Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 44/II/5-11 Desember 99
------------------------------

KORUPSI LATIEF DAN BOMER DI JAMSOSTEK

(POLITIK): Di zaman Abdul Latief jadi Menteri Tenaga Kerja, dana menebar ke
mana-mana, tak hanya ke kantung orang-orang DPR, tapi juga ke kantungnya
pribadi.

Jamsostek memang gemuk. Dari mengutip uang sekitar 14,5 juta buruh, hingga
kini terkumpul Rp7 triliun. Jadi, karena gemuk, Jamsostek jadi tempat
ngobyek. Taruhlah, penempatan dana sebesar Rp2 triliun di BBD, BDN, Bank
Bumi Daya, Bapindo, dan Bank Eksim, yang kemudian di pinjam oleh grup usaha
milik Latief. Penempatan dana itu dihitung sebagai pinjaman dengan bunga
sedikit lebih rendah daripada tingkat suku bunga perbankan yang berlaku. 

Selain manipulasi bestek pembangunan Menara Jamsostek dan skandal uang suap
senilai Rp3 miliar untuk para anggora DPR perancang RUU Ketenagakerjaan,
Jamsostek masih digelayuti banyak kasus korupsi. Ini bisa dilihat dari hasil
audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Cabang Jakarta untuk
tahun buku 1997. Penyelewengan itu misalnya munculnya pengeluaran untuk
biaya renovasi Gedung Hiperkes, Oktober 1997 sebesar Rp2,6 miliar. BPKP
mencatatnya sebagai penyelewengan karena pengeluaran itu sama sekali tak
berhubungan dengan Jamsostek. Uniknya, pengeluaran ini disetujui oleh
Menteri Keuangan, Mar'ie Muhammad. Selama tahun 1997 itu pula, Jamsostek
diketahui mengeluarkan dana sumbangan kepada pihak lain sebesar Rp298,2 juta
dan membiayai Kantor Sekretariat Menteri Tenaga Kerja, Abdul Latif. 

Penyelewengan yang lebih mengejutkan muncul di sektor lain. BPKP menemukan
penerbitan bilyet deposito dengan bunga rendah yang dikaitkan dengan
pencairan kredit pada pihak ketiga. Pemberian kredit itu diberikan kepada
anggota DPR-RI berjangka waktu lima tahun pada Bank Papan Sejahtera.
Resminya untuk kredit kepemilikan rumah bagi para anggota dewan yang
terhormat itu. Total kreditnya Rp2 miliar. Kredit juga diberikan pada
karyawan tertentu di kantor pusat Jamsostek dengan jangka waktu yang tidak
jelas, sebesar Rp340 juta di Bank Internasional Indonesia dengan bunga 12
persen. Kredit paling besar diterima PT Graha Garuda Tiara Rp53,1 miliar
dengan bunga yang amat kecil, delapan persen. Pencairan dana ini lewat Bank
Tabungan Negara.

Menurut BPKP, karena penyelewengan itu, PT Jamsostek dirugikan Rp4,58 miliar
setiap tahunnya dengan asumsi rata-rata bunga deposito sebesar 17 persen.
Nah, dengan tingginya tingkat suku bunga sekarang ini, kerugian yang
diderita Jamsostek akan jauh lebih besar.

Namun, menurut Latief, dana dipakai pihaknya cuma Rp.3,1 miliar. Untuk apa
saja dana sebesar itu? Sebagian besar dipakai untuk membiayai 60 anggota
panitia khusus DPR dan 34 pegawai Depnaker yang terlibat dalam pembahasan
RUU Ketenagakerjaan. Mereka ini diinapkan selama 25 hari di Hotel Horison
Jakarta, yang dijadikan tempat pembahasan RUU. Untuk biaya hotel dan segala
fasilitasnya saja dana yang dihabiskan mencapai Rp.1,2 miliar. Lalu, kemana
larinya sisa dana sebesar Rp.1,9 miliar? Kata Abdillah Nusi, uang itu
dipakai untuk komputerisasi, biaya pakar hukum, penggandaan materi, dan
pembelian alat tulis.

Tapi, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan
dana yang bisa dipertanggungjawabkan oleh Departemen Tenaga Kerja hanya
Rp.2,4 miliar. Itu berarti, ada dana sekitar Rp.700 juta yang tak jelas
penggunaannya. Nah, kala itu, sempat santer beredar kabar bahwa tiap anggota
panitia khusus mendapat "uang lelah" sebesar Rp.20-an juta. 

Meski para anggota pansus menututup-nutupi soal "uang lelah itu, bau skandal
dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan itu segera saja merebak ke masyarakat.
Apalagi, belakangan ditemukan bukti transfer yang memperkuat kecurigaan
skandal itu. Misalnya, bukti transfer tanggal 18 Juni 1997, sebesar Rp.1,1
miliar, melalui giro di Bank Bumi Daya Cabang DPR-RI. Tujuannya: seorang
anggota Fraksi Karya Pembangunan DPR. Tak lama kemudian, orang yang sama
menerima transfer susulan senilai Rp.1 miliar. Kuat dugaan, dana tersebut
dipakai untuk melobi para anggota pansus RUU Ketenagakerjaan.

Berdasarkan temuan BPKP tadi, kejaksaan kemudian turun tangan melakukan
penyelidikan dalam kasus ini. Namun, tak lama kemudian penyelidikan itu
dihentikan. Alasannya, tak ada bukti penyalahgunaan uang negara. Ini klop
dengan kesimpulan BPKP yang menyatakan dana yang dipakai tadi bukan berasal
dari simpanan para buruh, melainkan sisa keuntungan hasil usaha Jamsostek. 

Kamis, 25 November lalu, Latief: diumumkan jadi tersangka. Latief tentu saja
menyangkal semua tuduhan terhadapnya. "Penggunaan dana itu sudah sesuai
prosedur dan administrasi yang berlaku. Jadi, negara tidak dirugikan," kata
bos Latief Corporation itu. Tapi, mengapa menggunakan dana Jamsostek untuk
membiayai penyusunan RUU Ketenagakerjaan? Menurut Latief, waktu itu tidak
ada alokasi dana APBN untuk mendanai RUU itu. Padahal, UU Ketenagakerjaan
itu sangat dibutuhkan untuk melindungi kaum pekerja. 

Namun, ya itu tadi, penyelewengan yang dilakukan Latief tak hanya itu.
Misalnya, dugaan mark-up dana pembangunan Gedung Menara Jamsostek, di Jalan
Gatot Subroto, Jakarta, sebesar Rp63 milyar. Lalu, soal penyertaan modal ke
delapan perusahaan swasta (yang sama sekali tak berkaitan dengan bidang
kerja Jamsostek) sebesar Rp55 milyar, di antaranya untuk PT Pasar Raya milik
Latief yang sempat kecipratan Rp21 milyar. 

Menurut Teten Masduki, Koordinator ICW, Latief juga sering menyewa pesawat
dengan memakai uang Jamsostek. Dalam catatan ICW, setidaknya ada tiga kali
Menteri Latief menyewa pesawat: tanggal 25 Februari 1997 menyewa pesawat
dari PT IAT sebesar Rp.164 juta untuk keperluan kampanye pemilu; tanggal 28
Mei 1997 senilai Rp.171 juta tanpa perincian kegiatan; dan pada 31 Oktober
1997 sewa pesawat ke Kuala Lumpur, senilai Rp.560 juta. 

Dana Jamsostek juga dipakai untuk membiayai penyuluhan turnamen golf
Depnaker sebesar Rp.20 juta. Ada pula pembiayaan dokumentasi dan publikasi
selama Januari-September 1997 sebesar Rp.298 juta. Pada 4 Juni 1997 tercatat
pengeluaran dana Jamsostek sebesar Rp.110 juta untuk kegiatan operasional
Menteri Latief, saat mengadakan pertemuan dengan tokoh Sumatera Barat di
rumah pribadinya, di Jalan Kalimalang No. 77, Jakarta Timur. 

Pada 31 Oktober 1997, Latief juga menginstruksikan kepada Direktur Utama
Jamsostek untuk menempatkan uang Rp.1 trilyun di Bank Tabungan Negara, untuk
jangka waktu penempatan empat tahun dengan tingkat bunga 14 persen per
tahun. Instruksi itu, kata Latief di suratnya, sesuai dengan petunjuk
Presiden Soeharto sehari sebelumnya. Dana yang dimaksudkan untuk membangun
Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS) dikeluarkan tanpa
melalui otoritas moneter. Selain, Latief, Bomer Pasaribu, Komisaris PT
Jamsostek, yang kini jadi Menteri Tenaga Kerja, juga ikut menikmati hasil
penyelewengan itu. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke