Precedence: bulk Sobron Aidit INTEL (1) Lama sekali buatku berpikir, harus memutuskan apakah jadi memenuhi ajakan Mas Oyik buat ke Jawa Tengah. Mas Oyik walaupun baru kukenal tahun lalu, dan tahun ini baru berkenalan secara ketemu muka dan sudah pula aku berkunjung ke rumahnya, tapi untuk pergi bersama dalam satu minggu tentulah harus pikir-pikir panjang. Yang kukenal Mas Oyik adalah orang baik, namanya saja Orang Yang Idenya Kerakyatan. Dan secara nama, Mas Oyik sudah lama kukenal, walaupun ketika itu baru melalui karangan serta hasil sastranya. Ada yang kutandai pada Mas Oyik ini.Dia adalah penulis yang luarbiasa anti-korupsinya.Dapat disimpulkan,dialah seorang penulis dan sastrawan mengambil spesialis anti-korupsi.Hampir setiap tulisan cerpennya selalu bernafaskan anti-korupsi.Dia dengan dahsat membongkar dunia korupsi, menelanjangi sepakterjang dan tingkahlaku para koruptor. Bagaimana aku tidak sangat bersimpati kepadanya! Dan simpatiku ini ternyata memang beralasan,dia tetap teguh, menulis anti-korupsi. Orang boleh tidak suka kepadanya, tapi dia menulis dengan kejujuran,karena itu soal suka tidak suka,adalah soal selera. Tapi dia berjuang dengan caranya sendiri, teguh menulis tentang anti-korupsi. Kepada Ajoeb sudah kukatakan,aku mau ke Jateng dengan Mas Oyik. "Hanya berdua saja?",kata Ajoeb. "Ya,hanya berdua saja". "Luarbiasa kau beraninya!" "Mungkin bukan berani,tetapi bodoh atau nekad", kataku menambahkan. "Coba kau pikir lagi baik-baik,dengan tenang,dengan jangkauan jauh", kata Ajoeb lagi. Dan besoknya aku kembali ke Ajoeb,lalu kukatakan : "Mas Oyik sudah mengatakan padaku,soal keamanan selagi dengan aku, kujamin semampuku,begitu kata Mas Oyik". "Okey,pergilah dan selalu harus hati-hati,lalu ingat pesan si Aty itu",katanya lagi. Aku ingat pesan Aty, ponakanku itu, yang profesinya paranormal. Aty pesan, kalau mau selamat berlakulah sebagai turis. Dan aku tak mengerti apa maksudnya, sebagai turis itu. Lalu dijelaskannya. Ada tidak turis yang ikut demonstrasi. Ada tidak turis yang mengadakan ceramah, atau ketemu orang-orang yang sekiranya dicurigai. Ada tidak turis yang ikut-ikut rapat. Lalu barulah aku mengerti, kalau memang sebagai turis biasa ya berlakulah sebagai turis. Dan selalu menilpun begitu tiba di suatu tempat. Okeylah,pesan itu mungkin bisa sebagai perbekalan keamanan. Dan kami berangkat berdua dengan Mas Oyik dengan bis yang pakai AC dan ada karaokenya, dan dilengkapi dengan makanan dalam besek. Hal ini dulu 30 tahun yang lalu samasekali belum ada. Dan aku menikmati perjalanan ini dengan sedikit waswas dan selalu hati-hati. Kami menuju Magelang dan akan menginap di kaki Borobudur, di rumah seorang teman Mas Oyik, mas Tomy yang punya sanggar-tarian. Begitu tiba sudah menjelang pagi.Dan aku terheran-heran, mengetok pintu pada jam 03.00, tuanrumah membukakan pintu dengan wajah sangat ramah. Keherananku ini mungkin karena aku terlalu lama hidup di luarnegeri, terlalu lama terpisah dengan masarakat bangsa dan tanahairku sendiri. Sekeluaga itu bangun dan menyambut kami dengan ramah dan hangat. Begitu pagi kami sudah disuguhi makanan, dan minta ampun-, kami disuguhi duren, puluhan tahun tak pernah merasakan duren tanahair. Rumah ini masih bagian dari perkantoran Candi Borobudur. Karena itu selama kami di sana, setiap pagi aku naik ke atas puncak Borobudur itu, tanpa melewati penjagaan resmi yang harus bayar karcis-masuk. Pertama kali aku mengunjungi Borobudur pada tahun 1953 dan kini tahun 1994, sudah lebih 40 tahun. Dulu ketika pertama kali ,terasa bukan main besar dan tingginya candi itu. Tapi sekarang ini terasa biasa-biasa saja, tidak sangat besar dan tidak sangat tinggi. Biasa saja sampai ke puncak. Mungkin karena sudah sering dan banyak melihat dan mengalami naik candi dan bangunan lain yang besar-besar dan tinggi-tinggi selama pengembaraan puluhan tahun ini. Di kaki Borobudur itu pada jam 06.00-pun sudah banyak orang berjualan, berdagang, dan para turis sudah mulai naik ke atas dengan berbagai jenis kameranya. Terasa sangat enak dan indah menikmati sekeliling Borobudur ini. Aku dilepas sendirian oleh Mas Oyik dengan selalu berpesan agar hati-hati. Mas Oyik sedang asik dengan Mas Tom berbincang-bincang karena mereka-pun sudah lama tidak bertemu. Sehari sebelum kami melanjutkan perjalanan ke Yogya dan Solo buat bertemu dengan Mas Khayam dan Mas Joko Pekik, Mas Oyik sambil memperlihatkan sebuah kartupos bergambar bertanya kepadaku : "Masih ingat Mas Mul?" Lama aku berpikir dan menggali dalam-dalam kenangan yang sudah 45 tahun. "Lupa saya",kataku. "Dia tidak lupa sama sampeyan. Pasti kalau saya ingatkan, sampeyan akan sedikit teringat". "Dia dari Solo juga?" "Lha ya, dulu ketika mula-mula Mas Mul datang ke Jakarta, sampeyan yang jemput dan membawanya ke mana-mana, tahun awal 50-an, masih ingat? Dia selalu ingat itu",katanya. Lama juga saya mengingat kejadian itu dan lama-lama barulah terungkap. Nah,barulah sedikit terungkap setelah berusaha keras memeras ingatan. Mas Mul memang benar saya kenal baik, dia dari Solo. Pada tahun 1949. Pada tahun awal 1949 saya menyaksikan parade militer melalui Jalan Purwosari yang kini berubah menjadi Jalan Slamet Riyadi. Parade itu dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto dengan naik kuda. Gagah sekali,dengan jenggot brewoknya. Dan aku banyak punya teman "anak-anak Solo" seperti Mas Mul, Mas Willy, Trisno Sumardjo alm, Harto Andangjaya dll. Lalu Mas Oyik memperlihatkan isi surat itu,yang mengatakan agar Mas Oyik lebih berhati-hati, apalagi dalam perjalanan ini disertai oleh SA. Dan melihat aku tertegun keheranan itu, Mas Oyik membuka tabir sedikit : "Ketika sampeyan di Bali itu memang diikuti. Pada tanggal sekian hari itu sampeyan sekeluarga kan ada di Karangasem di hotel anu kan?" "Ya" jawabku. "Lalu ketika di Denpasar di hotelnya kepunyaan Gramedianya Mas Yakob itu kan?" "Ya",jawabku lagi. "Satu minggulah sampeyan di Bali,lalu langsung ke Paris,ya kan?" "Ya" jawabku. "Sampeyan selamat-selamat saja, karena sebagai turis biasa sih, ngapain ngembututin orang mandi di kolamrenang, di pantai, makan-makan di resto. Yang ngikutin keenakan dong, negara harus bayar!" kata Mas Oyik lagi. Dan lagi aku terhenyak bingung.Bagaimana tali-temali dan lingkaran setannya itu. Mas Mul bersama TI menerbitkan Taufan Sastra mengganyang kami kaum kiri. Habis-habisan dalam buku itu kami diganyangnya. Padahal pada yang namanya TI aku aku tak pernah kenal, tapi dia terus-terusan menulis tentang kami dan aku pribadi, menghantam keras. Lalu tali-temalinya dengan Mas Oyik? Tak seujung rambutpun aku bisa punya persangkaan bahwa Mas Oyik maupun Mas Mul juga terlibat dalam urusan lapor-melapor begini. Dan sampai kini aku percaya penuh kepada dua temanku ini. Dan tak pernah terpikir padaku sampai saat ini bahwa mereka berdua akan menjerumuskan diriku. Tetap sampai kini kuanggap mereka berdua adalah teman-teman yang baik. Dan begitu sampai di Yogya ketemu Mas Joko Pekik, tertawa berderailah dia, katanya "Bagaimana,tentunya ada yang ngikutin dong ya. Ya,harus perlu diikuti dong, siapa tahu berbahaya," kata Mas Joko sambil tampak agak meledek. Dan kami beramahtamahan. Untuk selanjutnya akan ke Solo ketemu Mas Dayat pelukis yang sangat apik, resik, tua tapi energik itu. Dengan Mas Khayam tak dapat ketemu,entah dia di mana. Tapi aku memang belum pernah ketemu Mas Khayam. Dan begitu kembali ke Jakarta, kuceritakan kepada Ajoeb semua yang terjadi dan juga rasa kebingunganku. "Nah,kau bisa belajar banyak dari pengalaman itu. Kalau mereka itu bersatu, maka habislah kita ini, tapi kalau kita bisa bersatu maka buncailah kerja mereka. Dalam mereka ada kita,dalam kita terselip mereka,gumul bergumul masing-masing mencari dan menentukan kekuatan.Dan pertarungan belum selesai. Dan kau harus belajar memilih dan memilah mana yang bernas mana yang hampa,mana yang berguna dan mana yang berbahaya,demikian kata Ajoeb. Setahun sesudah itu Ajoeb meninggal,dan aku sangat kehilangan. (BERSAMBUNG) ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html