Precedence: bulk Hersri Setiawan Surat Negri Kincir - Sebuah Tinjauan KEN ANGROK - BRANDAL YANG MENJADI RAJA Untuk Henk Maier (II) AROK - DEDES (Pramoedya Ananta Toer - Hastha Mitra 1999) PARARATON karangan berbentuk gancaran, disusun dalam akhir abad ke-15. Di dalamnya dirangkum cerita-cerita dan kronik kejadian-kejadian sejarah yang penting. Di atas sudah disebut, nama "Pararaton" sama seperti Bustan as-Salatin, artinya kitab tentang para raja. Tapi yang dimaksud ialah raja-raja dari kerajaan Singasari dan kerajaan Majapahit, sebagai penerus kerajaan yang dibangun oleh raja bertangan besi Ken Angrok itu. Lebih menyempit lagi tokoh sentral Pararaton ialah Ken Angrok, pendiri dinasti raja-raja Singasari dan Majapahit, sehingga kisah tentang kehidupannya segera dituturkan sejak lembar pertama kitab. Hampir separoh isinya bercerita tentang Ken Angrok, yang merupakan campuran antara khayal dan kenyataan. Dari sudut sejarah semua sejarawan menyebut, bahwa mutu kesejarahan Negarakertagama (syair Prapanca, 1365) lebih andal ketimbang kidung Pararaton. Syahdan. Runtuhlah kerajaan Kediri, dan bangunlah kerajaan Singasari. Oleh Ken Angrok. Ia anak Ken Endok, petani desa di tepi Brantas di kawasan Tumapel, di utara kota Malang sekarang. Karena kemiskinan, tapi sangat mungkin juga karena lahir tak berbapa, sejak selagi masih bayi ia dibuang ibunya. Dengan harapan agar bayi itu ditemu seseorang, dan akan diasuh serta dibesarkannya. Harapan itu memang terjadi. Ia ditemu seseorang pencuri. Sehingga "Bocah Tiban" ini pun tumbuh dan menjadi besar sebagai pencuri dan penyamun. Tapi, sekalipun pencuri, Bocah ini memang cerdik dan panjang akal. Tumapel ketika itu di bawah kekuasaan seorang adipati, Tunggul Ametung, yang tunduk di bawah kekuasaan Raja Kertajaya di Kediri (1191-1222). Berita tentang kejahatan pencuri ini tersebar juga di wilayah Kediri. Maka diperintahnya Tunggul Ametung agar menangkap pencuri itu. Suatu ketika ia dikejar orang Tumapel beramai-ramai hendak ditangkap. Tiba di pinggir kali perbatasan ia terpaksa berhenti. Sejurus termangu. Tiba-tiba saja ia mendapat akal. Di pinggir kali itu ada sebatang pohon siwalan. Ia segera memanjat pohon itu sampai ke ujung. Duduk di salah satu pelepah daun. Ketika orang-orang tiba di situ, segera mereka mengepung pohon tal sambil berseru-seru menyuruh si Brandal turun. Salah seorang dari mereka segera memanjat pohon itu dengan tangkas. Sementara itu si Brandal tampak mengepit dua pelepah daun tal di kedua belah tangannya. Selagi orang masih sibuk bertanya-tanya di hati masing-masing tentang apa yang akan terjadi, si Brandal dengan bersayap daun tal telah melayang terbang ke daratan seberang sana sungai. Orang-orang itu gagal menangkap si Pencuri. Dengan hati kesal tapi juga rasa kagum mereka kembali ke desa. Tanah seberang sungai itu wilayah kerajaan lain, yang tak mungkin mereka masuki beramai-ramai. Lagi pula arus kali itu pun tidak bersahabat. Lolos dari pengejaran, si Brandal bersembunyi beberapa lama. Sementara itu dewa-dewa di Suralaya berunding, mencari jalan bagaimana bisa menyelamatkan si Brandal. Di persidangan para dewa ini ternyata Brandal ini justru menjadi rebutan ketiga-tiga dewa Trimurti. Semuanya mengaku sebagai yang berhak atas pemuda brandal yang berani dan panjang akal itu. Dewa Brahma dan Dewa Syiwa saling mengaku sebagai ayahnya. Sedangkan Dewa Wisnu mengaku, bahwa pada tubuh Brandal itulah ia menemukan tempat awatara atau titisannya yang terbaru. Namun begitu kelak, jika si Brandal sudah tampil sebagai raja Ken Angrok pembangun dinasti raja-raja Singasari, ternyata ia sendiri lebih cenderung pada Syiwa. Sehingga oleh karena itu untuk nama dinasti atau wangsa yang dibangunnya pun, Angrok memilih nama Girindrawangsaja - "keluarga yang lahir dari Girindra". Girindra ialah nama lain dari Syiwa. Entah sejak kapan sebutan Angrok diberikan pada tokoh ini. Barangkali sejak para dewa selesai bersidang untuk menyelamatkan Angrok dari pengejaran itu. Keputusannya, bahwa Wisnu ditugasi agar mengirim seorang Brahmana bernama Lohgawe untuk pergi ke Tanah Jawa. Adapun tugas Lohgawe agar memerintahkan Angrok berhenti menyamun, dan mengantarnya menghamba pada Tunggul Ametung. Ketika Angrok sudah dibawanya menghadap, Sang Adipati tidak mengenal, bahwa dia inilah tokoh penyamun dan pemerkosa yang menjadi pergunjingan Tumapel dan Kediri itu. Singkat cerita Ken Angrok diterima sebagai hamba prajurit kawal. Tugasnya sehari-hari menjadi penjaga pintu gerbang istana kadipaten. Setiap kali, jika Tunggul Ametung bersama permaisurinya, Ken Dedes, liwat keluar-masuk gerbang istana, Ken Angrok mencuri pandang pada wajah sang putri. Ia mengagumi kecantikannya, dan diam-diam jatuh cinta kepadanya. Suatu hari, seperti hari-hari sediakala, ia sedang duduk berjaga di pintu gerbang. Ketika Ken Dedes turun dari kereta, kaki sebelah sudah di atas injakan kereta dan kaki yang lain masih di lantai kereta, tersingkaplah sedikit kain yang dipakainya. Barang satu jurus saja. Tapi cukup bagi mata si Angrok, mata Pencuri, untuk menangkap suatu pemandangan yang aneh. Di balik kain itu, dan bersumber pada pangkal selangkang, mata Angrok menangkap nyala yang sangat menyilaukan! Malam itu ia kembali ke Lohgawe. Menceritakan apa yang dilihatnya, dan menanyakan apa takbir maknanya. Didengarnya keterangan sang Brahmana, bapak angkatnya yang arif itu, dan dicernanya di dalam pikirannya. Katanya, nyala itu ialah sinarnya sakti. Dan yang dinamakan sakti, yaitu kekuatan atau kekuasaan di atas kodrat, yang merupakan sumber pancaran kejayaan dan keagungan ... (Kajian ilmiah tentang daya adikodrati yang memancar dari aurat perempuan itu, antara lain, pernah dibuat oleh Prof.Dr. Prijono). Angrok kembali ke istana dengan tekad bulat: Merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung, dan menyingkirkan Adipati ini dari tahtanya. *** Pergilah Angrok pada salah seorang pandai besi terkenal, yang tinggal di desa Gandring. Pandai besi ini disuruhnya membikin sebilah keris, dan harus selesai secepat-cepatnya. Akhirnya waktu lima bulan disepakati kedua belah pihak. (Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru - Van Hoeve 1981, menyebut Gandring berasal dari desa Lulumbang Jawa Timur. Walaupun begitu belum berarti bahwa Gandring adalah nama pandai besi itu. Bisa juga baik Gandring maupun Lulumbang kedua-duanya nama desa). Sesudah lima bulan, sesuai dengan kesepakatan bersama, Angrok datang untuk mengambil keris pesanannya itu. Tapi ketika ia datang, keris ternyata belum selesai benar dan belum berhulu. Angrok menjadi marah, dan ditikamnya Empu Gandring dengan keris bikinannya sendiri. Sebelum nafas terakhir putus diembuskan, Empu itu masih sempat mengucapkan kutuk ramalannya: Bahwa tujuh orang raja berturut-turut akan mati di ujung kerisnya bikinannya itu! Angrok, si mantan pencuri besar, sungguh seorang ahli siasat yang licin tapi juga licik. Untuk meraih cita-citanya menyingkirkan Tunggul Ametung, keris Gandring dipinjamkannya kepada sesama kawan prajurit kawal. Kebo Ijo, namanya. Beberapa lamanya keris bagus itu sengaja dibiarkannya menjadi hiasan pinggang Kebo Ijo. Sehingga setiap prajurit Tumapel tahu, dan menganggap keris Gandring itu milik Kebo Ijo. Sesudah pendapat umum terbentuk demikian, pada suatu malam Angrok mencuri keris itu, dan segera dipakainya untuk membunuh Tunggul Ametung. Keris tetap ditinggalkan tertancap di jantung Sang Adipati yang malang. Tapi lebih malang lagi Kebo Ijo. Ia segera ditangkap dan dijatuhi hukuman kisas. (Pada akhir jaman Hindia Belanda dulu, di dinding Sekolah Rakyat di desaku, aku melihat lukisan yang menggambarkan peristiwa hukuman kisas Kebo Ijo. Anehnya di salah satu pinggir alun-alun tempat hukuman di lakukan ada seperangkat kecil gamelan dengan penabuhnya, sementara itu si algojo dengan keris telanjang siap di depan Kebo Ijo). Kebo Ijo ditangkap dan dihukum mati. Sedangkan sang aktor intelektualis perbuatan makar ini, bukan saja bebas dari getah kejadian! Ia bahkan satu-satunya yang berhasil merebut segala nikmat daripadanya. (Aneh, bukan? Kata pepatah Perancis sejarah tidak akan pernah berulang. Tapi mengapa Letkol Untung (Kebo Ijo) dan PKI (Gandring) ditumpas, sementara itu Jendral Suharto (Arok) yang panen raya?) Bahwa Angrok adalah sang aktor intelektualis. Tapi Ken Dedes sendiri pun - permaisurinya - baru pada tahun 1207 tahu dengan tepat, siapa sebenarnya dalang di balik drama berdarah itu. Ken Angrok berhasil merebut nikmat. Kekuasaan Tumapel jatuh di tangannya, dan Ken Dedes jatuh dalam pelukannya. Ketika itu permaisuri Tumapel ini sudah sembilan bulan. Bayi buah harapan Tunggul Ametung, sebagai penerus pemegang tahta Tumapel. Ken Angrok segera bekerja cepat. Daerah kerajaan Janggala, di timur Gunung Kawi, diserbu dan direbutnya. Janggala ialah separoh bagian dari wilayah kerajaan Airlangga dahulu, di samping Panjalu, yang meliputi kawasan sepanjang pesisir utara dari Surabaya ke Pasuruan. Juga daerah-daerah di sebelah timur kawasan Janggala menjadi sasaran ekspansi Angrok ke timur. Ketika itu ketidakpuasan terhadap Kediri memang sedang merajalela di Janggala. Para brahmana sedang bertentangan tajam dengan raja Kediri, Kertajaya. Angrok yang tahu keadaan ini, dengan cerdik memanfaatkannya. Maka banyak para brahmana yang melarikan diri dari Kediri, mencari suaka ke Tumapel. Pertentangan Ken Angrok dengan Kertajaya semakin meruncing, sehingga perang Tumapel - Kediri tak terhindarkan. Pada pertempuran di Ganter (1222) Kertajaya dikalahkan. Ken Angrok lalu menggantikan Kertajaya, raja terakhir dari keturunan Airlangga, dan menobatkan diri sebagai raja Sri Rangga(h) Rajasa. Ia lalu membangun kratonnya di Kutaraja, yang kemudian terkenal sebagai Singasari. Kejadian sejarah yang selanjutnya dituturkan babad, ialah rangkaian peristiwa-peristiwa pembunuhan seperti yang telah diramal Empu Gandring. Dalam hubungan ini yang kiranya perlu dikemukakan ialah, bagaimana sepak terjang Arok sebagai Rangga Rajasa dalam memimpin negeri, sesudah perang-perang penaklukan ke timur "selesai". Sebab hanya dengan begitu kita akan bisa melihat dengan lebih tepat, siapakah Angrok atau Arok sejatinya. Apakah ia seorang Pembangun, ataukah seorang Pengguncang. Di bawah ini D.G.E. Hall, dalam A History of South-Esat Asia (ed. ke-3 1968, cet. ulang 1970 [dua kali], 1975, 1976), menulis sedikit tentang kurun waktu Arok dan dinastinya, antara lain sebagai berikut: "Selanjutnya fakta semasa pemerintahannya tak banyak diceritakan dalam Pararaton sampai ia meninggal tahun 1227. Dan di dalam kisah tentangnya itu terdapat sangat banyak legenda, sehingga tidak bisa dibedakan lagi mana yang fakta dan mana yang fiksi. Rajasa sendiri kemudian dibunuh Anusapati, anak Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Sesudah Anusapati memerintah sekitar dua puluh tahun, ia pun mati dibunuh oleh saudara tiri sendiri, Tohjaya. Ia, anak Ken Arok - Ken Umang ini, ganti naik tahta (1248). Tapi masih dalam tahun yang sama, Tohjaya pun mati dibunuh pengiringnya, dan tahta diduduki anak Anusapati, Ranggawuni, yang kemudian bergelar Jayawisnuwardana (1248-68). "Kisah sekitar tahun-tahun pertama Singasari sangat sedikit yang diceritakan. Kecuali tentang rangkaian pembunuhan berdarah, yang diikuti dengan maraknya raja yang satu disusul raja yang lain itu saja. Walaupun begitu ilmu purbakala menyingkap dua perkembangan yang sangat menarik dari kurun waktu ini. Dalam arsitektur dan seni, unsur-unsur pribumi Jawa sangat berkembang. Di bidang agama simbiosis antara Siwa dan Budha menjadi semakin padu. Walaupun ciri-ciri Hindu atau Budha lahiriah di dalam seni pahat tetap kental, namun kesejatian maknanya harus dicari di dalam folklor dan legenda pribumi. Semua ciri-ciri itu mendedahkan kekuatan-kekuatan adiluhung dan adikodrati yang menjadi pujaan rakyat. Ketika Jayawisnuwardana meninggal, abunya dibagi dua dan disimpan di dua candi. Di Candi Mleri ia dipuja sebagai titisan Siwa, dan di Candi Jago sebagai Bodhisatwa Amogapasya. Teras dan lorong Candi Jago dipenuhi dengan relief yang melukiskan cerita- cerita jataka dari Tantri Jawa Kuno. Proses unifikasi keagamaan itu disempurnakan oleh raja Singasari terakhir, Kertanegara, yang pada 1268 menggantikan ayahnya, yaitu dengan menjalankan pemujaan Siwa-Budha." Demikianlah D.G.E. Hall. Sebenarnya ada "raja Jawa" yang, sengaja kutawarkan sebagai bahan perbandingan, mungkin lebih tepat mendapat julukan "Sang Pembangun". Tidak, padaku tidak terlintas sedikit pun untuk mengajukan nama Suharto! Walaupun ia, Raja Besar Jawa Raya ini, selama lebih tiga puluh tahun kekuasaannya telah mendapat gelar "Bapak Pembangunan". Raja yang kutawarkan itu ialah Airlangga, yang dinobatkan oleh para brahmana menjadi raja (1019-42). Ini beda antara Airlangga dengan Angrok. Airlangga disusul di pelarian, agar kembali menjadi raja. Sedang Angrok, seperti namanya sudah menunjukkan, naik panggung sejarah dengan jalan kup melalui pembantaian. Sama seperti kisah bagaimana Suharto menjadi maharaja! Dalam tahun-tahun awal pemerintahannya Airlangga, dalam hal ini sama seperti Angrok, memperteguh kekuasaannya dengan perang penaklukan ke arah timur. Akhirnya kerajaan-kerajaan di Jawa Timur kembali bisa dipersatukannya. Pembangunan dilakukan sehingga perdagangan berkembang, Jawa Timur menjadi makmur, Ujung Galuh dan Tuban menjadi pelabuhan-pelabuhan dagang yang penting. Ketika tanggul Sungai Brantas rusak, sehingga banyak daerah menderita akibat genangan air, Airlangga membangun bendungan di dekat Waringin Pitu. Arus Brantas menjadi berhasil dikendalikan karenanya, sehingga pelabuhan Ujung Galuh menjadi semakin ramai. Pelabuhan Ujung Galuh tidak hanya berdagang dengan "Timur Besar", tapi juga menjadi tempat berlabuh para pedagang barat: Aceh, Tamil, Singhala, Malabar, Cham, Mon, dan Khmer. (Berita tentang usaha pembangunan Airlangga di atas, walhasil, berbeda bagaikan bumi dan langit dengan usaha pembangunan Maharaja Suharto dalam kisah Kedung Ombo). Di istana Airlangga tinggal seorang pujangga, Kanwa namanya. Karyanya, "Arjunawiwaha", boleh dibilang sebagai hasil karya sastra Jawa yang pertama. Melalui Arjunawiwaha ini, juga dari Prasasti Airlangga, kita pun bisa melihat dan merasakan, bahwa wayang yang merupakan hasil kebudayaan India itu telah mendapat bentuk dan sifatnya yang Jawa. Di samping kakawin Arjunawiwaha, dari jaman Erlangga juga lahir kisah Calon Arang si janda dari desa Girah - yang juga sudah ditulis ulang oleh Pramoedya Ananta Toer. Setelah meninggal (1049) sebagai pertapa yang disebut sebagai Batara Guru (salah satu gelar Syiwa), Airlangga dimakamkan di lereng Gunung Penanggungan. Di sini raja yang penting dalam sejarah Indonesia ini, dilukiskan dalam arca sebagai Wisnu mengendarai Garuda yang sangat bagus. Garuda yang dilukiskan sangat garang, dan Wisnu pengendaranya sangat tenang, menjadi paduan keselarasan yang indah. Ini barangkali juga mencerminkan suasana umum kerajaan Jawa Timur semasa pemerintahan Airlangga itu. Tidak aneh jika suasana selaras demikian tidak ada di jaman Arok. Juga tidak aneh kalau Arok hanya mewarisi kita dengan Pararaton, yang lebih sarat dengan dongeng ketimbang data kejadian. Dua unsur perkembangan menarik yang disebut D.G.E. Hall di atas, tentu tidak bisa terselenggara selama lima tahun pemerintahan Arok. Kabut dendam dan khizit, pembunuhan dan tahta, masih menggelantung berat di langit Singasari ketika itu. Maka Ken Angrok, menurut hematku, lebih absah sebagai Sang Pengguncang. Ia seorang tokoh brandal, yang sanggup melakukan segala tindak kekerasan dan perkosaan terhadap apa dan siapa saja, selain terhadap anak dan cucu sendiri. Persis seperti gambaran pelukis Djakapekik: Celeng! Lalu, siapa tokoh raja Jawa yang pantas disebut Sang Pembangun? Bukan, bukan Soeharto yang meninggali kita dengan "pararatonnya", melalui tangan G. Dwipayana dan Ramadan K.H., "Soeharto - Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya". Raja Jawa Sang Pembangun, itulah Airlangga! ***(Bersambung) ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html