Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 47/II/26 Desember 1999 - 1 Januari 2000 ------------------------------ BANGKIT TAPI RAPUH, TAHUN 2000 (EKONOMI): Ekonomi Indonesia bisa bangkit di tahun 2000. Tapi, peran investor asing masih amat penting. Tanpa antisipasi, kasus PLN-Paiton bisa terulang. Kita sudah di dasar jurang, tak mungkin lebih buruk lagi," kata Emil Salim. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) ini yakin, era kebangkitan ekonomi Indonesia bakal segera tiba. Krisis ekonomi yang telah berlangsung sejak 1997, akhirnya akan segera berlalu. Terlalu cepatkah ia bersikap optimis? Entahlah. Menghadapi masa depan, semua orang punya pendapat berbeda-beda. Namun, pada akhirnya cuma akan ada dua macam sikap: pesimistis dan optimistis. Pesimistis berarti tak yakin perekonomian Indonesia akan bangkit dalam waktu dekat. Optimistis berarti yakin Indonesia punya peluang untuk bangkit lebih cepat. Masing-masing punya argumen kuat. Emil Salim jelas ada dalam kelompok sikap kedua. Bagi yang pesimis, total utang luar negeri Indonesia -baik pemerintah maupun swasta- yang nilainya sudah di atas US$100 milyar, bagaimanapun takkan bisa 'disulap' dalam waktu setahun ini. Belum lagi melihat terkuaknya satu persatu skandal perbankan berbau KKN, mulai dari Bank Bali hingga Texmaco, yang membuat citra Indonesia tetap buruk. Selama kita masih belum bebas dari soal-soal itu, selama itu pula perekonomian Indonesia akan terus terpuruk. Sementara yang optimis melihat, utang luar negeri tak terlalu masalah, selama pengelolaannya dilakukan secara baik. Yang penting adalah mengundang kembali para investor asing untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Supaya roda perekonomian dapat berputar dan secara perlahan-lahan membawa dampak positif seperti penciptaan tenaga kerja dan peningkatan daya beli masyarakat. Dengan begitu, pembayaran cicilan utang menjadi mungkin -meskipun bisa pula ditempuh jalan permintaan penjadwalan kembali atau "pengampunan utang" (debt relief). Hal ini pernah dilakukan banyak perusahaan besar Korea (chaebol) macam Hyundai, Samsung dan LG. Kendati selisih utang para chaebol itu pernah mencapai nilai 300% dari asetnya, namun kini mereka dapat menguranginya hingga 200%. Sehingga memungkinkan Korea tampil terdepan di antara negara yang terkena dampak paling parah krisis ekonomi Asia. Mereka yang optimis bolehlah merasa di atas angin. Pasalnya, lembaga terkenal macam The Economist Intelligence Unit, EIU punya prediksi serupa. Menurut lembaga ini, proses pemulihan ekonomi Asia akan terus berlangsung pada tahun 2000, meskipun pemulihan ini disebut masih 'rapuh'. Faktor Amerika Serikat menjadi menentukan dalam proses pemulihan nanti. Pertumbuhan ekonomi AS saat ini dinilai terlalu tinggi, sehingga diperkirakan akan menurun di tahun 2000 dan 2001. Bila penurunan secara pelan-pelan ini terjadi, tak masalah, karena pertumbuhan ekspor Asia ke AS takkan terganggu. Soalnya jadi lain, kalau pertumbuhan ekonomi AS terus-terusan meninggi. Sebab, ini ibarat membiarkan sebuah balon ditiup hingga pecah. Bakal terjadi crash di bursa-bursa saham, dan ini bisa menyeret perekonomian Asia kembali ke dasar jurang. Cina pun perlu diperhatikan. Lambannya pertumbuhan ekonomi Cina juga bisa jadi ancaman bagi Asia. Selama Cina tak tergoda mendevaluasi mata uangnya, perekonomian Asia akan aman. Tapi, jika Cina merasa ingin lebih kompetitif dan mendevaluasi yuan, ini berarti menenggelamkan pertumbuhan ekonomi para tetangganya di Asia. Syukur, hingga kini, AS dan Cina tak memperlihatkan gelagat yang bisa merugikan Asia. Sejak tahun lalu misalnya, para ekonom negeri Paman Sam telah mengingatkan Bill Clinton untuk menahan laju pertumbuhan ekonominya. Begitu pula Cina yang sebetulnya punya peluang mendevaluasi yuan di tahun ini, namun enggan melakukannya. Mereka tampaknya memperhitungkan kerugian global yang bakal terjadi, bila hal itu dilakukan -cepat atau lambat mereka juga akan merasakan akibatnya. Karena masih banyak yang optimis dengan kebangkitan ekonomi Asia. Hanya saja, menurut EIU, dibanding negara-negara Asia lainnya, perekonomian Asia Tenggara -termasuk Indonesia- dan Korea Selatan harus lebih diwaspadai. Negara-negara ini masih berkutat dengan upaya keras merestrukturisasi banyak perusahaan yang tak efisien serta sektor finansialnya, khususnya perbankan. Jika proses ini terhambat, kepercayaan para investor asing bisa hilang dan akibatnya bisa fatal. Modal bisa terbang. Bagi Indonesia yang punya segunung utang, peran investor asing memang masih amat menentukan kebangkitan ekonomi. Untunglah kepercayaan asing mulai pulih. Pialang saham terkenal, George Soros, telah memborong saham perusahaan unggulan di Indonesia. Beberapa investor dari Eropa, Jepang, AS dan Australia, baru-baru ini telah menyatakan niatnya menanamkan modalnya dalam proyek pembuatan jalan tol. Utang perusahaan Garuda Indonesia sebesar US$1,8 milyar, berhasil disetujui penjadwalan ulangnya oleh pihak kreditor, Lufthansa AG dan Deutsche Bank. Bahkan, PT IPTN, dikabarkan telah pula menerima order senilai US$1,6 juta dari CASA Spanyol. Berita yang sungguh menggembirakan. Sayangnya, ini berarti pemerintah, mesti sering mengakomodir tuntutan mereka. Inilah yang terjadi dalam kasus PLN dan PT Paiton Energy yang jelas merugikan. Amat mungkin hal-hal semacam ini akan terulang. Karena itu, pemerintah sebaiknya mempersiapkan antisipasinya. Siapa mau dikerjai dua kali? (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html