Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 46/II/19-25 Desember 99 ------------------------------ ULAH MILISI DI BULAN SUCI (POLITIK): FPI main hakim sendiri, dibiarkan polisi. Gerakan macam ini bisa gerogoti kekuasaan pemerintahan Gus Dur. Mengapa mereka dulu dilempari batu oleh masyarakat? Kekhawatiran pada euforia demokrasi, kini terbukti. Gejala main hakim sendiri mengandalkan kekuatan massa, terjadi di beberapa tempat di ibukota, Jakarta. Mulai dari perampasan berbagai macam minuman keras dari toko-toko, hingga ancaman dan pendudukan kantor Balaikota DKI. Rangkaian aksi ini dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri Front Pembela Islam (FPI). Semula, sebagian orang menduga, setelah naiknya Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4, yang bakal "berulah" adalah beberapa organisasi yang berafiliasi ke NU. Kekhawatiran ini kian menguat terutama saat grup Bagito dituduh melecehkan Gus Dur dalam acara di stasiun televisi swasta. Saat itu, Banser NU mengeluarkan pernyataan bernada ancaman pada Bagito --yang untungnya segera minta maaf dan "berpeluk-pelukan" dengan Gus Dur. Namun, yang sekarang muncul dan langsung 'mengeksekusi' adalah FPI. Salah satu aksi heboh yang mereka lakukan adalah menduduki Kantor Balaikota sekaligus DPRD DKI, Senin (13/12) lalu. Tuntutannya, agar Gubernur DKI Sutiyoso membatalkan surat edaran yang isinya mengatur tempat hiburan di masa puasa. Akibat aksi yang melibatkan ribuan orang ini, para karyawan tak dapat bekerja. Sutiyoso sendiri, baru dapat masuk mendekati pukul 11.30. Itupun setelah dikawal Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Noegroho Djajoesman. Yang jadi soal sebenarnya bukan "pendudukan Balaikota"-nya. Bukan pula soal isi tuntutan yang mereka sampaikan --yang bisa jadi memang baik. Tapi, tindak "pemaksaan" yang dilakukan FPI untuk membatalkan surat edaran tadi. Tanpa bisa mendengar pertimbangan berbagai pihak, Sutiyoso terpaksa mengiyakan pencabutan surat edaran itu. Meskipun mengaku tidak "mencabut", tapi "merevisi", tetap saja ia melakukannya di bawah tekanan. Akibat keputusan sepihak itu, keesokan harinya, ribuan massa yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Hiburan Indonesia (Aspehindo) melakukan demonstrasi tandingan. Kali ini lebih tertib dan massanya lebih besar ketimbang FPI. Mereka, sebetulnya, setuju pembatasan jam operasi tempat hiburan. Mereka hanya minta agar tak menutup sama sekali tempat hiburan selama bulan Ramadhan. "Pikirkan juga nasib karyawan, tukang ojek, sopir yang menggantungkan hidup di tempat-tempat seperti ini," ujar mereka. Dihadapkan pada pendemo yang lebih besar, Sutiyoso melunak. Ia menyatakan akan tetap memberlakukan Surat Edaran No. 48/1998. Yang berarti, tempat hiburan masih dapat buka sehabis shalat tarawih hingga pukul 01.00 di bulan puasa. Persoalannya tentu tak selesai di sini. Pasalnya, saat mendatangi kantor Balaikota sehari sebelumnya, pimpinan pendemo FPI, Muchsin Alatas sempat mengancam, "Kita tunggu sampai tiga hari, kalau tuntutan kita hanya dipenuhi 5%, kita akan datang dengan dosis yang lain." Di hari ketiga memang tak terulang demonstrasi di Balaikota. Namun, mereka beraksi di tempat lain dengan mendatangi toko-toko yang menjual minuman keras, menyitanya dan menyerahkan pada polisi. Jumlahnya mencapai ribuan botol. Main hakim sendiri ala FPI ini, herannya tidak ditanggapi serius pihak kepolisian. Polisi malah mengaku merasa 'dibantu' oleh FPI. "Sebab, dengan begitu, polisi tak perlu bekerja sendiri," ujar seorang perwira polisi. Dampak negatif hilangnya kewibawaan hukum di tengah masyarakat, tampaknya tak terlalu jadi perhatian serius aparat keamanan. Dalam konteks bernegara pun, kejadian semacam ini dapat menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokrasi. "Semestinya, setelah terbentuknya pemerintahan secara demokratis, semua aspirasi dari bawah hendaknya disalurkan lewat institusi demokrasi yang sudah ada," ujar Muflizar dari Divisi Pemantauan Parlemen KIPP. Bukannya malah main hakim sendiri. "Yang berbahaya dari aksi FPI adalah, selain memaksa, mereka bertindak dengan mengatasnamakan agama. Ini jelas ancaman serius bagi demokratisasi," timpal seorang aktifis LSM. Bisa jadi, aksi-aksi semacam ini kelak membahayakan pemerintahan Gus Dur. Sebab, bagaimanapun tindakan main hakim sendiri lama kelamaan bisa menggerogoti kewibawaan penguasa. Apalagi, jika di baliknya terdapat motif politicking kelompok tertentu. Sejauh ini, FPI hampir selalu dapat menunjukkan posisi politiknya yang 'netral'. Tempat-tempat yang sering menjadi sasaran aksi FPI ada di kawasan Jakarta Pusat. Khususnya di sekitar Mangga Besar, Lokasari, Gajah Mada dan Kota. Mereka mengaku didukung oleh para ulama dan tokoh masyarakat, Korps Mubaligh Taman Sari dan Hisbullah. Isu yang ditampilkan selalu dikaitkan dengan identitas organisasinya --termasuk saat terjadi pembakaran gereja di Jl. Ketapang di Jakarta Pusat beberapa waktu silam. Sekali saja FPI terkesan membela kepentingan pemerintahan Habibie. Yaitu saat mereka mengadakan demo tandingan di kawasan Benhil, Jakarta Pusat, terhadap demo mahasiswa yang menolak keberadaan RUU PKB, akhir September lalu. Saat itu, masyarakat sekitar Benhil yang bersimpati pada mahasiswa, melempari FPI dengan batu hingga mereka bubar. Munculnya fenomena FPI, tak pelak lagi menunjukkan kompleksitas persoalan yang kini dihadapi bangsa ini. Sejak awal terbentuknya pemerintahan Gus Dur, persoalan ini telah dapat diperkirakan kemunculannya (baca "Iakah Jurudamai 'Santri-Abangan?"). Mungkinkah Gus Dur --dan kita semua-- bisa mengatasinya? (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html