Precedence: bulk


PERINTAH WIRANTO TEMBAK DI TEMPAT LANGGAR HUKUM

Oleh: Sulangkang Suwalu

        Perintah tembak di tempat yang dikeluarkan Menhankam/Pangab Jenderal
Wiranto, sesungguhnya bukan barang baru, karena di masa kolonialisme Belanda
tempo dulu, juga telah digunakan para serdadu kolonial Belanda untuk meredam
pemberontakan rakyat di Aceh.
        Sekitar usai Perang Dunia I, perintah tembak ditempat itu diganti dengan
exorbitante rechten, hak luar biasa gubernur jenderal untuk membuang
seseorang, bila dianggapnya seseorang atau sekelompok orang itu pengacau
atau mengganggu ketertiban dan keamanan. Berjatuhanlah korban dari kalangan
kaum pergerakan. Mereka dibuang ke Boven Digul. Sebagai hasil "tembak di
tempat" gubernur jenderal dengan exorbitarte recchtennya.
        Ketika tentara Jepang menguasai Indonesia, tembak di tempat juga dilakukan
serdadu Jepang dengan lebih sadis. Yang dianggapnya perusuh atau pengacau
diseretnya ke alun-alun dan di sana disudahi nasibnya. Hal itu dilakukan
serdadu fasis Jepang untuk menangani kerusuhan dan menciptakan ketertiban.
        Tentara kolonial Belanda kembali melakukan perintah tembak ditempat, dikala
mereka melancarkan Perang Kolonial (1947-1948) dengan dalih "Aksi
polisionil". Di mata Belanda semua pejuang kemerdekaan adalah pengacau,
ekstremis.
        Begitu pula pada saat Soeharto berkuasa selama 32 tahu, juga perintah
tembak ditempat telah dilakukan Soeharto, misalnya terhadap bromocorah
sekitar tahun 80-an sehingga ribuan yang terbunuh. Ketika itu terkenal
penembakan misterius (petrus). Yang melakukan penembakannya adalah aparat
keamanan.

MELANGGAR HUKUM

        Dan kini Wiranto mengeluarkan pula perintah tembak ditempat, tanpa dibawa
ke pengadilan, bagi para perusuh atau provokator. Hal itu mungkin dilakukan,
karena jika sampai ke pengadilan bisa terungkap siapa dalang yang
sesungguhnya di balik semua kerusuhan selama ini.
        Sesungguhnya perintah Wiranto tembak di tempat ini, melanggar ketentuan
hukum yang berlaku. Menurut Oerip Hartono HP (Merdeka, 14/2) bahwa dari
sudut tertib hukum dan perundang-undangan, sebenarnya perintah tembak
ditempat itu jelas melanggar peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(Perpu) No 23/1959 yang sampai kini masih berlaku, karena belum dicabut.
        Perpu ini mengatur tentang tertib sipil, darurat sipil, dan darurat
militer. Situasi darurat sipil (juga darurat militer) sepenuhnya menjadi
wewenang presiden. Selanjutnya pada situasi darurat sipil yang memerintahkan
tembak ditempat adalah Kapolri, sedangkan pada situasi darurat militer yang
memerintahkan perintah termbak ditempat adalah Panglima ABRI. Namun
kesemuanya mutlak harus didahului pernyataan darurat presiden.
        Hal ini penting dikemukakan. Jangan sampai berbagai peristiwa kekejaman
masa DOM di Aceh berulang kembali. Dimana banyak prajurit dipersalahkan
karena tindakan kekerasannya tidak berdasarkan hukum. Jangan sampai
prajurit-prajurit di lapangan yang telah berjibaku melawan para perusuh pada
ujung-ujungnya disalahkan karena tindakannya tidak berdasarkan
hukum/perundang-undangan yang kuat.
        Demikian Oerip Hartono HP. Dan bagaimana tanggapan Koesparmono Irsan,
mantan Deputy Operasi Kapolri tentang perintah tembak ditempat dari Wiranto?

HUKUM HARUS DITEGAKKAN

        Menurut Koesparmono Irsan sebaiknya perintah tembak ditempat jangan
diumumkan, karena akan memberi kesan buruk di dunia internasional, seperti
nyawa manusia Indonesia itu murah sekali. Namun perintah tembak ditempat
tetap harus dilakukan sesuai prosedur hukum dan tidak bisa semua prajurit
diperbolehkan dan asal menembak. Harus ada konsensus bahwa hanya lah polisi
yang berhak menembak Kesatuan lain tidak diperkenankan.
        Besoknya (Merdeka, 9/2) lebih memperjelas tanggapannya itu, dengan
mengatakan: Ada tiga hal yang harus dilakukan sebelum melaksanakan perintah
tembak ditempat. Pertama, hukumnya sendiri harus ditegakkan dengan benar dan
jujur. Tidak lagi memilih dan memilah. Ke dua, aparatnya juga harus
konsisten menegakkan hukum. Bukan malah mereka yang melakukan pelanggaran
atau memberi contoh yang tidak baik. Ke tiga, bahwa upaya-upaya hukum harus
dilakukan untuk melindungi rakyat, bahkan malah untuk menakut-nakuti atau
memanfaatkan rakyat untuk kepentingan tertentu.
        Selanjutnya, Koesparmono Irsan mengatakan, "Ya, kalau Satgasnya (Satuan
Tugas) dibentuk olen militer, lalu mereka yang menembak --bukannya polisi,
kesannya jelas kurang baik. Orang pasti bertanya: lho, yang nembak kok
militer sih? Jadi, jangan militer yang melakukan. Ini kan negara hukum.
Kenapa tidak penegak hukumnya yang melakukan. Nah, polisi itu secara hukum
ada kewenangannya. Artinya, yang menjadi penegak hukum adalah polisi."
        Apa artinya tanggapan Koesparmono Irsan ini?
        Jika benar-benar Wiranto hendak menegakkan hukum, tentu dia tidak akan
mengeluarkan perintah tembak ditempat. Karena belum ada pernyataan Presiden
yang menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat militer, jangankan darurat
militer, darurat sipil saja belum dinyatakan oleh presiden. Di sini
kelihatan Wiranto hertindak sendiri saja, tanpa memperdulikan hukum-hukum
yang berlaku.
        Seperti diketahui Wiranto juga pernah mencoba memanipulasi UU No 20/82
sebagai dalih untuk membentuk Ratih (rakyat terlatih). Percobaannya itu
gagal, karena Komisi I DPR segera memperingatkan bahwa menurut UU No 20/82
tersebut harus ada ada Undang-undangnya lebin dulu sebelum melakukannya.
Kini Wiranto mengabaikan pula pernyataan presiden tentang situasi, telah
mengeluarkan perintah tembak ditempat saja.
        Sayangnya hingga kini belum ada langkah-langkah dari pihak yang berwenang
untuk mengoreksi tindakan perintah tembak ditempat dari Wiranto tersebut
supaya perintahnya itu dicabut Wiranto kembali.

KESIMPULAN

        Jelas kiranya bahwa perintah tembak ditempat yang dikeluarkan
Menhankam/Pangab jenderal Wiranto bukanlah untuk menegakkan hukum, malahan
justru menggerowoti hukum. Karena kalau akan menegakkan hukum, tentu
perintah ditembak ditempat baru akan dikeluarkannya, setelah Presiden
menyatakan Indonesia dalam keadaan "darurat militer".
        Perintah tembak ditembak dikeluarkan Menhankam/Pangab tanpa didahului
pernyataan keadaan "Darurat Militer" oleh Presiden, hanya menunjukkan bahwa
dewasa ini yang berkuasa adalah militer, meski pun Wiranto mengatakan "tidak
ada tempat bagi Junta Militer di Indonesia".***

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke