebih luas. Bukan malah menonjolkan sifat individu. Dan 
falsafah itu dipandang dari segi barat merupakan penghalang demokrasi 
mereka. Sekarang ini sedang dicoba diterapkan.
        Kalau begini terus kita akan hancur. Tapi selama 32 tahun, kita mengalami
ketenangan, dengan tenang kita bisa menjaga kestabilan dan mengejar 
pertumbuhan serta berusaha dan bisa memerangi kemiskinan.
        Sekarang yang ingin diterapkan adalah mengutamakan kepentingan individu 
seperti demokrasi di barat. Dan ini jelas tidak cocok. Atau setidak-tidaknya 
belum cocok. Ini yang mau dipaksakan. Apa yang dilakukan sekarang bukan 
untuk kepentingan masyarakat, tapi untuk kepentingan pribadinya. Untuk apa, 
untuk jadi presiden. Rakyat lah kini yang menanggung semua ini. Apa kah ini 
akan kita biarkan?
        Saya yang dianggap tidak sesuai dengan mereka. Semua itu sudah dicekoki. 
Seperti Amien Rais, sudah tidak memikirkan lagi. Yang menonjol hanya 
kepentingan pribadinya. Sebetulnya orang bisa baca. Seorang intelek kok 
ngomongnya begitu. Seorang yang katanya pemimpin agama kok begitu ucapan. 
Ini saja bisa dilihat. Biar dikatakan betul-betul pejuang demokrasi, pejuang 
reformasi. Padahal kadar kepemimpinannya, hujat menghujat sehingga melupakan 
ini tanggungjawab kita semua.
        Mereka menyalahkan saya. Semua tanggungjawab saya. Padahal yang saya 
perbuat berdasarkan UUD. Pelajari saja apa yang ada didalam UUD. Apa yang 
saya perbuat merupakan tuntutan UUD 1945. Terus mereka mengatakan bukan. 
Malah bertentangan. Saya melakukan untuk pemurnian Pancasila dan UUD. Kita 
sudah melewati beberapa kali pemilu. Yang menang Golkar terus. Kan namanya 
pemilihan, kalau begitu harus ada yang menang dan yang kalah. Kalau tak mau 
ada yang menang, ya, bagikan saja kursinya" (Hal 17).
        Dari jawaban Soeharto ini dapat diketahui bahwa dirinya membela sistem 
fasisme yang diberlakukannya selama 52 tahun, sebagai demokrasi yang sesuai 
dengan jati diri; Suharto menentang gerakan reformasi, karena itu 
dianggapnya hanya cocok untuk di barat; dan Soeharto mengatakan ia senantiasa 
berbuat untuk pemurnian Pancasila dan UUD 1945. Benar kah demikian?
        Mari kita mengingat-ingat atau mengulang-ulang kembali tentang apa yang 
telah terjadi selama Soeharto berkuasa 32 tahun itu.

SOEHARTO BELA FASISME DAN TENTANG REFORMASI

        Apa arti ucapan Suharto melalui GARDA tersebut? Dengan membaca secara 
teliti apa yang dikatakan Soeharto kepada GARDA  tersebut, dapat diketahui 
bahwa Soeharto membenarkan semua tindakannya yang  antidemokrasi, anti 
hak-hak azasi manusia sebagai sesuai dengan demokrasi Indonesia, sesuai 
dengan jati diri bangsa Indonesia. Dengan demikian ia membela fasisme dan 
menentang gerakan reformasi.
        Menurut Soeharto selama 32 tahun ia berkuasa, dengan tenang ia menjaga 
kestabilan. Dengan tenang ia menjalankan sistem politik dosomuko, yaitu 
kedaulatan rakyat dirampas; Pancasila dijadikan tameng kekuasaan; hukum 
dikangkangi; parpol dan serikat buruh dipasung; parlemen dikebiri; pers 
dimandulkan; ekonomi berwajah nepotisme-monopoli-korupsi-kolusi; pendidikan 
dijinakkan; kebudayaan diseragamkan; nilai-nilai kemanusiaan diinjak-injak 
(Lihat Soebadio Sastrosatomo "Politik Dosomuko Rezim Orde Baru, hlm: 3-4).
        Untuk menjaga kestabilan dengan tenang Suharto melakukan tindakan-tindakan 
represif dan terjadilah tragedi di Aceh yang menelan korban (2000-3000 
orang) tragedi di Timor Timur dengan korban (3000 orang); tragedi di Irian 
Jaya dengan korban (300 orang); tragedi di Tanjung Priok dengan korban (250 
orang); tragedi di Lampung dengan korban (260 orang); trageti Woyla dengan 
korban (100 orang); kasus penembakan misterius dengan korban (3000 orang); 
kasus penculikan aktivis (200 orang); kasus 27 Juli dan Gambir (30 orang) 
dan hilang (16 orang); tapol/napol masih meringkuk dalam penjara (260 
orang). Itu baru catatan Kontras, seperti yang dimuat MEGAPOS (13-19 
Desember 1998).
        Untuk mengejar pertumbuhan, dengan tenang Suharto membuat peraturan
hukum yang disebut "deregulagi perekonomian" yang ditujukan untuk kepentingan 
segelintir Konglomerat --yang sebagian besar adalah sanak saudara penguasa 
dan pengusaha berfasilitas non pribumi. Buktinya 70% aset ekonomi Indonesia 
dimiliki oleh hanya 300 orang kapitalis perkoncoan berdasarkan crony 
capitalism dan erzatz capitalism. Rakyat Indonesia yang dibawah garis 
kemiskinan sudah meningkat menjadi 105 juta orang, atau lebih dari 50% 
penduduk Indonesia. (Lihat A Zainal Abidin, Guru Besar Emeritus Universitas 
Hasanuddin, Kompas, 3/7/98).
        Soeharto juga dengan tenang memanipulasi Sapta Marga dan Sumpah Prajurit 
sebagai mengatakan tidak menghendaki pergantian atau perubahan UUD 1945 dan 
jika ada yang hendak menggantikan ABRI akan angkat senjata. Dengan 
memanipulasi itu maka berhasil Soeharto merekayasa Konsensus Nasional, dimana 
ia berhak mengangkat 1/3 anggota MPR dan kemudian 1OO kursi bagi ABRI di 
DPR. Dengan tenang Soeharto menempatkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit 
diatas dari UUD 1945. Karena Pasal 37 UUD 1945 membenarkan adanya hak MPR 
untuk mengadakan perobahan UUD 1945, bila 2/3 anggota MPR menghendakinya.
        Konsensus Nasional yang melumpuhkan UUD 1945 itu, diiplementasikan oleh 
Soeharto menjadi 5 UU Politik Tahun 1985, di mana Soeharto berhak mengangkat 
anggota DPR/MPR sebanyak 60% dan baru tahun 1997 yang diangkat hanya 57,5%. 
Lebih banyak yang diangkat dari yang dipilih. Dan itulah yang menjamin 
kemenangan Golkar terus menerus dalam pemilu.
        Pelumpuhah UUD 1945 dan Pancasila itulah, yang dimaksud Soeharto dengan 
pemurnian UUD 1945; dan Pancasila. Konstitusional yang inkonstitusional.

KESIMPULAN

        Jelas kiranya bahwa karena Suharto menganggap semua tindakannya selama 32
tahun berkuasa dianggapnya benar, telah sesuai dengan demokrasi Indonesia, 
dengan jati diri bangsa Indonesia, maka karena itu imbauan Amien Rais supaya 
Soeharto meminta maaf atas dosa-dosanya yang dilakukan terhadap rakyat selama 
berkuasa, menjadi hanya semacam impian, sama seperti mengharap tanduk dari 
kuda.
        Malah Amien Rais di mata Suharto: kadar kepemipinannya, hanya "hujat 
menghujat" hanya mengemukakan gerakan reformasi untuk "kepentingan nya, 
supaya bisa menjadi presiden."
        Apa yang dikatakan demokrasi Indonesia oleh Soeharto, tak lebih dari 
demokrasi di masa pemilikan budak, dimana demokrasinya hanya untuk tuan-tuan 
budak dan bukan bagi budak. Atau paling-paling model demokrasi di masa 
raja-raja, dimana demokrasinya hanya untuk raja-raja dan kaum bangsawan dan 
bukan bagi tani hamba atau hamba sahaya. Demokrasinya untuk minoritas yang 
berkuasa, diktaturnya bagi mayoritas yang dikuasai.***

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke