Precedence: bulk


ISTIQLAL (9/12/99)# MEGAWATI TIDAK MENGIKUTI SEMBOYAN SUKARNO
Oleh: Sulangkang Suwalu

        Kalau Bung Karno pada tahun 1933, punya semboyan "banyak bicara, banyak
bekerja" (DBR, hal: 215-217), maka Megawati punya pula semboyan: "banyak
diam, banyak membisu". Sehingga banyak yang menjulukinya sebagai tokoh
"bisu". Dengan "membisu", masyarakat bertanya-tanya: bagaimana pendirian
Megawati dalam banyak ihwal. Banyak yang bersimpati, karena Megawati adalah
anak Sukarno, idola mereka.
        Tampaknya kebiasaan berdiam diri atau membisu, juga terbawa ketika ia
ditugaskan Presiden Abdurrahman Wahid menangani masalah Ambon. Mega tetap
diam, tak segera berangkat ke Ambon.
        Sampai muncul berita rakyat Ambon sudah menjerit-jerit, sementara Wapres
Megawati di Jakarta, sepertinya diam saja, atau belum bergerak kakinya untuk
menengok rakyat yang menderita di Ambon. Anggota Komnas HAM Benjamin
Mangkoedilaga menyesalkan sikap Mega yang memilih bersikap diam dan tidak
segera datang ke Ambon. Mestinya setelah ditugaskan oleh presiden Gus Dur
menangani masalah Ambon, secepatnya dia datang ke Ambon, sehingga pertikaian
antar kelompok di sana mereda.
        Tetapi mengapa Mega tetap berdiam diri dan tak segera berangkat ke Ambon
memenuhi tugas yang dibebankan presiden padanya? Umumnya orang hanya
menduga-duga. Hal itu tercermin dari Tajuk Rencana Padang Ekspres (30/11)
dan komentar pengamat intelijen Dr AC Manullang.
        Ketua DPR Akbar Tanjung pekan lalu juga menegaskan agar wapres Megawati
segera berangkat ke Ambon, karena keadaannya semakin parah. Tetapi Wapres
sepertinya memperoleh masukan agar jangan terburu-buru, karena situasi
keamanan di Ambon belum menentu, sehingga jika datang kesana dalam waktu
dekat dikawatirkan justru memicu pertikaian yang lebih besar.
        Kita memahami jika misalnya muncul masukan seperti ini, sehingga desakan
Ketua DPR kepada wapres agar segera ke Ambon belum bisa segera ditindak
lanjuti. Hanya saja, karena sudah ditugaskan presiden Abdurrahman Wahid
untuk memperioritaskan penyelesaoan masalah Ambon, seharusnya wapres
Megawati memiliki agenda yang jelas. Jika tidak bisa kesana saat ini, kapan
rencana ini akan dilakukannya untuk menemukan cara menyelesaikan pertikaian
berdarah itu, seharusnya Megawati sudah memiliki gambaran yang teragendakan
dengan transparan.
        Jika perlu rencana kerjanya bisa dilontarkan ke masyarakat sehingga bisa
memperoleh masukan yang berguna masalah Ambon bukan lagi masalah lokal dan
wilayah, tetapi sudah menjadi masalah nasional. Sebagai warisan masalah yang
ditinggalkan rezim politik lama, jelas karakteristik persoalan Ambon itu
bisa muncul serupa di wilayah Indonesia yang lain.
        Paling tidak, wapres perlu meminta pandangan wakil-wakil rakyat di DPR.
Dengan begitu wapres, akan memperoleh masukan yang lebih banyak dan mungkin
banyak yang berguna untuk menjadi referensi menyelesaikan konflik di Ambon.
Kita yakin Megawati sudah memiliki agenda kerja, tetapi dengan memperoleh
banyak masukan dari pihak lain, rencana kerja itu akan lebih berbobot dan
lebih kaya variasinya sehingga akan lebih mudah masuk ke akar persoalan di
Ambon. Dengan begitu solusi masalah Ambon segera ditemukan dengan acuan yang
lebih memperoleh gambaran optimistik untuk berhasil.
        Yang tidak bisa kita harapkan ialah wapres belum memiliki Program yang
jelas tentang solusi masalah Ambon. Pedekatannya, bahkan cenderung
bergantung pada presiden Abdurrahman Wahid, padahal presiden sudah membagi
tugas dan memberi kewenangan yang besar dan jelas kepada wapres. Hal yang
tidak terjadi selama pemerintahan Suharto, justru mengakibatkan Megawati
ragu-ragu untuk menyelesaikan masalah Ambon.
        Padahal semakin Megawati tak gegera ke Ambon, akan sangat terkesan
pemerintah tak sungguh-sungguh untuk menyelesaikan pertikaian disana. Dan
itu sama artinya dengan membiarkan rakyat di sana saling membunuh. 
        Ini komentar yang disampaikan berkaitan dengan tugas Mega menangani masalah
Ambon seputar apa yang harus dilakukan Megawati Sukarnoputri di Ambon.
Pengamat intelijen Dr AC Manullang mengatakan, setelah sampai di Ambon,
Megawati harus mengetahui persis pasukan TNI disana.Mega harus melihat
siapa-siapa yang ada di sana. Sepengetahuan saya, pasukan di Ambon itu
terdiri dari Kostrad, Marinir dan Mobrig. Untuk itu Mega harus meminta suatu
korps pasukan saja yang bertanggungjawab atas keselamatannya. Jadi, jangan
semua pasukan. Ini bisa berabe, tandas Manullang.
        Tentunya, lanjut Manullang --yang bekas Direktur intelijen BAKIN itu-- di
Ambon, Megawati mendapat pengawalan ketat dari pasukan intelijen. Kalau
Megawati kesana, itu artinya Mega sudah membaca laporannya intelijen,
laporan-laporan dari pasukan lainnya.
        Dikatakannya, untuk menyelesaikan masalah Ambon, Mega juga harus melihat
sampai dimana hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah di tingkat
kabupaten. Sebab, di Ambon, sesuai tradisi --Bupati diangkat oleh raja.
        Setelah ada demokrasi, tradisi pengangkatan Bupati itu hilang. Nah faktor
itu harus diperhatikan, sebab mungkin berkaitan dengan kerusuhan. Jadi, Mega
harus memperhatikan dan menanyakan, ungkapnya.
        Selama itu, kata Manullang, masalah agama, persoalan SARA sangat peka di
Ambon dan berpotensi tinggi menggerakkan kerusuhan. Persoalan ini, papar
Manullang tidak dapat diselesaikan secara parsial.
        Bergolaknya Ambon, sudah kait mengkait, jadi harus diselesaikan secara
integral. Pihak intelijen asing juga sudah mengetahui dan mengobok-oboknya.
Untuk itu, intelijen kita harus mengcounternya. Tidak bisa, dong pihak luar
mengobok-obok negara kita.
        Setelah mengetahui aspek-ospek di atas, kata Manullang, Mega harus
mengumpulkan seluruh warga Ambon, berbicara dengan gaya bahasa santun.
Pidato itu harus dibarengi dengan pendekatan pursuasif.
        Sementara itu pakar hukum tatanegara Prof Sri Soemantri berpendapat,
seorang pejabat seperti wapres, tentu sudah gecara matang dipersiapkan
kehadirannya di Ambon, misalnya dengan siapa Mega akan bertemu. Mega datang
kesana bukan dalam keadaan kosong, atau tidak ada apa-apa, itu berarti
tamparAn untuk Hega.
        Kehadiran Mega di Ambon, sambungnya, tidak boleh mubazir, karena risikonya
dapat menimbulkan ketidak percayaan rakyat. Pulang dari sana Mega bisa
dikecam secara keras, apalagi pers sekarang ini kan tajam dan apa adanya.
        Namun demikian, Sri Soemantri percaya Megawati sudah mempersiapkan diri
secara maksimal untuk berkunjung ke Ambon. Apalagi masalah yang terjadi di
Ambon sangat sensitif, dan bernuansa SARA. Mega harus banyak mendengarkan
pendapat atau pandangan para tokoh di Ambon, termasuk para tokoh adat.
        Dengan mencermati isi Tajuk Rencana Padang Ekspres, serta komentar pengamat
intelijen Dr AC Manullang dan pendapat Prof Sri Soemantri, dapat
diperkirakan: ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan Megawati bersikap
diam atau membisu, meskipun Presiden Gus Dur telah memerintahkannya untuk
segera menangani masalah Ambon.
        Pertama; mungkin Megawati menganggap persoalan Ambon itu masalah kecil atau
enteng saja. Akan mudah diselesaikan. Karena itu tak perlu bicara. Hanya
buang-buang energi. Meskipun persoalannya bernuansa agama dan SARA.
        Kedua; mungkin Megawati menganggap persoalan Ambon soal yang cukup besar,
tak mudah diselesaikannya. Ia membutuhkan banyak masukan, sebelum mengajukan
solusi atau jalan keluar untuk meredakan pertikaian di Ambon. Nasehat dari
pembantu-pembantunya dianggapnya kurang memadai. Ia ingin masukan lebih
banyak lagi. 
        Ketiga; mungkin Megawati sudah siap dengan jalan keluarnya. Hanya ia
kawatir jika jalan keluar yang dikemukakannya nanti, ditolak oleh
pihak-pihak yang bertikai dan dengan demikian misinya akan gagal. Bila
misinya gagal, tentu akan bersilang telunjuk di hidungnya sebagai ejekan,
cibiran. Megawati tak ingin mengalami hal yang demikian.
        Keempat; mungkin Megawati meragukan atas kemampuannya meredakan pertikaian
di Ambon itu. Hanya saja ia tak ingin jika keterbatasan kemampuannya itu
sampai diketahui masyarakat. Itu akan menjatuhkan martabatnya di mata
masyarakat.
        Baik karena kemungkinan pertama, kedua, ketiga atau keempat atau gabungan
dari empat kemungkinan itu yang menyebabkan Megawati berdiam diri atau
membisu, itu hanya menunjukkan ketidakmampuan Megawati menyelesaikan
pertikaian yang terjadi di Ambon yang bernuansa agama dan SARA itu.
        Yang jelas, dengan membisunya Megawati dia tidak memberikan pendidikan
politik kepada rakyat, sedang Mukaddimah UUD 1945 menuntut supaya Megawati
turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ia
harus banyak bicara dan banyak bekerja, sesuai dengan semboyan yang 66 tahun
yang lalu dikumandahgkan Bung Karno.

KESIMPULAN
        Tampaknya Megawati tak mau belajar dari kelemahannya yang suka "membisu"
atau "berdiam diri" , sehingga memudahkan bagi Amien Rais dengan Poros
Tengahnya menjegal Megawati jadi presiden dan menaikkan Gus Dur jadi presiden.
        Sekiranya Megawati menjelang SU MPR tsb, tidak membisu atau banyak berdiam
diri, tentu Megawati tidak akan dinilai sebagai arogan atau angkuh, tidak
akan dinilai sebagai meremehkan kelompok yang perolehan suaranya kecil dalam
pemilu, sehingga menimbulkan anti-pati pada dirinya. Sekiranya Megawati
banyak bicara (yang berisi pendidikn politik) dan banyak bekerja seperti
yang menjadi semboyan Bung Karno di tahun 1933, besar kemungkinan Megawati
tidak akan mengalami kekalahan dalam pemilihan presiden.
        Ya, Megawati adalah Megawati, ia bukan Sukarnois, meskipun ia menyandang
nama Sukarro. Ya, seorang anak belum tentu akan mengikuti sepak terjang atau
langkah yang diayunkan orang tuanya. Hal itu tampaknya berlaku bagi Megawati.***


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke