Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 44/II/5-11 Desember 99 ------------------------------ MERATAPI KINERJA DPR Oleh: Henry Boen (OPINI): Masyarakat banyak menaruh harap pada anggota DPR periode sekarang. Itu terlihat dari tekad anggota DPR sekarang, untuk menjadi penyeimbang bagi pemerintah (eksekutif). Tanda-tanda itu telah ditunjukkan anggota DPR, dengan mempraktekkan "bunga-bunga" demokrasi, seperti interupsi, seringnya menyelenggarakan acara dengar pendapat, yang dulu sepertinya "tabu" dilakukan. Namun harapan pada anggota DPR itu, kini mulai goyah, tatkala menyaksikan penampilan Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk masalah Aceh, pada saat meminta keterangan para mantan petinggi TNI, Senin malam yang lalu (29/11). Maksudnya meminta keterangan pada para jenderal, mengenai operasi TNI di Aceh. Yang terjadi, anggota Pansus malah terkesima oleh tangkisan para jenderal. Mulanya publik memberi acungan jempol, karena berhasil mendatangkan para mantan jenderal. Terlebih berhasil mendatangkan Jenderal Benny, yang selama ini terkesan misterius. Tetapi hasil "interogasi" malam itu nol besar. Rapat Pansus tidak mampu mengorek keterangan dari para jenderal tersebut. Anggota Pansus banyak yang terjebak pada retorika, ketimbang membahas substansi persoalan. Sejumlah pertanyaan dan pernyataan, banyak yang tidak terfokus, dan diulang-ulang, sehingga tidak mampu menggiring ke arah pengungkapan yang lebih dalam, pihak mana yang paling bertanggung jawab dalam berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Kira-kira apa yang membuat pertanyaan anggota Pansus itu kurang tajam? Kemungkinan mereka kurang membaca hasil investigasi beberapa LSM (seperti Kontras, LBH, PBHI), atau tim investigasi independen lainnya. Mereka juga kurang rajin mencari bahan masukan. Singkatnya, para anggota Pansus itu malas. Sifat malas inilah yang fatal. Pada tahap tertentu, pembawaan malas itu bisa "dibenarkan", karena sudah menjadi "tradisi" masyarakat kita. Maka jangan heran kalau bangsa kita selalu terbelakang. Bandingkan dengan masyarakat yang memiliki kultur rajin, tidak usah jauh-jauh ke Jepang, cukup Singapura yang tetangga kita. Perkembangan SDM mereka sungguh mengagumkan. Salah satu bentuk perilaku orang malas adalah, ingin mencapai sukses (kalau bisa) tanpa kerja keras. Sikap seperti itulah yang kini menjangkiti anggota Pansus tersebut, dan anggota DPR pada umumnya. Beberapa "Bintang" di Pansus, seperti Heri Akhmadi, Yulius Usman dan Ahmad "Gogon" Sumargono, yang diharapkan mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas dan tajam, untuk menekuk Jenderal TNI Purn Benny Murdani dan kawan-kawan, ternyata pertanyaan mereka cuma begitu-begitu saja. Pertanyaan mereka sama sekali tidak menunjukkan, bahwa mereka dulu adalah seorang tokoh gerakan. Ketokohan mereka telah pupus. Yang justru mengagumkan adalah tangkisan dari Jenderal Benny. Dengan satu kalimat saja, sudah cukup membuat anggota Pansus mati kutu. Benny justru balik menyalahkan anggota Pansus, karena "salah undang". Benny beralasan, selaku Menhankam tidak memiliki wewenang dalam operasi di Aceh. "Lain kali yang diundang Panglimanya saja," jawab Benny kalem. Terlihat sekali anggota Pansus kurang menguasai materi kasus Aceh. Jadinya mereka hanya mengandalkan common sense belaka. Selain hanya mengandalkan common sense, asumsi mereka terhadap para jenderal juga salah. Mereka sangka para jenderal itu akan bersikap ksatria, sesuai dengan citra yang dibuat-buat bagi anggota TNI. Padahal etika ksatria itu cuma simbolisasi, yang tidak berlaku pada kondisi riel anggota TNI. Adalah naif, bila kita berharap, para petinggi TNI akan jujur mengakui kesalahan-kesalahannya. Anggota Pansus mungkin berasumsi, para jenderal akan berlaku puritan seperti halnya Panglima Sudirman dulu. Sungguh asumsi yang berakibat fatal. Bila ingin "menginterogasi" TNI, data harus kuat dan kongkret, misalnya disiapkan foto tindakan kekerasan anggota TNI di Aceh. Kalau tidak memperoleh gambarnya, hadirkan saksinya (para korban). Kalau data kita abstrak (masih dalam kepala), TNI pasti berkelit. Seperti yang dilakukan Benny, Tri Sutrisno, dan para jenderal lainnya. Seandainya anggota Pansus itu sedikit kritis. Mereka akan tahu, bahwa tangkisan Benny di atas ("Lain kali yang diundang Panglimanya saja"), merupakan kelicikan Benny. Artinya Benny ingin cuci tangan dari soal Aceh. Sementara operasi militer di Aceh sudah gencar dilakukan sejak masa Pangab Jend M Yusuf (1978-1983), sampai sekarang. Otomatis Benny terlibat, karena Benny adalah pengganti M Yusuf. Sayang nalar seperti ini, tidak singgah di kepala anggota Pansus. Pengalaman buruk Pansus masalah Aceh ini, jangan sampai terulang, seandainya DPR akan membentuk Pansus masalah pelanggaran HAM di Timtim, atau Pansus lainnya. Data dan fakta soal pelanggaran HAM di Timtim ada setumpuk. Kalau para jenderal, lagi-lagi berkelit. Anggota Pansus DPR itulah yang keterlaluan! Rupanya anggota DPR lebih senang mejeng di layar kaca dengan jas mentereng, ketimbang bekerja keras mencari informasi dan masukan, dari masyarakat. Kalau itu yang terjadi, mereka lebih pantas disebut sebagai selebritis, ketimbang wakil rakyat. Apa yang pernah dilantunkan Iwan Fals (Wakil rakyat seharusnya merakyat) sama sekali tidak terjadi. (*) Penulis adalah mantan aktivis LSM --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html